Arsip:

pustralnews

Webinar “Elektrifikasi Ground Support Equipment (GSE): Strategi Efisiensi Energi dan Pengurangan Emisi di Bandar Udara”

Sektor transportasi berkontribusi sekitar 25% dari total emisi gas rumah kaca global (UN Environment Programme, 2024). Aktivitas penerbangan dan operasional bandara memegang peranan yang signifikan dalam angka tersebut. Secara khusus, peralatan Ground Support Equipment (GSE), seperti Baggage Towing Tractor (BTT), umumnya masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil. Kondisi ini tidak hanya menghasilkan emisi karbon yang tinggi, tetapi juga memicu polusi suara dan tingginya biaya operasional. Demikian disampaikan oleh Prof. Ir. Siti Malkhamah, M.Sc., Ph.D selaku Caretaker Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM dalam webinar “Elektrifikasi Ground Support Equipment (GSE): Strategi Efisiensi Energi dan Pengurangan Emisi di Bandar Udara”. Webinar terselenggara atas kerjasama Pusral UGM dengan Pusat Riset Teknologi Transportasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada Rabu, 19 November 2025 pukul 08.30 – selesai.

Webinar menghadirkan para pembicara Cece Tarya, S.T., M.A., Kepala Subdirektorat  Penyelenggaraan dan Pengusahaan Bandar Udara, Kementerian Perhubungan; Bapak Akbar Putra Mardhika, Airport Engineering Group Head PT Angkasa Pura Indonesia; Bapak Laode M. Syamrin, Maintenance and Engineering Services Group Head PT Gapura Angkasa; Bapak Mohamad Ivan Aji Saputro, Perekayasa Ahli Muda Pusat Riset Teknologi Transportasi BRIN; serta Ir. Juhri Iwan Agriawan, S.T., M.Sc., Peneliti Pustral UGM.

Prof. Dr. Cuk Supriyadi Ali Nandar, S.T., M.Eng.  selaku Kepala Organisasi Riset Energi dan Manufaktur (OREM) BRIN, dalam sambutan sebelumnya menyampaikan bahwa perjalanan untuk menuju implementasi GSE rendah emisi harus dilakukan dengan kolaborasi seluruh kepentingan, baik penyedia bandara, penyedia GSE dan produsen peralatan. BRIN mendukung implementasi GSE rendah emisi. Berbagai tantangan seperti investasi awal, kesiapan infrastruktur pendukung dan peningkatan kapabilitas SDM harus diatasi dengan pendekatan terintegrasi dan berbasis data. Webinar menjadi momentum penting untuk menyatukan pandangan dari berbagai praktik terbaik dan mempercepat operasional GSE yang lebih ramah lingkungan. Harapannya dapat dirumuskan rekomendasi dan tindak lanjut untuk mendorong komitmen nyata yang bukan hanya mendorong teknologi namun juga pengurangan emisi.

Turut menyampaikan sambutan juga Dr. Eng., Aam Muharam. M.T selaku Kepala Pusat Riset Teknologi Transportasi BRIN. Beliau menyampaikan bahwa industri penerbangan global menuju operasional yang lebih efisien dan berkelanjutan. Hal ini bukan hanya di sisi udara namun juga darat, yaitu GSE yang memiliki peran sentral menurunkan jejak karbon di bandara. Hal ini menjadi peluang strategis untuk meningkatkan efisiensi energi melalui modernisasi teknologi terutama elektrifikasi dan optimalisasi operasional di bandara. Hal ini tidak hanya mendukung target pengurangan emisi nasional dan internasional, namun juga menjadi kekuatan daya saing bandara untuk ekosistem operasional yang lebih hening, bersih, dan menghemat biaya operator bandara.

