Arsip:

pustralnews

Tim Ekspedisi Patriot Universitas Gadjah Mada Mengidentifikasi Komoditas Unggulan di Kawasan Transmigrasi Muting, Merauke

“Penentuan komoditas unggulan di wilayah transmigrasi, selain memerhatikan aspek ekonomi juga harus mempertimbangkan aspek berkelanjutan,” demikian disampaikan oleh Ir. Agam Marsoyo, M.Sc, Ph.D selaku narasumber pada Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan pada 7-8 Oktober 2025 di Kawasan Transmigrasi Muting, Merauke. FGD diselenggarakan dalam rangkaian kegiatan Tim Ekspedisi Patriot yang diinisiasi oleh Kementerian Transmigrasi bekerjasama dengan 7 Universitas terkemuka di Indonesia.

Kajian di Kawasan Transmigrasi Muting dilakukan oleh 5 tim yang terdiri dari 3 tim Universitas Gadjah Mada (UGM) dan 2 tim dari Universitas Indonesia (UI). Salah satu topik kajian yang dilakukan oleh tim UGM adalah Pengembangan Komoditas Unggulan Spesifik pada Kawasan Transmigrasi, dengan Ketua Tim Dwi Ardianta Kurniawan, ST. M.Sc, beserta anggota Arif Aji Kurniawan, S.Sos (alumni), serta Andaru Sheera Kristianto, Fatimah Azzahra Ahda, Trisna Diah Ayu Wulandari, ketiganya mahasiswa aktif di UGM.

Agam, selanjutnya menyampaikan bahwa aspek berkelanjutan berkaitan dengan minimalisasi ekses negatif yang timbul dari pengusahaan komoditas, khususnya sawit, misalnya untuk jangka panjang akan menimbulkan kekeringan. Beberapa komoditas tertentu juga dapat menyebabkan longsor pada wilayah pegunungan.

Dalam paparan selanjutnya, Dwi selaku ketua tim menyampaikan hasil temuan lapangan yang sudah dilakukan oleh tim kajian sejak akhir Agustus hingga awal Oktober di lokasi kajian, khususnya di Distrik Muting dan Ulilin. Hasil temuan menunjukkan bahwa enam kampung di Distrik Muting dan sembilan kampung di Distrik Ulilin memiiki komoditas unggulan yang bervariasi. Meskipun demikian, terdapat satu komoditas utama yang ditemukan hampir di seluruh kampung, yaitu rambutan. Nilai ekonomis rambutan cukup tinggi, sehingga mampu menjadi sumber pendapatan keluarga yang penting. Di luar rambutan, komoditas lain yang teridentifikasi adalah buah-buahan (durian, alpukat), perkebunan (karet, pinang, kopi, kelapa sawit), sayuran dan rempah (cabai, lada, kacang panjang, sawi), padi dan palawija (jagung, kedelai, kacang tanah). Selain itu, peternakan sapi, kambing dan ayam juga ditemukan di beberapa kampung yang diidentifikasi.

FGD dihadiri oleh stakeholder penting diantaranya perangkat distrik, perangkat kampung, pelaku usaha, serta perwakilan industri sawit. Dalam diskusi mengemuka bahwa diperlukan pasar yang mampu menyerap hasil baik berupa pedagang maupun industri. Pengalaman terdahulu dengan komoditas karet menunjukkan bahwa tidak ada pasar yang membeli hasil produksi, sehingga petani mengalami kerugian. Demikian pula rambutan yang seringkali harganya jatuh dan membusuk pada saat panen raya. Peran pemerintah diharapkan hadir untuk menjembatani produksi dengan pemasaran maupun mengembangkan industri untuk program hilirisasi komoditas.

Aspirasi masyarakat yang cukup kuat adalah harapan untuk berperan dalam perkebuhan sawit bekerjasama dengan industri sawit. Untuk merealisasikan hal tersebut, diperlukan kerjasama yang baik antara masyarakat pemilik lahan dengan perusahaan sawit, sehingga masyarakat dapat menanam dan memasarkan hasil produksi ke perusahaan. Di Muting, sudah terdapat koperasi mandiri yang dikelola oleh masyarakat untuk memasok hasil ke industri sawit di distrik tersebut, sementara di Ulilin skema kerjasama antara masyarakat dan industri masih dalam proses pembahasan. Memperhatikan hal tersebut, Agam menyampaikan bahwa sawit adalah komoditas yang menjanjikan dan memberikan pendapatan yang rutin, tetapi untuk jangka panjang perlu dicari solusi untuk mengatasi potensi terjadinya kekeringan.

Kegiatan Tim Ekspedisi Patriot masih akan berlangsung hingga awal Desember 2025. Dalam rentang waktu tersebut, sebanyak 4 anggota tim tinggal di lokasi untuk melakukan identifikasi dan pengamatan lapangan maupun pengumpulan data sekunder di dinas-dinas terkait, untuk selanjutnya disusun analisis dan rekomendasi. Harapannya, hasil kegiatan dapat memberikan input yang bermanfaat bagi Kementerian Transmigrasi maupun kementerian terkait untuk menyusun program berbasis kondisi riil di lapangan yang benar-benar diperlukan oleh masyarakat.

Konsep “Kolaborasi Ekonomi Sirkuler” Digagas Tim Ekspedisi Patriot Universitas Gadjah Mada Guna Mendukung Pengembangan Komoditas Unggulan di Kawasan Transmigrasi Hialu Kabupaten Konawe Utara

 

Kawasan Transmigrasi Hialu tepatnya berada di dalam wilayah Kabupaten Konawe Utara Provinsi Sulawesi Tenggara yang mulai dikembangkan sebagai daerah penempatan transmigran sejak tahun 1994, dengan komoditas utamanya berbasis perkebunan kelapa sawit. Kawasan Transmigrasi Hialu terdiri atas 4 (empat) Satuan Kawasan Permukiman (SKP) dengan pusat pengembangannya berada di 4 (empat) kecamatan, yaitu Kecamatan Wiwirano, Kecamatan Langgikima, Kecamatan Landawe dan Kecamatan Oheo. Seiring berjalannya waktu, komoditas-komoditas yang lain juga mulai berkembang, seperti peternakan sapi, pertanian, dan tanaman hortikultura. Dari beragam komoditas tersebut, kelapa sawit dan ternak sapi ditengarai tersebar dan dijumpai di seluruh SKP dan merupakan dua komoditas yang memiliki prospek positif untuk dikembangkan di Kawasan Transmigrasi Hialu.

Dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang telah diselenggarakan pada14 Oktober 2025, Tim Ekspedisi Patriot (TEP) UGM Ouput-2 menawarkan peluang pengembangan kegiatan ekonomi baru kepada masyarakat transmigrasi di Kawasan Hialu dengan konsep “Kolaborasi Ekonomi Sirkuler”. Konsep ini dikembangkan dengan prinsip mengkolaborasikan dua komoditas unggulan yaitu kelapa sawit dan ternak sapi sebagai sebuah sistem aktivitas usaha / ekonomi dengan prinsip ramah lingkungan. Pengolahan dan pemanfaatan limbah tanaman kelapa sawit sebagai alternatif pakan ternak sapi merupakan upaya mengurangi limbah aktivitas perkebunan sawit. Pemanfaatan limbah kotoran sapi sebagai pupuk kandang untuk tanaman sawit dan pertanian juga cukup potensial mengingat jumlah ternak sapi yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.  Selain untuk pupuk kandang, limbah ternak sapi (kotoran) dapat dimanfaatkan juga sebagai bahan baku pembuatan biogas untuk keperluan rumah tangga. Dengan konsep ekonomi sirkuler ini, diharapkan akan tumbuh aktivitas ekonomi baru dan menciptakan nilai tambah bagi masyarakat di Kawasan Transmigrasi Hialu.

Prinsip kolaborasi yang lain adalah kolaborasi dalam konteks kerjasama antarwarga transmigran dan antarSKP. Sebagaimana diketahui bahwa warga transmigrasi di Kawasan Hialu hampir semuanya memiliki usaha di perkebunan sawit dan sebagian warganya telah mengembangkan usaha ternak sapi untuk pemenuhan kebutuhan daging sapi bagi warga masyarakat di kawasan transmigrasi itu sendiri maupun daerah yang lain. Beberapa tahun terakhir terindikasi usaha ternak sapi terus mengalami peningkatan. Dan tentunya usaha ternak sapi membutuhkan dukungan ketersediaan pakan ternak secara kontinyu.

Tim Ekspedisi Patriot (TEP) UGM Ouput-2 yang diketuai oleh Joewono Soemardjito, ST., M.Si beserta 4 (empat) anggota tim yang lain, yaitu Christabel Geraldine Agustina, S.T.P., Ayura Fatwa Febriyanti, Hafizh Vergiansyah, dan Husban Yarjuna Firdaus dan diikuti oleh Tim TEP Hialu Output -1, dalam kesempatannya telah menyampaikan gagasan konsep pengembangan komoditas berbasis kolaborasi sirkular ekonomi kepada para peserta FGD warga transmigrasi sekaligus mewakili dari beberapa desa yang terdapat di dalam Kawasan Transmigrasi Hialu. Tanpa diduga sebelumnya, seluruh peserta FGD memberikan respon yang positif dan ketertarikannya terhadap tawaran yang disampaikan oleh Tim. Hal tersebut diperkuat dari hasil jajak pendapat masyarakat melalui pengisian borang yang disebarkan kepada seluruh peserta FGD sebelum acara dimulai, menunjukkan minatnya terhadap usaha pemanfaatan limbah sawit sebagai pakan ternak sapi. Mereka sangat mengharapkan adanya dukungan dari pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Konawe Utara untuk dapat merealisasikan konsep pengembangan yang ditawarkan oleh Tim TEP UGM melalui pendampingan / pelatihan pembuatan pakan ternak dari limbah sawit, bantuan peralatan pengolahan, pembuatan kandang sapi, dan lain sebagainya. Disamping itu, dukungan lainnya yang sangat diharapkan masyarakat adalah adalah permodalan untuk mendukung kegiatan usaha tersebut.

Untuk mendukung keberlanjutan usaha yang selama ini telah digeluti para transmigran di Kawasan Hialu, khususnya dalam hal pemasaran produk, masyarakat menghendaki adanya pembangunan akses berupa infrastruktur jalan dan akses penghubung di beberapa lokasi desa yang dibatasi oleh sungai. Keberadaan akses penghubung berupa jembatan dipandang masyarakat transmigrasi akan meningkatkan aksesibilitas dan mobilitas produk komoditas unggulan di kawasan tersebut. Hal tersebut juga dipertegas oleh Narasumber, Dr. Ir. Dewanti, MS., dosen di Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik UGM yang memiliki pengalaman dalam pengembangan kawasan transmigrasi. Menurut pandangan beliau, banyak kawasan transmigrasi yang belum tersentuh pembangunan infrastruktur jalan maupun jembatan. Kondisi ini menjadi kendala bagi masyarakat dalam pendistribusian atau penjualan produk-produk komoditas unggulan di daerah tersebut. Akbiatnya, biaya transportasi dan logistik menjadi semakin tinggi yang pada akhirnya akan mempengaruhi harga produk di tingkat konsumen.

Bapak Hendra Samrandani, SE, selaku Kabid Pembinaan Transmigras, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Konawe Utara, mengajak kepada seluruh peserta FGD untuk menyampaikan pandangan, harapan, atau masukan kepada tim TEP UGM terkait dengan pengembangan komoditas unggulan di Kawasan Hialu. Selaku perwakilan dari pemerintah daerah, beliau berkomitmen untuk membantu dan mendukung pembangunan transmigrasi di Kabupaten Konawe Utara sesuai dengan kewenangan dan tugas pokoknya. Menurutnya, kolaborasi, koordinasi, dan kerjasama antar lintas atau sektor juga sangat penting bagi upaya menyukseskan program pemerintah melalui pembangunan transmigrasi di masa-masa mendatang.

 

 

 

 

Diseminasi Kajian Elektrifikasi Kendaraan Kawasan Bandara dan Pelabuhan

 

 

 

 

 

Isu dekarbonisasi menjadi trend global dan semakin masif ketika upaya pengurangan emisi gas rumah kaca menghadapi tantangan berat saat laju penurunan intensitas karbon terindikasi melambat. Penguatan upaya dekarbonisasi di sektor transportasi diharapkan menjadi solusi untuk mengatasi tantangan global tersebut.

