Local Public Transport in Indonesia from a Japanese Perspective

 

Dalam rangka memperingati Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia, Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan webinar internasional dengan tema “Local Public Transport in Indonesia from a Japanese Perspective”. Webinar ini diselenggarakan pada Selasa, 12 Agustus 2025, yang menghadirkan Dr. Ir. Dewanti, M.S dari Universitas Gadjah Mada dan Sotaro Yukawa, Ph.D, Associate Professor, Osaka University of Commerce.

Ir. Ikaputra, M.Eng., Ph.D., selaku Kepala Pustral menyampaikan bahwa sistem transportasi umum lokal Indonesia menghadapi tantangan kritis, terutama pada komunitas pedesaan dan pinggiran kota. Selama beberapa generasi, layanan transportasi tradisional seperti bus dan angkutan minivan bersama telah menjadi sumber kehidupan bagi mobilitas masyarakat di wilayah-wilayah tersebut. Namun, penurunan jumlah layanan secara drastis dalam beberapa tahun terakhir telah membuat sejumlah daerah kehilangan akses terhadap sarana transportasi vital ini.

Kepala Pustral UGM menyoroti perubahan sosial besar yang mengubah wajah transportasi lokal di Indonesia. “Hal ini didorong oleh percepatan kepemilikan sepeda motor dan perkembangan pesat layanan ride-hailing. Transisi ini dipicu oleh kebijakan pemerintah yang mempermudah akses kredit untuk pembelian sepeda motor, ditambah pemasaran agresif yang menjangkau hingga desa-desa terpencil, sehingga memicu lonjakan kepemilikan kendaraan pribadi. Peningkatan ini secara langsung berkontribusi pada menyusutnya jaringan transportasi umum formal yang dahulu menjadi tulang punggung mobilitas masyarakat”, demikian disampaikan Ikaputra sebagai pengantar diskusi.

Ikaputra memperingatkan bahwa krisis transportasi umum di Indonesia tidak hanya soal kendaraan yang berhenti beroperasi, tetapi juga menyangkut nasib manusia. “Dimensi kemanusiaan dari krisis ini sangat memprihatinkan,” tegasnya. Penurunan layanan transportasi umum telah berdampak parah pada kelompok non-pengemudi—termasuk warga lanjut usia kita, pemuda, dan penduduk berpenghasilan rendah — dengan dampak yang terasa di setiap sisi kehidupan. Bagi kelompok ini, hilangnya transportasi umum bukan hanya soal ketidaknyamanan belaka, melainkan juga hambatan mendasar yang menggerus mobilitas, memutus akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan peluang ekonomi, serta memperdalam jurang isolasi sosial.

Dewanti selaku pembicara pertama memaparkan materi berjudul “Rural Transport Transformation in Indonesia, How Transport Services Shape Rural Development, Case Study: Klaten Rural Area”. Ia menjelaskan bahwa kebijakan transportasi pedesaan di Indonesia sebagian besar dibentuk oleh paradigma modernisasi yang mencerminkan bias perkotaan dengan penyediaan jalan diposisikan sebagai prasyarat utama bagi mobilitas dan pembangunan pedesaan.

“Kebijakan transportasi pedesaan masih cenderung terfragmentasi dan bersifat sektoral, dengan penekanan utama pada penyediaan infrastruktur transportasi. Sekitar 75% orang miskin di dunia tinggal di wilayah pedesaan, di mana mereka menghadapi keterbatasan signifikan dalam fasilitas umum dan layanan penting. Kurangnya layanan transportasi yang memadai berdampak buruk pada mobilitas dan aksesibilitas masyarakat pedesaan. Di sejumlah negara berkembang, perempuan secara tidak proporsional menanggung beban transportasi. Selain itu, telah terjadi pergeseran penting dalam prioritas pembangunan pedesaan, dari fokus pertanian ke sektor nonpertanian,” demikian disampaikan oleh Dewanti.

Beberapa kesimpulan dari penelitian terdahulu antara lain: adanya perubahan layanan transportasi pedesaan dari kendaraan tidak bermotor menjadi bermotor; sepeda motor sebagai moda transportasi pedesaan yang dominan; munculnya pengendara sepeda motor anak; pergeseran fungsi sepeda motor menjadi kendaraan serbaguna; pengembangan jasa transportasi yang mampu mengatasi hambatan alam; serta hadirnya transportasi sosial sebagai layanan transportasi alternatif di pedesaan.

Beberapa rekomendasi yang disampaikan meliputi: membangun pendekatan inklusi sosial melalui modal sosial; mengembangkan kebijakan transportasi berkelanjutan; menerapkan konsep multi-intervensi; melibatkan masyarakat melalui pendekatan berbasis komunitas dalam pelayanan transportasi; serta membangun kemitraan.

Sotaro selaku pembicara selanjutnya menyampaikan paparan bertajuk “Rethinking Local Public Transport in Indonesia from a Japanese Perspective: Lessons from Klaten Regency, Central Java and Japan”. Ia menjelaskan ketertarikannya pada transportasi umum pedesaan di Indonesia berangkat dari realitas di Jepang, di mana masalah serupa telah menjadi perhatian luas kalangan peneliti. Banyak peneliti Jepang berasumsi bahwa di negara berkembang dengan kepemilikan mobil yang masih rendah, transportasi umum tetap berkembang. Namun, pengalamannya tinggal di Malaysia menunjukkan penurunan signifikan pada jaringan transportasi umum. Tren serupa, sejak 2016, juga terjadi di Indonesia, meski tingkat kepemilikan mobil tinggi. Kondisi inilah yang mendorong Sotaro meneliti penyebab dan prospek masa depan transportasi umum pedesaan di Indonesia.