Cece Tarya sebagai pembicara pertama menyampaikan bahwa elektrifikasi GSE dan kendaraan operasional di bandar udara merupakan bagian kebijakan aksi mitigasi perubahan iklim sektor transportasi sebagaimana ditetapkan dalam KM 08 tahun 2023. Aksi mitigasi perubahan iklim sektor transportasi udara mencakup 1) Efisiensi energi, meliputi peremajaan, penyempurnaan sistem dan prosedur pengoperasian serta perawatan angkutan udara penumpang; penggunaan peralatan dan teknologi hemat energi di bandar udara; serta elektrifikasi peralatan penunjang pelayanan darat pesawat udara (Ground Support Equipment/ GSE) dan kendaraan operasional di bandar udara. Selanjutanya 2) Pemanfaatan energi baru  terbarukan (EBT), meliputi penggunaan biofuel pada bahan bakar pesawat udara; pemanfaatan penerangan jalan bertenaga surya di bandara; dan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) pada prasarana  transportasi. Dan terakhir 3) Kehutanan dan sektor lahan lainnya, meliputi penghijauan lingkungan bandar udara dengan melakukan penanaman pohon di sekitar area bandar udara yang dilakukan secara bertahap. Cece juga menyampaikan roadmap elektrifikasi GSE adalah pada tahun 2025 berupa pengumpulan data & literasi, tahun 2026 berupa elektrifikasi (kajian pemilihan teknologi, deregulasi), tahun 2027 uji kelaikan & evaluasi, serta 2028 – 2029 implementasi & monitoring yang diharapkan dapat mencapai advanced technology pada tahun selanjutnya.

Pembicara selanjutnya, Akbar Putra Mardhika menyampaikan bahwa Angkasa Pura Indonesia berkomitmen untuk mengurangi penggunaan BBM, oleh sebab itu Angkasa Pura Indonesia berencana untuk mengkonversi kendaraan operasional bandara berbasis BBM menjadi kendaraan listrik hingga 197 unit dan SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum) hingga 147 unit pada tahun 2030. Hal ini selaras dan mendukung program pemerintah tentang penyediaan SPKLU di Indonesia. Namun demikian, Akbar menyatakan masih adanya tantangan implementasi elektrifikasi di bandara, diantaranya 1) Aspek SPKLU, meliputi tarif terhadap fasilitas SPKLU di Bandara, Keterbatasan lokasi SPKLU di sisi udara, dam Lokasi SPKLU tidak boleh mengganggu aktivitas operasional kendaraan lain; 2) Aspek Emergency, meliputi perlu disiapkan prosedur penanganan terhadap kebakaran dan lokasi parkir kendaraan harus diperhatikan; serta 3) Aspek Biaya Investasi, meliputi penyiapan jaringan listrik untuk SPKLU dan investasi kendaraan GSE EV yang cenderung lebih tinggi.

Bapak Laode M. Syamrin selaku pembicara ketiga menyampaikan Baggage Towing Truck (BTT) Elekrik sebagai salah satu GSE memiliki biaya operasional lebih rendah, energi yang efisien, dan mengurangi emisi sedangkan BTT Diesel memiliki Biaya Operasional lebih tinggi, energi tidak efisien, dan emisi tinggi. Terkait Biaya Operasional, dengan perhitungan penyusutan, perawatan, dan electricity/fuel consumption, BTT Elektrik memberikan penghematan hingga 20,73% dalam 10 tahun. BTT Elektik memiliki investasi awal lebih tinggi dibandingkan dengan BTT Diesel. BTT Elektrik juga mampu menghasilkan daya tarik yang cukup kuat, ideal untuk di Apron menarik bagasi dari make up area ke pesawat atau sebaliknya. Saat ini di Bandara Soetta, BTT Elektrik milik Gapura hanya dipergunakan untuk menarik bagasi, tidak dipergunakan untuk menarik kargo karena BTT elektrik yang dimiliki Gapura mempunyai kapasitas 1.500, disamping itu service road menuju ke warehouse terdapat tanjakan sekitar 30 derajat. Terakhir BTT Elektrik beroperasi 8 – 10 jam, selanjutnya melakukan pengisian daya 4-5 jam (jenis lead – acid battery).

Syamrin juga memberikan beberapa rekomendasi, diantaranya 1) Biaya Capex untuk GSE elektrik, termasuk BTT Elektrik sangat tinggi, maka perlu kebijakan pemerintah terkait subsidi (insentif fiskal & program konvensi) yang memungkinkan Perusahaan dapat mengadakan GSE Elektrik, 2) Penanganan baterai bekas (limbah B3) harus dilakukan secara baik, maka sebaiknya setiap Bandara harus ada Tempat Penampungan Sementara (TPS), dan selanjutnya harus diserahkan ke fasilitas pengumpulan limbah elektronik atau drop box khusus, 3) Penggunaan GSE elektrik termasuk BTT elektrik yang terbukti biaya operasional rendah, efisiensi energi dan mengurangi emisi maka menjadi pertimbangan Perusahaan dalam menentukan kebijakan dengan melakukan pengadaan GSE Elektrik termasuk BTT Elektrik, 4) Charging station belum memadai sehingga proses recharging harus menunggu, yang dapat mengakibatkan operasional terganggu, maka perlu dilakukan mitigasi dengan menyediakan baterai cadangan.