Demikian disampaikan Ir. Ikaputra, PhD selaku Kepala Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM dalam diseminasi Kajian Elektrifikasi Kendaraan Operasional Bandara dan Pelabuhan yang diselenggarakan pada Selasa, 30 September 2025 di Jakarta. Kajian dilakukan oleh Pustral UGM didukung Yayasan Visi Indonesia Raya Emisi Nol Bersih (ViriyaENB). ViriyaENB yang dikenal sebagai lembaga yayasan iklim pertama di Indonesia yang memiliki visi mewujudkan masyarakat net-zero yang didukung oleh perekonomian yang adil dan regeneratif, sedang melakukan riset lintas tahun untuk mengkaji potensi elektrifikasi kendaraan operasional khususnya di kawasan bandara dan pelabuhan yang ada di Indonesia. Kajian tersebut dilakukan dalam rangka mendukung upaya Pemerintah meraih target bebas emisi (net zero emission) pada tahun 2060.

Riset ini mulai dijalankan pada awal 2025 dengan mengambil lokus pada Bandara Soekarno Hatta, Jakarta dan Bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali serta Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Sebagai tahap awal, riset ini telah memetakan profil eksisting operasional kendaraan pada kedua simpul transportasi tersebut yang selanjutnya akan dikaji lebih dalam untuk mengidentifikasi kesiapan teknologi dan ragam kendaraan operasional listrik serta peluang investasi untuk mendukung penyediaan dan operasional armada. Dalam rangkaian riset dilakukan survei dan FGD dengan melibatkan operator bandara dan pelabuhan, industri jasa layanan transportasi berbasis kendaraan listrik, industri kendaraan listrik, serta  Kementerian/Lembaga terkait dengan aspek transportasi, energi, serta pendanaan/fiskal.

Dr. Ir. Dewanti, MS selaku Ketua Tim pelaksana kajian menyampaikan bahwa kebijakan nasional telah mendorong elektrifikasi transportasi melalui insentif fiskal, program konversi, dan pengembangan infrastruktur SPKLU untuk mendukung dekarbonisasi sektor transportasi. Meskipun demikian, perlu konsistensi dan skema insentif yang mendorong dunia usaha untuk berkembang. Hasil kajian menemukenali bahwa teknologi Battery Electric Vehicle (BEV) terbukti paling efisien dan bersih, dengan biaya baterai yang terus menurun sehingga kompetitif dengan kendaraan berbasis bahan bakar minyak atau dikenal dengan Internal Combustion Engine (ICE). Secara lebih spesifik, lokasi studi di Bandara (CGK & DPS) memiliki potensi elektrifikasi besar, terutama pada bus apron, traktor bagasi, dan traktor kargo, dengan pengurangan emisi signifikan bila dikonversi ke kendaraan listrik atau electric vehicle (EV). Perhitungan emisi menunjukkan baggage towing tractor (BTT) adalah penyumbang emisi terbesar sehingga menjadi prioritas konversi.

Lebih jauh Dewanti menyatakan bahwa Investasi elektrifikasi kendaraan operasional darat atau dikenal dengan Ground Support Equipment (GSE) membutuhkan biaya cukup besar yaitu sekitar Rp460,09 miliar di CGK dan Rp190,46 miliar di DPS, namun berpotensi menurunkan emisi dan meningkatkan efisiensi energi hingga 71,8%. Di pelabuhan, adopsi peralatan listrik sudah mulai dilakukan pada berbagai peralatan seperti Quayside Container Crane (QCC) dan Ruber Tyred Gantry (RTG), dengan peluang pengurangan emisi hingga 78,5% dan manfaat ekonomi dari nilai karbon, kesehatan, dan biaya sosial yang signifikan. Meskipun demikian, industri baterai dan pengelolaan baterai bekas membutuhkan dukungan regulasi kuat, agar baterai EV dipandang sebagai sumber daya, bukan limbah.

“Kolaborasi multipihak (K/L dan BUMN) menjadi kunci dalam percepatan elektrifikasi di bandara dan pelabuhan, termasuk penyusunan roadmap yang jelas untuk implementasi jangka panjang,” pungkas Dewanti dalam uraiannya.

Hadir pula beberapa penanggap dalam diseminasi yaitu Dr. Arianto Wibowo, ST, M.S.E dari Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan. “Indonesia tetap berkomitmen dengan NZE, melalui berbagai regulasi dukungan, termasuk lebih spesifik di bandara dan pelabuhan. Perlu dilakukan penguatan regulasi di lingkup kementerian perhubungan untuk sektor KBL BB”, menurutnya.

Bapak Akbar Putra Mardhika dari PT Angkasa Pura Indonesia (PT API) menyampaikan bahwa peran PT API dalam penurunan emisi di bandara sekitar 24-28%. PT API sudah memiliki aksi mitigasi dan efisiensi kendaraan operasional di bandara serta Roadmap SPKLU dan KBLBB kendaraan operasional bandara. Meski demikian, roadmap untuk moda transportasi darat belum ada.

Prof. Dr. Danang Parikesit, M.Sc, Guru Besar Kebijakan Transportasi dari Fakultas Teknik UGM menyampaikan perlu skema adopsi dan adaptasi teknologi EV melalui skema voluntary dan mandatory. Efisiensi EV melalui skema BAAS (Battery As A Service) dan swapt perlu dihitung sebagai dasar pelaku usaha untuk berpindah dan dasar kebijakan pemerintah. Terakhir, Anna Amalia, M.Env dari Bappenas menyampaikan arah kebijakan sektor transportasi dalam RPJMN 2025 – 2029 terkait dengan indikator penurunan emisi GRK dan indeks kualitas lingkungan hidup. Lebih jauh lagi, tata kelola batterai perlu diperhatikan.

Hadir pula Ibu Etsa Amanda mewakili ViriyaENB yang menyambut baik hasil kajian dan berharap adanya kajian lanjutan yang lebih komprehensif. (SDD/DAK/HLT)

Biaya Transportasi Masyarakat RI di Atas Rata-rata Dunia, Pustral UGM Beri Solusi ke Pemerintah

Transportasi Publik menjadi solusi terbaik untuk menghindari kemacetan berkepanjangan di kota besar dan padat penduduk. Namun, ternyata biaya transportasi yang dikeluarkan relatif tinggi antar moda transportasi yang digunakan sehingga membuat biaya transportasi yang dikeluarkan lebih tinggi per tahunnya. Kementerian Perhubungan mencatat pengeluaran masyarakat untuk transportasi masih relatif tinggi yaitu mencapai 12,46 % per bulan dari total biaya hidup. Padahal standar Bank Dunia seharusnya tidak lebih dari 10% dari total biaya hidup per bulan.

Peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM, Dwi Ardianta Kurniawan, menanggapi hal tersebut dengan menilai bahwa ada beberapa aspek yang cukup kompleks dan diperhatikan untuk menekan biaya transportasi yang dikeluarkan masyarakat.