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Klaten, mencakup wilayah Cawas, Wedi, dan Manisrenggo, dengan fokus pada pasar, kantor pemerintah, sekolah, dan desa. Hasil penelitian menegaskan pentingnya transportasi umum bagi lansia dan pelajar, sekaligus menunjukkan kuatnya modal sosial di wilayah pedesaan. Tantangan serupa dalam penyediaan transportasi umum lokal juga terjadi di Jepang. Meski dikenal memiliki sistem transportasi umum yang maju, kenyamanan tersebut sejatinya terbatas pada kawasan metropolitan utama seperti Tokyo dan Osaka. Di daerah pedesaan, Jepang menghadapi persoalan mendesak seperti penurunan jumlah penumpang bus, risiko mengemudi oleh lansia akibat penuaan penduduk, serta keterbatasan dukungan pemerintah terhadap layanan transportasi umum.

“Di kota-kota regional dan daerah pedesaan Jepang, bus merupakan moda  transportasi umum utama. Namun, dalam 20 tahun terakhir jumlah penumpang menurun hingga setengahnya, sehingga banyak rute sulit untuk bertahan secara finansial tanpa subsidi. Sejak pertengahan 1990-an, subsidi pemerintah terus meningkat: di daerah perkotaan, subsidi mencakup sekitar 10% biaya operasional bus, sedangkan di daerah pedesaan banyak rute bergantung pada subsidi sebesar 60-90% dari biayanya,” demikian disampaikan Sotaro.

Sotaro menyampaikan bahwa cakupan penduduk yang terlayani transportasi umum di daerah pedesaan Jepang lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Klaten sebagaimana dilaporkan sebelumnya. Di wilayah Kanto bagian utara, yang memiliki banyak daerah datar dan kota-kota yang tersebar, jaringan bus mampu menjangkau sekitar 60-70% dari populasi. Kondisi ini didorong oleh sejumlah faktor, antara lain subsidi pemerintah; road icing atau kondisi jalan licin akibat es pada musim dingin yang membuat sepeda motor tidak layak untuk digunakan; serta inisiatif pemerintah daerah untuk mempertahankan layanan transportasi umum, misalnya dengan mengatur jadwal operasional bus agar selaras dengan jadwal rumah sakit dan sekolah.

Sotaro juga menyampaikan bahwa di Indonesia, dengan ikatan sosial masyarakat yang kuat, penduduk dan pemerintah daerah berpotensi bekerja sama untuk mempertahankan layanan transportasi umum pada tingkat minimum. Pemanfaatan layanan Uber untuk transportasi masyarakat serta penerapan sistem transportasi penumpang berbayar menggunakan mobil pribadi dinilai sangat memungkinkan di pedesaan Indonesia. Kerja sama penelitian lanjutan diperlukan untuk memperkuat dan mempertajam rekomendasi yang telah disampaikan.

Dalam diskusi, Sotaro menegaskan bahwa pengembangan transportasi publik seharusnya berfokus pada keandalan layanan, bukan sekadar implementasi teknologi. Dalam sebuah webinar, ia menyoroti ironi di Jepang yang justru tidak memiliki rencana transportasi nasional komprehensif akibat privatisasi dan fokus berlebihan pada pembangunan jalan. Berkaca dari pengalaman tersebut, Sotaro menilai Indonesia—dengan anggaran terbatas—perlu mengadopsi solusi berbasis komunitas, seperti memformalkan layanan transportasi informal oleh warga dan memodernisasi armada bus kecil dengan sistem digital. Ia juga memuji kebersihan KRL Commuter Line Jakarta yang dinilainya melampaui standar di Jepang. Sotaro menekankan peran advokasi Organisasi Nirlaba (NPO) menjadi krusial untuk mendorong pergeseran kebijakan dari pola yang sangat berpusat pada mobil menuju transportasi publik berkelanjutan, demi mengatasi kemacetan dan persoalan lingkungan.

Antusiasme luar biasa mewarnai jalannya webinar, dengan 800 peserta aktif memberikan respons melalui Zoom dan YouTube. Diskusi interaktif ini dipandu oleh Ir. Mukhammad Rizka Fahmi Amrozi, S.T., M.Sc., Ph.D., pengajar dari Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM). Partisipasi aktif peserta yang menyampaikan beragam gagasan, mencerminkan tingginya perhatian publik terhadap isu transformasi transportasi di wilayah pedesaan, khususnya perubahan pola mobilitas dan layanan angkutan umum.

Dalam sesi penutup, Amrozi menyoroti transformasi transportasi pedesaan di Indonesia yang kini didominasi oleh sepeda motor, sehingga banyak layanan angkutan umum formal di berbagai daerah menurun atau bahkan runtuh. Ia menilai, model kolaboratif seperti di Jepang—yang memadukan subsidi pemerintah dan partisipasi aktif masyarakat—layak menjadi inspirasi. Skema tersebut berpotensi melahirkan sistem transportasi terpadu, berkelanjutan dan efisien di wilayah dengan mobilitas rendah. Dengan mengandalkan modal sosial masyarakat yang kuat, Amrozi optimistis Indonesia mampu membangun layanan transportasi pedesaan yang inklusif, terjangkau, dan ramah lingkungan di masa mendatang. (Udin-red)

Leave A Comment

Your email address will not be published.

*