Pembicara selanjutnya, Mohamad Ivan Aji Saputro menyampaikan hasil kajian di BRIN yang menyatakan bahwa potensi manfaat elektrifikasi GSE di bandara yaitu 1) Pertumbuhan industri penerbangan: Dengan meningkatnya frekuensi penerbangan, kebutuhan akan GSE seperti BTT juga akan meningkat untuk menjaga kelancaran operasional turnaround pesawat, 2) Efisiensi energi: peralihan penggunaan BTT diesel ke BTT EV berpotensi menghasilkan efisiensi energi nasional, 3) Fleksibilitas penggunaan: Downtime BTT listrik lebih rendah 4% dan perawatan lebih sederhana dibandingkan BTT diesel yang menjadikannya lebih efisien, 4) Adopsi teknologi ramah lingkungan: Ada potensi besar untuk penggunaan BTT jenis elektrik yang tidak menghasilkan emisi gas buang, sesuai dengan tren global dan upaya pengurangan jejak karbon di industri penerbangan.

Ivan juga menyampaikan kesimpulan hasil kajian yang menyatakan bahwa 1) BTT listrik secara finansial memberikan indikasi kelayakan lebih tinggi dibanding BTT diesel, meskipun memerlukan investasi awal yang lebih besa. Return yang tinggi menunjukkan bahwa transisi ke BTT listrik akan memberikan manfaat finansial jangka panjang bagi operator bandara atau perusahaan ground handling, 2) BTT listrik juga terindikasi memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar dibanding BTT diesel, baik dari aspek lingkungan, kesehatan, efisiensi energi, juga penghematan biaya nasional lainnya, 3) Secara keseluruhan, alih teknologi dari BTT diesel ke BTT listrik cukup layak dan memberikan keuntungan finansial dan ekonomis baik bagi operator maupun masyarakat, serta 4) Penurunan emisi yang cukup signifikan dengan beralihnya BTT diesel ke BTT Listrik.

Pembicara terakhir, Ir. Juhri Iwan Agriawan, S.T., M.Sc., menyampaikan beberapa urgensi penerapan GSE elektrik di bandara, diantaranya adalah 1) Target Penurunan Emisi & Peningkatan Kualitas Lingkungan: Elektrifikasi GSE langsung menurunkan emisi CO₂, NOx, dan PM di apron. Ini meningkatkan kesehatan pekerja, mengurangi polusi area bandara, dan mendukung target Net Zero Emission serta program Green Airport nasional; 2) Efisiensi Operasional dan Penghematan Biaya Jangka Panjang: eGSE memiliki biaya operasional lebih rendah (energi murah, perawatan minim, keandalan tinggi). Ini penting bagi GHSP untuk meningkatkan produktivitas dan mengurangi downtime peralatan yang banyak terjadi pada GSE lama; 3) Kesiapan Infrastruktur Energi dan Transformasi Industri: Bandara Indonesia mulai membangun PLTS dan infrastruktur listrik yang cukup untuk mendukung eGSE. Ekosistem kendaraan listrik nasional berkembang, memudahkan integrasi teknologi dan pelatihan SDM; serta 4) Daya Saing Bandara dan Tuntutan Global: Maskapai dan investor menuntut operasional bandara rendah emisi. Bandara yang cepat mengadopsi eGSE akan lebih kompetitif secara global, setara Changi– KLIA–Bangkok, serta memenuhi standar internasional untuk green ground operations.

Iwan juga menyatakan hasil kajian yang pernah dilakukan Pustral UGM menunjukkan bahwa tingginya jumlah penumpang berkorelasi pada tingginya jumlah pergerakan bus apron. Hal ini berpengaruh pada tingginya jumlah pergerakan pesawat sehingga membutuhkan lebih banyak parking stand pesawat dan tingginya jumlah pergerakan untuk pengangkutan bagasi dan kargo. Hasil kajian juga menunjukkan bahwa tata letak bandara berpengaruh kepada jumlah pergerakan penumpang di bandara antara lain dalam hal penggunaan garbarata atau penggunaan bus apron.