Selengkapnya: www.ugm.ac.id 

Foto: Freepik

Webinar Market Outlook dan Persepsi Risiko Usaha Jasa Konstruksi 2026

 

“Tahun 2026 adalah tahun yang memiliki permintaan pasar konstruksi non-APBN yang besar, namun dengan risiko usaha yang tinggi dan penuh tantangan untuk melakukan transformasi dan migrasi kompetensi segera, sehingga mampu mempertahankan keberlanjutan usaha (Danang Parikesit, 2025)”

 

 

“Konstruksi memiliki peran strategis dalam mendukung pertumbuhan ekonomi. Tenaga ahli konstruksi di Indonesia sejumlah 9 juta orang, sehingga sektor konstruksi cukup besar memberikan multiplier effect terhadap perekonomian. Selain itu, peralatan dan teknologi juga berkembang cepat yang harus diikuti oleh kesiapan SDM. Transparansi penyediaan jasa konstruksi juga diterapkan melalui e-catalog yang sudah dominan dijalankan,” demikian disampaikan oleh Bapak Boby Ali Azhari, S.T., M.Sc. selaku Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum sebagai keynote speaker pada Webinar “Market Outlook dan Persepsi Risiko Usaha Jasa Konstruksi 2026”, Kamis, 4 September 2025, pukul 10.00 – 12.00 WIB.

Lebih jauh, Boby menyampaikan bahwa arah pembangunan konstruksi tahun 2026 berbeda dibandingkan tahun sebelumnya yang terfokus pada IKN dan jalan tol. Tahun mendatang fokus pembangunan dilakukan pada swasembada pangan dan sekolah rakyat. Peran jasa konstruksi dipercaya tetap memegang peranan kunci dalam pembangunan ekonomi nasional. Meskipun pembangunan jalan tol berkurang, namun konstruksi berperan penting dalam mendukung hilirisasi. Kapasitas pengembangan SDM konstruksi juga merupakan isu penting yang tetap diperhatikan.

Webinar terselenggara atas kerjasama Laboratorium Manajemen Proyek Konstruksi Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik UGM (DTSL FT UGM) dengan Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM. Acara ini juga didukung oleh Direktorat Jenderal Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, GAPENSI, Asosiasi Kontraktor Indonesia (AKI), serta Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO). Ir. Ikaputra, Ph.D selaku Kepala Pustral menyampaikan bahwa kolaborasi ini sangat strategis mengingat keterkaitan erat antara sistem transportasi dan logistik dengan industri jasa konstruksi, di mana kedua sektor ini saling mendukung dalam pembangunan infrastruktur nasional yang berkelanjutan.

Webinar menghadirkan Prof. Dr. Techn. Ir. Danang Parikesit, M.Sc., IPU., APEC.Eng., QRGP. selaku Kepala Laboratorium Manajemen Proyek Konstruksi DTSL FT UGM yang telah melakukan penelitian komprehensif bertema “Outlook dan Persepsi Risiko Usaha Jasa Konstruksi Indonesia 2026”. Hadir pula membuka webinar Prof. Dr. Ir. Teuku Faisal Fathani, Ph.D., IPU. selaku Ketua DTSL FT UGM, serta pembahas Ibu Airyn Saputri Harahap, S.T., M.Sc. selaku Direktur Usaha dan Kelembagaan Jasa Konstruksi, Dirjen Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum, dan Bapak Ir. Taufik Wijoyono, M.Sc. selaku Ketua Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK).

Danang Parikesit menyampaikan bahwa ekonomi global stagnan/melambat pada tingkat ±2,9% akibat geopolitik, perlambatan ekonomi Cina, dan suku bunga tinggi. Nilai pasar konstruksi global diperkirakan mencapai USD 14–15 triliun pada 2026, didominasi sektor residensial. Sektor infrastruktur tetap tinggi, didorong agenda transisi energi & perubahan iklim. Sementara itu, ekonomi Indonesia tetap tumbuh stabil (5,4%) didukung daya beli, inflasi terjaga, dan sinergi kebijakan. Fokus belanja negara diarahkan pada efisiensi dan kesinambungan pembangunan.

Fokus kebijakan fiskal tahun 2026 adalah menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan fiskal dengan belanja yang produktif. Pertumbuhan sektor jasa konstruksi diperkirakan 4,5–6%. Dengan kondisi ini, dan melihat hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan konstruksi, dapat disimpulkan bahwa sektor jasa konstruksi sangat rentan. Apabila sektor ini tumbuh 6% atau diatas pertumbuhan ekonomi nasional, maka akan terjadi akselerasi pembangunan di tahun-tahun selanjutnya.

Pasar konstruksi tahun 2026 akan didominasi oleh proyek PSN non-APBN sebesar Rp698,64T atau 82% dari seluruh pasar konstruksi Indonesia. Hanya 18% pasar konstruksi Indonesia berasal dari APBN yang terdiri dari APBN (9 K/L) sebesar Rp156,34T. Proyek swasta yang cukup besar adalah proyek 1 juta rumah di tahun 2026 senilai Rp240T.

Danang selanjutnya menyampaikan hasil survei terhadap 8 Perusahaan konstruksi  besar, 21 Perusahaan konstruksi menengah dan kecil, serta 69 Konsultan menunjukkan bahwa bisnis tahun 2026 kondisinya tidak menentu bahkan memiliki risiko yang meningkat. Lebih jauh, hasil survei juga menunjukkan bahwa kemampuan pengelolaan risiko bagi usaha jasa konstruksi Indonesia masih perlu ditingkatkan. Usaha jasa konstruksi kecil dan menengah akan sulit bertahan dalam kondisi ketidakpastian usaha dan kompetensi teknologi dan SDM yang terbatas. Menurutnya, tingginya risiko ini dirasakan oleh mayoritas pelaku usaha, di mana 87,50% perusahaan besar dan 47,62% perusahaan menengah-kecil memprediksi risiko tersebut akan meningkat. “Kondisi ini menjadi tantangan serius, terutama bagi usaha kecil dan menengah yang 71,43% di antaranya hanya menangani kurang dari lima proyek  skala kecil per tahun,” tambahnya

Masih perlu ada dukungan pemerintah cq. Ditjen Bina Konstruksi dan LPJK dalam meningkatkan keberlanjutan usaha. Perhatian lebih perlu diberikan bagi usaha jasa konstruksi kelas menengah dan kecil. Bagi usaha jasa konstruksi, tahun 2026 adalah tahun yang memiliki permintaan pasar konstruksi non-APBN yang besar, namun dengan risiko usaha yang tinggi dan penuh tantangan untuk melakukan transformasi kompetensi segera, sehingga mampu mempertahankan keberlanjutan usaha. Pemerintah perlu membantu UKM jasa Konstruksi untuk melakukan tranformasi maupun migrasi dari proyek-proyek APBN/APBD ke proyek-proyek swasta maupun KPBU melalui skema insentif maupun pelatihan kompetensi usaha dan teknis. Pengelolaan risiko gagal bayar kontraktor ke sub-kontraktor juga perlu didukung pemerintah khususnya Kementerian Keuangan dan kemenrerian teknis terkait melalui penjaminan risiko.