Webinar dihadiri oleh sekitar 750 peserta dari berbagai kalangan yang terlibat aktif dalam diskusi yang dipandu oleh moderator Bapak Dr. Ir. Windra Priatna Humang, S.T., M.T., Peneliti Ahli Madya BRIN. Tiga penanya terbaik mendapatkan doorprize berupa buku terbitan Pustral UGM bersama mitra.

Konsep “Kolaborasi Ekonomi Sirkuler” Digagas Tim Ekspedisi Patriot Universitas Gadjah Mada Guna Mendukung Pengembangan Komoditas Unggulan di Kawasan Transmigrasi Hialu Kabupaten Konawe Utara

Kawasan Transmigrasi Hialu tepatnya berada di dalam wilayah Kabupaten Konawe Utara Provinsi Sulawesi Tenggara yang mulai dikembangkan sebagai daerah penempatan transmigran sejak tahun 1994, dengan komoditas utamanya berbasis perkebunan kelapa sawit. Kawasan Transmigrasi Hialu terdiri atas 4 (empat) Satuan Kawasan Permukiman (SKP) dengan pusat pengembangannya berada di 4 (empat) kecamatan, yaitu Kecamatan Wiwirano, Kecamatan Langgikima, Kecamatan Landawe dan Kecamatan Oheo. Seiring berjalannya waktu, komoditas-komoditas yang lain juga mulai berkembang, seperti peternakan sapi, pertanian, dan tanaman hortikultura. Dari beragam komoditas tersebut, kelapa sawit dan ternak sapi ditengarai tersebar dan dijumpai di seluruh SKP dan merupakan dua komoditas yang memiliki prospek positif untuk dikembangkan di Kawasan Transmigrasi Hialu.

Dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang telah diselenggarakan pada14 Oktober 2025, Tim Ekspedisi Patriot (TEP) UGM Ouput-2 menawarkan peluang pengembangan kegiatan ekonomi baru kepada masyarakat transmigrasi di Kawasan Hialu dengan konsep “Kolaborasi Ekonomi Sirkuler”. Konsep ini dikembangkan dengan prinsip mengkolaborasikan dua komoditas unggulan yaitu kelapa sawit dan ternak sapi sebagai sebuah sistem aktivitas usaha / ekonomi dengan prinsip ramah lingkungan. Pengolahan dan pemanfaatan limbah tanaman kelapa sawit sebagai alternatif pakan ternak sapi merupakan upaya mengurangi limbah aktivitas perkebunan sawit. Pemanfaatan limbah kotoran sapi sebagai pupuk kandang untuk tanaman sawit dan pertanian juga cukup potensial mengingat jumlah ternak sapi yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.  Selain untuk pupuk kandang, limbah ternak sapi (kotoran) dapat dimanfaatkan juga sebagai bahan baku pembuatan biogas untuk keperluan rumah tangga. Dengan konsep ekonomi sirkuler ini, diharapkan akan tumbuh aktivitas ekonomi baru dan menciptakan nilai tambah bagi masyarakat di Kawasan Transmigrasi Hialu.

Prinsip kolaborasi yang lain adalah kolaborasi dalam konteks kerjasama antarwarga transmigran dan antarSKP. Sebagaimana diketahui bahwa warga transmigrasi di Kawasan Hialu hampir semuanya memiliki usaha di perkebunan sawit dan sebagian warganya telah mengembangkan usaha ternak sapi untuk pemenuhan kebutuhan daging sapi bagi warga masyarakat di kawasan transmigrasi itu sendiri maupun daerah yang lain. Beberapa tahun terakhir terindikasi usaha ternak sapi terus mengalami peningkatan. Dan tentunya usaha ternak sapi membutuhkan dukungan ketersediaan pakan ternak secara kontinyu.

Tim Ekspedisi Patriot (TEP) UGM Ouput-2 yang diketuai oleh Joewono Soemardjito, ST., M.Si beserta 4 (empat) anggota tim yang lain, yaitu Christabel Geraldine Agustina, S.T.P., Ayura Fatwa Febriyanti, Hafizh Vergiansyah, dan Husban Yarjuna Firdaus dan diikuti oleh Tim TEP Hialu Output -1, dalam kesempatannya telah menyampaikan gagasan konsep pengembangan komoditas berbasis kolaborasi sirkular ekonomi kepada para peserta FGD warga transmigrasi sekaligus mewakili dari beberapa desa yang terdapat di dalam Kawasan Transmigrasi Hialu. Tanpa diduga sebelumnya, seluruh peserta FGD memberikan respon yang positif dan ketertarikannya terhadap tawaran yang disampaikan oleh Tim. Hal tersebut diperkuat dari hasil jajak pendapat masyarakat melalui pengisian borang yang disebarkan kepada seluruh peserta FGD sebelum acara dimulai, menunjukkan minatnya terhadap usaha pemanfaatan limbah sawit sebagai pakan ternak sapi. Mereka sangat mengharapkan adanya dukungan dari pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Konawe Utara untuk dapat merealisasikan konsep pengembangan yang ditawarkan oleh Tim TEP UGM melalui pendampingan / pelatihan pembuatan pakan ternak dari limbah sawit, bantuan peralatan pengolahan, pembuatan kandang sapi, dan lain sebagainya. Disamping itu, dukungan lainnya yang sangat diharapkan masyarakat adalah adalah permodalan untuk mendukung kegiatan usaha tersebut.

Untuk mendukung keberlanjutan usaha yang selama ini telah digeluti para transmigran di Kawasan Hialu, khususnya dalam hal pemasaran produk, masyarakat menghendaki adanya pembangunan akses berupa infrastruktur jalan dan akses penghubung di beberapa lokasi desa yang dibatasi oleh sungai. Keberadaan akses penghubung berupa jembatan dipandang masyarakat transmigrasi akan meningkatkan aksesibilitas dan mobilitas produk komoditas unggulan di kawasan tersebut. Hal tersebut juga dipertegas oleh Narasumber, Dr. Ir. Dewanti, MS., dosen di Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik UGM yang memiliki pengalaman dalam pengembangan kawasan transmigrasi. Menurut pandangan beliau, banyak kawasan transmigrasi yang belum tersentuh pembangunan infrastruktur jalan maupun jembatan. Kondisi ini menjadi kendala bagi masyarakat dalam pendistribusian atau penjualan produk-produk komoditas unggulan di daerah tersebut. Akbiatnya, biaya transportasi dan logistik menjadi semakin tinggi yang pada akhirnya akan mempengaruhi harga produk di tingkat konsumen.

Bapak Hendra Samrandani, SE, selaku Kabid Pembinaan Transmigras, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Konawe Utara, mengajak kepada seluruh peserta FGD untuk menyampaikan pandangan, harapan, atau masukan kepada tim TEP UGM terkait dengan pengembangan komoditas unggulan di Kawasan Hialu. Selaku perwakilan dari pemerintah daerah, beliau berkomitmen untuk membantu dan mendukung pembangunan transmigrasi di Kabupaten Konawe Utara sesuai dengan kewenangan dan tugas pokoknya. Menurutnya, kolaborasi, koordinasi, dan kerjasama antar lintas atau sektor juga sangat penting bagi upaya menyukseskan program pemerintah melalui pembangunan transmigrasi di masa-masa mendatang.

Tim Ekspedisi Patriot UGM Gelar FGD Evaluasi Kawasan dan Pengembangan Desain Komoditas Unggulan di Kawasan Transmigrasi Hialu, Konawe Utara

Konawe Utara – Program Transmigrasi Patriot merupakan inisiatif strategis Kementerian Transmigrasi Republik Indonesia dalam mewujudkan pembangunan kawasan transmigrasi yang inklusif, produktif, dan berkelanjutan. Program ini dirancang untuk menjawab tantangan pembangunan kawasan transmigrasi yang selama ini berjalan secara parsial dan belum sepenuhnya berbasis data, sekaligus memperkuat peran kawasan transmigrasi sebagai poros pertumbuhan ekonomi baru di wilayah pedesaan dan perbatasan. Sebagai bagian dari strategi nasional tersebut, Kementerian Transmigrasi menggandeng Universitas Gadjah Mada (UGM) melalui pelaksanaan Program Tim Ekspedisi Patriot (TEP) yang melibatkan akademisi lintas disiplin untuk melakukan kajian lapangan dan perumusan rekomendasi pembangunan berbasis riset. Kolaborasi ini menjadi langkah konkret dalam menghadirkan pendekatan ilmiah, partisipatif, dan berbasis bukti (evidence-based policy) pada proses evaluasi serta perencanaan kawasan transmigrasi, sekaligus memperkuat sinergi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat lokal guna menghasilkan desain pengembangan wilayah yang berdaya saing, berkeadilan, dan berkelanjutan.