Webinar ini dihadiri oleh 900 peserta melalui Zoom dan YouTube. Dengan antusias, para peserta menyampaikan pertanyaan yang dipandu oleh moderator, Tantri Nastiti Handayani, S.T., M.Eng., Ph.D., dosen Laboratorium Manajemen Proyek Konstruksi DTSL FT UGM. Acara juga disemarakkan dengan kuis yang memberikan hadiah kepada lima orang pemenang. (SDD/DAK/HLT)

Bupati dan Wabup Merauke Sambut Tim Ekspedisi Patriot Pustral UGM

Bupati dan Wakil Bupati Merauke Yoseph Bladib Gebze dan Fauzun Nihayah, serta Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi kabupaten Merauke menerima Tim Ekspedisi Patriot, Senin, (1/8/2025) di Auditorium kantor bupati setempat. Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kabupaten Merauke, Kleopas Ndiken dalam laporannya mengatakan, 75 orang Tim Ekspedisi Patriot itu bersal dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, Institut Teknologi 10 November Surabaya, Universitas Pajajaran, Universitas Indonesia, dan Universitas Musamus Merauke. Mereka di bawah pimpinan atau Ketua Tim yakni Profesor Imam, dan akan melaksanakan tugas selama 4 bulan di Merauke untuk mendampingi 10 distrik yang terbagi dalam dua kawasan transmigrasi.

Artikel ini telah tayang di teropongnews.com  dengan judul Pustral UGM: Pengurangan Subsidi Trans Jogja Bisa Beratkan Masyarakat Rentan.
Link Artikel

Sumber gambar: teropongnews.com

Pengurangan Subsidi Trans Jogja Bisa Beratkan Masyarakat Rentan

Peneliti Senior Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM, Dr. Ir. Arif Wismadi, M.Sc berpendapat bahwa sebenarnya pengurangan subsidi bisa diminimalisasi dampaknya jika ada sumber pendapatan alternatif di luar tiket atau non-fare box. Salah satunya melalui sektor iklan. Namun, ia menilai strategi itu belum dikelola dengan baik.

“Jika ada pengganti dari non-fare box atau pendapatan non tiket dengan nilai yang sama, mestinya tidak berimbas. Contohnya dari iklan. Tapi sepertinya strategi ini belum diterapkan secara sistematis. Lebih kepada saat ada permintaan dari yang akan mengiklankan baru dibuka, bukan sebagai strategi yang dirancang dengan cermat,

Artikel ini telah tayang di TribunJogja.com dengan judul Pustral UGM: Pengurangan Subsidi Trans Jogja Bisa Beratkan Masyarakat Rentan.
Link Artikel

Sumber gambar: Dishub Provinsi DIY.

Local Public Transport in Indonesia from a Japanese Perspective

 

Dalam rangka memperingati Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia, Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan webinar internasional dengan tema “Local Public Transport in Indonesia from a Japanese Perspective”. Webinar ini diselenggarakan pada Selasa, 12 Agustus 2025, yang menghadirkan Dr. Ir. Dewanti, M.S dari Universitas Gadjah Mada dan Sotaro Yukawa, Ph.D, Associate Professor, Osaka University of Commerce.

Ir. Ikaputra, M.Eng., Ph.D., selaku Kepala Pustral menyampaikan bahwa sistem transportasi umum lokal Indonesia menghadapi tantangan kritis, terutama pada komunitas pedesaan dan pinggiran kota. Selama beberapa generasi, layanan transportasi tradisional seperti bus dan angkutan minivan bersama telah menjadi sumber kehidupan bagi mobilitas masyarakat di wilayah-wilayah tersebut. Namun, penurunan jumlah layanan secara drastis dalam beberapa tahun terakhir telah membuat sejumlah daerah kehilangan akses terhadap sarana transportasi vital ini.

Kepala Pustral UGM menyoroti perubahan sosial besar yang mengubah wajah transportasi lokal di Indonesia. “Hal ini didorong oleh percepatan kepemilikan sepeda motor dan perkembangan pesat layanan ride-hailing. Transisi ini dipicu oleh kebijakan pemerintah yang mempermudah akses kredit untuk pembelian sepeda motor, ditambah pemasaran agresif yang menjangkau hingga desa-desa terpencil, sehingga memicu lonjakan kepemilikan kendaraan pribadi. Peningkatan ini secara langsung berkontribusi pada menyusutnya jaringan transportasi umum formal yang dahulu menjadi tulang punggung mobilitas masyarakat”, demikian disampaikan Ikaputra sebagai pengantar diskusi.

Ikaputra memperingatkan bahwa krisis transportasi umum di Indonesia tidak hanya soal kendaraan yang berhenti beroperasi, tetapi juga menyangkut nasib manusia. “Dimensi kemanusiaan dari krisis ini sangat memprihatinkan,” tegasnya. Penurunan layanan transportasi umum telah berdampak parah pada kelompok non-pengemudi—termasuk warga lanjut usia kita, pemuda, dan penduduk berpenghasilan rendah — dengan dampak yang terasa di setiap sisi kehidupan. Bagi kelompok ini, hilangnya transportasi umum bukan hanya soal ketidaknyamanan belaka, melainkan juga hambatan mendasar yang menggerus mobilitas, memutus akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan peluang ekonomi, serta memperdalam jurang isolasi sosial.

Dewanti selaku pembicara pertama memaparkan materi berjudul “Rural Transport Transformation in Indonesia, How Transport Services Shape Rural Development, Case Study: Klaten Rural Area”. Ia menjelaskan bahwa kebijakan transportasi pedesaan di Indonesia sebagian besar dibentuk oleh paradigma modernisasi yang mencerminkan bias perkotaan dengan penyediaan jalan diposisikan sebagai prasyarat utama bagi mobilitas dan pembangunan pedesaan.

“Kebijakan transportasi pedesaan masih cenderung terfragmentasi dan bersifat sektoral, dengan penekanan utama pada penyediaan infrastruktur transportasi. Sekitar 75% orang miskin di dunia tinggal di wilayah pedesaan, di mana mereka menghadapi keterbatasan signifikan dalam fasilitas umum dan layanan penting. Kurangnya layanan transportasi yang memadai berdampak buruk pada mobilitas dan aksesibilitas masyarakat pedesaan. Di sejumlah negara berkembang, perempuan secara tidak proporsional menanggung beban transportasi. Selain itu, telah terjadi pergeseran penting dalam prioritas pembangunan pedesaan, dari fokus pertanian ke sektor nonpertanian,” demikian disampaikan oleh Dewanti.

Beberapa kesimpulan dari penelitian terdahulu antara lain: adanya perubahan layanan transportasi pedesaan dari kendaraan tidak bermotor menjadi bermotor; sepeda motor sebagai moda transportasi pedesaan yang dominan; munculnya pengendara sepeda motor anak; pergeseran fungsi sepeda motor menjadi kendaraan serbaguna; pengembangan jasa transportasi yang mampu mengatasi hambatan alam; serta hadirnya transportasi sosial sebagai layanan transportasi alternatif di pedesaan.

Beberapa rekomendasi yang disampaikan meliputi: membangun pendekatan inklusi sosial melalui modal sosial; mengembangkan kebijakan transportasi berkelanjutan; menerapkan konsep multi-intervensi; melibatkan masyarakat melalui pendekatan berbasis komunitas dalam pelayanan transportasi; serta membangun kemitraan.

Sotaro selaku pembicara selanjutnya menyampaikan paparan bertajuk “Rethinking Local Public Transport in Indonesia from a Japanese Perspective: Lessons from Klaten Regency, Central Java and Japan”. Ia menjelaskan ketertarikannya pada transportasi umum pedesaan di Indonesia berangkat dari realitas di Jepang, di mana masalah serupa telah menjadi perhatian luas kalangan peneliti. Banyak peneliti Jepang berasumsi bahwa di negara berkembang dengan kepemilikan mobil yang masih rendah, transportasi umum tetap berkembang. Namun, pengalamannya tinggal di Malaysia menunjukkan penurunan signifikan pada jaringan transportasi umum. Tren serupa, sejak 2016, juga terjadi di Indonesia, meski tingkat kepemilikan mobil tinggi. Kondisi inilah yang mendorong Sotaro meneliti penyebab dan prospek masa depan transportasi umum pedesaan di Indonesia.

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Klaten, mencakup wilayah Cawas, Wedi, dan Manisrenggo, dengan fokus pada pasar, kantor pemerintah, sekolah, dan desa. Hasil penelitian menegaskan pentingnya transportasi umum bagi lansia dan pelajar, sekaligus menunjukkan kuatnya modal sosial di wilayah pedesaan. Tantangan serupa dalam penyediaan transportasi umum lokal juga terjadi di Jepang. Meski dikenal memiliki sistem transportasi umum yang maju, kenyamanan tersebut sejatinya terbatas pada kawasan metropolitan utama seperti Tokyo dan Osaka. Di daerah pedesaan, Jepang menghadapi persoalan mendesak seperti penurunan jumlah penumpang bus, risiko mengemudi oleh lansia akibat penuaan penduduk, serta keterbatasan dukungan pemerintah terhadap layanan transportasi umum.

“Di kota-kota regional dan daerah pedesaan Jepang, bus merupakan moda  transportasi umum utama. Namun, dalam 20 tahun terakhir jumlah penumpang menurun hingga setengahnya, sehingga banyak rute sulit untuk bertahan secara finansial tanpa subsidi. Sejak pertengahan 1990-an, subsidi pemerintah terus meningkat: di daerah perkotaan, subsidi mencakup sekitar 10% biaya operasional bus, sedangkan di daerah pedesaan banyak rute bergantung pada subsidi sebesar 60-90% dari biayanya,” demikian disampaikan Sotaro.

Sotaro menyampaikan bahwa cakupan penduduk yang terlayani transportasi umum di daerah pedesaan Jepang lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Klaten sebagaimana dilaporkan sebelumnya. Di wilayah Kanto bagian utara, yang memiliki banyak daerah datar dan kota-kota yang tersebar, jaringan bus mampu menjangkau sekitar 60-70% dari populasi. Kondisi ini didorong oleh sejumlah faktor, antara lain subsidi pemerintah; road icing atau kondisi jalan licin akibat es pada musim dingin yang membuat sepeda motor tidak layak untuk digunakan; serta inisiatif pemerintah daerah untuk mempertahankan layanan transportasi umum, misalnya dengan mengatur jadwal operasional bus agar selaras dengan jadwal rumah sakit dan sekolah.

Sotaro juga menyampaikan bahwa di Indonesia, dengan ikatan sosial masyarakat yang kuat, penduduk dan pemerintah daerah berpotensi bekerja sama untuk mempertahankan layanan transportasi umum pada tingkat minimum. Pemanfaatan layanan Uber untuk transportasi masyarakat serta penerapan sistem transportasi penumpang berbayar menggunakan mobil pribadi dinilai sangat memungkinkan di pedesaan Indonesia. Kerja sama penelitian lanjutan diperlukan untuk memperkuat dan mempertajam rekomendasi yang telah disampaikan.

Dalam diskusi, Sotaro menegaskan bahwa pengembangan transportasi publik seharusnya berfokus pada keandalan layanan, bukan sekadar implementasi teknologi. Dalam sebuah webinar, ia menyoroti ironi di Jepang yang justru tidak memiliki rencana transportasi nasional komprehensif akibat privatisasi dan fokus berlebihan pada pembangunan jalan. Berkaca dari pengalaman tersebut, Sotaro menilai Indonesia—dengan anggaran terbatas—perlu mengadopsi solusi berbasis komunitas, seperti memformalkan layanan transportasi informal oleh warga dan memodernisasi armada bus kecil dengan sistem digital. Ia juga memuji kebersihan KRL Commuter Line Jakarta yang dinilainya melampaui standar di Jepang. Sotaro menekankan peran advokasi Organisasi Nirlaba (NPO) menjadi krusial untuk mendorong pergeseran kebijakan dari pola yang sangat berpusat pada mobil menuju transportasi publik berkelanjutan, demi mengatasi kemacetan dan persoalan lingkungan.