Pada tahun 2025, salah satu lokus pelaksanaan Program Transmigrasi Patriot berada di Kawasan Transmigrasi Hialu, Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara. Melalui keterlibatan Tim Ekspedisi Patriot UGM, kegiatan di Kawasan Transmigrasi Hialu diarahkan untuk melakukan evaluasi komprehensif terhadap kondisi sosial, ekonomi, ekologis, dan kelembagaan kawasan. Evaluasi ini menjadi langkah awal dalam merumuskan desain komoditas unggulan dan tata kelola kolaboratif yang mampu memperkuat kemandirian masyarakat sekaligus menjaga keberlanjutan kawasan.

Sebagai salah satu tahapan dari riset yang dilakukan, Tim Ekspedisi Patriot Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Evaluasi Kawasan dan Pengembangan Desain Komoditas Unggulan di Kawasan Transmigrasi Hialu”. Kegiatan ini berlangsung pada Selasa, 21 Oktober 2025, di Konawe Utara, dengan dihadiri oleh beberapa Dinas/Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) Konawe Utara untuk membahas secara terbuka kondisi aktual, potensi strategis, serta arah pengembangan kawasan transmigrasi di Konawe Utara.

 

FGD dibuka oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Konawe Utara, yang mewakili Bupati. Dalam sambutannya, Dr. Safruddin, S.Pd., M.Pd.  menyampaikan apresiasi atas terselenggaranya kegiatan yang dinilai penting sebagai wadah pertemuan antara data akademik dan realitas lapangan di kawasan transmigrasi. Ia menegaskan bahwa Kawasan Hialu memiliki potensi besar di sektor pertanian dan peternakan, yang perlu diperkuat melalui inovasi dan penelitian berbasis data. Namun, Sekda turut menyoroti permasalahan mengenai status lahan hak transmigrasi sebagai tantangan utama. Meskipun sebagian masyarakat telah memiliki sertifikat tanah, status kawasan tersebut masih tercatat sebagai kawasan hutan, yang menyebabkan tumpang tindih kewenangan dan ketidakpastian hukum. Ia berharap hasil kajian Tim Ekspedisi Patriot dapat membantu mengurai persoalan tersebut serta melahirkan rekomendasi berbasis kebutuhan nyata masyarakat.

Sebagai pemantik diskusi, Tim Ekspedisi Patriot UGM Hialu Output 1 dan 2, memaparkan hasil kajian awal TEP di wilayah transmigrasi Konawe Utara. Mohamad Rachmadian Narotama, S.T., M.Sc., Ph.D., selaku Ketua Tim Ekspedisi Patriot Hialu – Output 1, menjelaskan bahwa potensi utama kawasan saat ini adalah perkebunan kelapa sawit, namun ekspansi yang berlebihan berpotensi menimbulkan konflik dengan sektor lain, terutama akibat tumpang tindih izin usaha pertambangan (IUP).

Rachmadian juga menyoroti kondisi lingkungan di Kawasan Hialu yang memiliki potensi besar sebagai kawasan geosite atau geopark karena karakteristik bentang alamnya yang unik. Namun, infrastruktur dasar seperti air bersih dan sanitasi masih menjadi tantangan utama, dengan beberapa sumber air yang mengering dan tercemar aktivitas tambang. Selain itu, Ia menekankan pentingnya mengembangkan model ekonomi sirkular sawit, misalnya dengan memanfaatkan limbah sawit menjadi pakan ternak sapi, serta merancang strategi pengelolaan sawit berkelanjutan dengan memperhatikan aspek konservasi lahan dan kesehatan ekosistem.