Antusiasme luar biasa mewarnai jalannya webinar, dengan 800 peserta aktif memberikan respons melalui Zoom dan YouTube. Diskusi interaktif ini dipandu oleh Ir. Mukhammad Rizka Fahmi Amrozi, S.T., M.Sc., Ph.D., pengajar dari Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM). Partisipasi aktif peserta yang menyampaikan beragam gagasan, mencerminkan tingginya perhatian publik terhadap isu transformasi transportasi di wilayah pedesaan, khususnya perubahan pola mobilitas dan layanan angkutan umum.

Dalam sesi penutup, Amrozi menyoroti transformasi transportasi pedesaan di Indonesia yang kini didominasi oleh sepeda motor, sehingga banyak layanan angkutan umum formal di berbagai daerah menurun atau bahkan runtuh. Ia menilai, model kolaboratif seperti di Jepang—yang memadukan subsidi pemerintah dan partisipasi aktif masyarakat—layak menjadi inspirasi. Skema tersebut berpotensi melahirkan sistem transportasi terpadu, berkelanjutan dan efisien di wilayah dengan mobilitas rendah. Dengan mengandalkan modal sosial masyarakat yang kuat, Amrozi optimistis Indonesia mampu membangun layanan transportasi pedesaan yang inklusif, terjangkau, dan ramah lingkungan di masa mendatang. (Udin-red)

Memetakan Masa Depan: Pelatihan SIG Dasar Angkatan 26 Tingkatkan Kapasitas SDM Spasial

YOGYAKARTA – Di tengah tuntutan pengambilan keputusan berbasis data yang kian mendesak, Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) Universitas Gadjah Mada (UGM) kembali menegaskan komitmennya dalam peningkatan kapasitas sumber daya manusia nasional. Melalui “Pelatihan Sistem Informasi Geografis (SIG) Dasar Angkatan 26” yang digelar pada 14–19 Juli 2025, Pustral UGM membekali para profesional dari berbagai instansi dengan keahlian pemetaan digital yang esensial untuk perencanaan dan analisis modern.

Pelatihan yang telah berjalan hingga angkatan ke-26 ini menjadi bukti konsistensi dan relevansi Pustral UGM sebagai lembaga riset terdepan sejak didirikan pada 2001. Dikelola secara profesional oleh Divisi Pelatihan dan Seminar di bawah pimpinan Sa’duddin, S.Si., M.B.A, M.Sc., program ini telah menjadi rujukan utama bagi para profesional di seluruh Indonesia yang ingin menguasai teknologi geospasial.

Dukungan penuh dari jajaran pimpinan mempertegas signifikansi strategis pelatihan ini. Acara dibuka secara resmi oleh Kepala Pustral UGM, Ir. Ikaputra, M.Eng., Ph.D., dan ditutup oleh Koordinator Unit Penelitian dan Pengembangan, Ir. Juhri Iwan Agriawan, S.T., M.Sc. Keterlibatan langsung para pimpinan ini mengisyaratkan bahwa kurikulum yang diajarkan selaras dengan standar riset terapan yang digunakan Pustral UGM dalam mengkaji isu-isu transportasi, logistik, dan infrastruktur nasional.

Selama enam hari intensif, peserta diajak menyelami alur kerja SIG secara komprehensif. Tiga hari pertama difokuskan pada pembangunan fondasi yang kokoh, mencakup konsep dasar SIG, pengenalan perangkat lunak ArcGIS, struktur data, hingga teknik georeferencing untuk memastikan akurasi peta. Sesi ini dilanjutkan dengan praktik entri dan penyuntingan data, sebuah keterampilan fundamental untuk membangun basis data spasial yang andal.

Memasuki paruh kedua, pelatihan beralih ke tingkat analisis dan teknologi yang lebih canggih. Peserta mempelajari analisis spasial menggunakan data vektor untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan geografis yang kompleks. Keunggulan utama program ini terletak pada integrasi teknologi akuisisi data modern, di mana peserta tidak hanya belajar teori, tetapi juga praktik langsung di lapangan menggunakan Global Navigation Satellite System (GNSS) dan drone untuk pemetaan udara.

Kekuatan utama pelatihan ini terletak pada jajaran instrukturnya, sebuah “tim impian” yang terdiri dari para pakar lintas fakultas di UGM. Pustral UGM secara strategis memobilisasi para ahli dari Fakultas Teknik, Geografi, MIPA, Sekolah Vokasi, hingga Pusat Kedokteran Tropis. Kolaborasi ini memastikan peserta mendapatkan pemahaman SIG yang holistik dan aplikatif dari berbagai sudut pandang keilmuan.

Pendekatan interdisipliner ini memberikan nilai tambah yang luar biasa. Peserta belajar tentang presisi sistem koordinat dari pakar Teknik Geodesi, logika komputasi dari ahli Sains Informasi Geografis, hingga teknik pengolahan citra drone dari spesialis Ilmu Komputer. Perspektif yang beragam ini membekali peserta dengan kemampuan untuk melihat SIG bukan sekadar sebagai alat teknis, melainkan sebagai platform kolaboratif untuk memecahkan masalah yang kompleks.

Dampak pelatihan ini tercermin dari profil 12 peserta yang beragam, mulai dari perwakilan Dinas Tata Ruang Kota Bekasi, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Tabalong dan Murung Raya, hingga sektor swasta seperti pengembang properti PT. Bumi Serpong Damai, serta Naresy International Education Consultant. Keberagaman ini menciptakan lingkungan belajar yang dinamis, di mana tantangan nyata dari berbagai industri dapat didiskusikan dan dicarikan solusinya melalui pendekatan spasial.

Validasi terkuat terhadap kualitas program datang dari Dinas Tata Ruang Kota Bekasi, yang mengirimkan delegasi berisi delapan orang dengan latar belakang pendidikan yang bervariasi, dari perencanaan wilayah hingga akuntansi. Langkah ini menunjukkan pengakuan bahwa literasi spasial merupakan kompetensi inti yang harus dimiliki oleh seluruh lini organisasi. Lulusan pelatihan ini kini siap kembali ke instansi masing-masing sebagai agen perubahan, dibekali keahlian untuk mendukung pembangunan nasional yang lebih efisien dan terinformasi secara spasial. (SDD & Tim Training)

Pustral UGM memaparkan Hasil Studi Kelayakan Pembukaan Jalur Roro Batam-Johor

 

Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) Universitas Gadjah Mada telah menyelesaikan Studi Kelayakan Pembukaan Jalur Roro Batam-Johor bekerjasama dengan Badan Pengusahaan Batam (BP Batam). Dalam rangkaian kajian tersebut, dilaksanakan Managament  Expose  Studi  Kelayakan Pembukaan Jalur RORO Batam – Johor pada Selasa, 22 Juli 2025 pukul 09.00 WIB – selesai di Hotel Borobudur Jakarta. Hadir dalam acara tersebut Fary Djemy Francis selaku Deputi Bidang Investasi dan Pengusahaan BP Batam yang memberikan sambutan dan membuka acara serta menyerahkan hasil kajian dari BP Batam kepada Bobby Chriss Siagian selaku Asisten Deputi Kerja Sama Ekonomi Regional, Kemenko Perekonomian.

Fary Francis, mengatakan, pembukaan jalur Roro ini menjadi salah satu agenda strategis nasional untuk mendorong pertumbuhan ekonomi kawasan. “Batam ditargetkan menjadi role model pertumbuhan ekonomi nasional, salah satunya dengan menangkap peluang dari pembukaan jalur Roro ke Johor,” kata Fary yang hadir mewakili Kepala BP Batam, Amsakar Achmad. Fary menyebut, melalui forum ini BP Batam ingin menyampaikan gambaran utuh terkait kelayakan proyek tersebut. Hasil studi menunjukkan proyek ini layak dari aspek teknis, finansial, lingkungan, hingga sosial. “Expose ini menjadi ruang untuk menyampaikan hasil kajian secara menyeluruh, agar seluruh pihak memahami bahwa proyek ini memang layak dikembangkan,” jelasnya.

Hasil kajian disampaikan oleh perwakilan tim studi yaitu Prof. Ir. Nur Yuwono, Dip.HE, Ph.D. selaku Ketua Tim (Aspek Teknis dan Operasional), Dr. Harry Purwanto, SH, M.Hum (Aspek Hukum), serta Ir. Dwi Ardianta Kurniawan, S,T., M.Sc (Aspek Pasar, Finansial, Dampak Sosial Ekonomi dan Risiko). Hadir pula Ir. Juhri Iwan Agriawan, S.T, M.Sc selaku project leader sebagai moderator. “Dari sisi operasional, layanan ini layak diselenggarakan karena ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai,” demikian disampaikan Nur Yuwono. Aspek operasional saat ini ditentukan oleh kapasitas sandar kapal Roro di Pelabuhan Bintang 99 Persada yang terbatas (hanya 1 kapal). Secara kesiapan prasarana, layanan ini siap diselenggarakan terutama dari sisi ketersediaan area pengembangan. Meskipun demikian dibutuhkan renovasi di kedua lokasi pelabuhan. Pada Pelabuhan Bintang 99 Persada diperlukan penataan/renovasi untuk melayani fungsi PLBN tipe A dan kualitas fasilitas agar sesuai untuk layanan penumpang wisata internasional. Sementara di Pelabuhan Tanjung Belungkor, Johor dibutuhkan pemasangan linkspan untuk ferry roro yang saat ini kondisinya rusak. Juga dibutuhkan perbaikan/ penyempurnaan untuk melayani kendaraan yang berukuran agak besar.

Dari aspek hukum, Harry Purwanto menyampaikan bahwa pelaksanaan angkutan Ferry Roro Batam – Johor layak dan dapat dijalankan karena pengaturan umum sudah tersedia. Namun demikian, perlu memperhatikan prinsip-prinsip kerjasama bilateral, jika menggunakan bentuk Kerjasama bilateral. Beberapa hal perlu diperhatikan adalah dipersiapkan MoU untuk menampung hak dan kewajiban yang seimbang diantara para pihak, baik dalam tataran MoU maupun dalam implementasinya. Selain itu, mempertimbangkan kembali sarana dan prasarana yang dibutuhkan sebagaimana aturan-aturan yang ditetapkan oleh IMO (seperti Solas, Marpol, dan lainnya), Tokyo MoU, serta peraturan perundangan nasional.

Juga diperlukan sarana dan prasarana pendukung dalam melakukan pemeriksaan atas dokumen-dokumen (seperti paspor/dan atau pas lintas batas, SIM Domestik, SIM Internasional, ATA Carnet dan CPD Carnet yang masih berlaku). Selain itu perlu pertimbangan terkait status Batam sebagai Kawasan perdagangan bebas, sedangkan Johor tidak. Selanjutnya Harry menyampaikan pula bahwa sesuai Permendag 8/2024, barang-barang konsumsi dimana Batam tidak ditunjuk sebagai pelabuhan tujuan untuk produk makanan dan minuman, kosmetik, suplemen kesehatan, alas kaki, telpon genggam dll. Perlu disiapkan jika pihak Johor meminta bisa masuk (prinsip mutual benefit dan resiprositas) maka perlu regulasinya (misalnya pengecualian terhadap barang-barang tertentu sebagaimana diminta pihak Johor).

Dari sisi risiko perlu diperhatikan risiko-risiko yang mencakup risiko teknis dan operasional, risiko regulasi dan kepatuhan hukum, risiko hubungan bilateral dan politik, risiko finansial, risiko lingkungan, risiko sosial dan keamanan, serta risiko pemasaran (marketing & branding). Terlepas dari risiko-risiko yang perlu dimitigasi, Dwi Ardianta menyampaikan bahwa hasil kajian menunjukkan layanan Roro Batam – Johor layak secara finansial dengan periode pengembalian sekitar tujuh tahun. Pengoperasian Roro Batam – Johor juga memberikan manfaat ekonomi baik keterkaitan ke belakang (sektor-sektor lain sebagai faktor produksi jasa angkutan laut), misalnya penggunaan BBM, jasa perbaikan kapal, perbankan, dll, serta keterkaitan ke depan (jasa angkutan laut sebagai faktor produksi/fasilitasi sektor lain) misalnya untuk angkutan barang, perdagangan, dll. Secara kuantitatif, pengoperasian Roro akan memberikan multiplier effect sektor transportasi laut terhadap perekonomian wilayah baik di Batam maupun Johor.

Acara dihadiri oleh sekitar 50 orang yang berasal dari BP Batam, Kemenko Perekonomian, Kementerian Luar Negeri (Konsul Jenderal RI di Johor), Kementerian Perhubungan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, Kementerian Hukum dan HAM, Badan Karantina Indonesia, Kementerian Perindustrian, dan PT ASDP Indonesia Ferry. Parapihak secara umum mendukung secara penuh pengoperasian Roro Batam – Johor, serta siap menindaklanjuti penyiapan secara teknis dan operasional sesuai dengan kewenangan masing-masing. (DAK)