Dalam sesi diskusi, para camat dan perwakilan instansi memaparkan berbagai permasalahan di wilayahnya masing-masing. Camat Langgikima, Tasruddin, menyoroti dampak lingkungan akibat aktivitas tambang dan perkebunan sawit, seperti banjir di musim hujan dan polusi debu di musim kemarau. Lebih dari itu, sebagian besar wilayah Langgikima masih berstatus kawasan hutan, bahkan termasuk kantor kecamatan, sehingga masyarakat kesulitan memperoleh legalitas lahan. Isu tersebut didukung oleh pernyataan Marwan, perwakilan dari UPTD Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Unit XIX Laiwoi Utara, menyampaikan bahwasannya sekitar 70% wilayah Konawe Utara masih berstatus kawasan hutan. Veni, perwakilan dari Kantor Pertanahan Konawe Utara, menegaskan bahwa sertifikat tanah baru dapat memiliki kekuatan hukum setelah penurunan status kawasan hutan disahkan oleh pemerintah pusat. Dengan begitu, isu terkait status lahan ini memerlukan perhatian tingkat struktural tertinggi, dalam hal ini adalah pemerintah pusat.

Narasumber FGD, Ir. Deva Fosterharoldas Swasto, S.T., M.Sc., Ph.D., menutup sesi diskusi dengan menegaskan bahwa berbagai permasalahan di Kawasan Transmigrasi Hialu, Konawe Utara mencerminkan kompleksitas pembangunan wilayah yang membutuhkan kolaborasi lintas sektor. Sartono, perwakilan dari Badan Pembangunan, Riset, dan Inovasi Daerah (Bapperida) Konawe Utara, mengimbau agar Dinas/OPD di Kabupaten Konawe Utara menyatukan sinergi untuk merumuskan kebijakan intervensi kawasan transmigrasi dalam penyelesaian permasalahan yang ada.

Kegiatan FGD ditutup dengan harapan agar seluruh hasil diskusi dapat ditindaklanjuti dalam kebijakan yang konkret dan berpihak pada masyarakat. Pemerintah Daerah Konawe Utara dan Tim Ekspedisi Patriot UGM sepakat bahwa program transmigrasi dapat berperan sebagai tulang punggung pembangunan daerah. Harapannya, Kawasan Transmigrasi Hialu dapat dijadikan laboratorium pengembangan komoditas dan percontohan pembangunan wilayah berkelanjutan di Kabupaten Konawe Utara.

Tim Ekspedisi Patriot Universitas Gadjah Mada Selenggarakan Focus Grup Discussion dengan Tema Menakar Ulang Arah Pembangunan Kawasan Transmigrasi Bena, Timor Tengah Selatan (TTS)

Kawasan Transmigrasi Bena di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) menyimpan potensi besar dalam sektor pertanian, hortikultura, dan perkebunan lahan kering. Namun untuk memaksimalkan potensi tersebut, kawasan ini membutuhkan inovasi, penguatan rantai nilai, serta pendekatan pembangunan yang lebih terukur dan berbasis data. Atas kebutuhan ini, Kementerian Transmigrasi menggandeng Universitas Gadjah Mada (UGM) melalui Program Tim Ekspedisi Patriot (TEP) yang melibatkan akademisi lintas disiplin untuk melakukan kajian lapangan dan merumuskan rekomendasi pembangunan berbasis riset.

Sebagai bagian dari rangkaian kajian Output 2, Tim Ekspedisi Patriot UGM bersama Pemerintah Kabupaten TTS menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) bertema “Menakar Ulang Arah Pembangunan Kawasan Transmigrasi Bena: Refleksi dan Gagasan Penguatan Berbasis Kemandirian dan Kolaborasi.”

Sekda TTS: Perlu Perpaduan Antara Data dan Realitas Lapangan

Sekretaris Daerah Kabupaten TTS, Drs. Seperius E. Sipa, M.Si., membuka kegiatan dengan menegaskan bahwa pengembangan kawasan Bena memerlukan perpaduan antara data ilmiah dan konteks lokal empat kecamatan yang menjadi lokus transmigrasi: Kolbano, Kualin, Kuanfatu, dan Amanuban Selatan. Menurutnya, tantangan utama seperti produktivitas pertanian yang belum optimal, harga komoditas yang fluktuatif, serta minimnya sarana pascapanen membutuhkan kebijakan yang lebih terintegrasi dan kolaboratif.

Kajian Komoditas Unggulan dan Tantangan Infrastruktur

Ketua Tim Ekspedisi Patriot Bena Output 2, Ir. Deni Prasetio Nugroho, S.T., M.T., memaparkan bahwa komoditas unggulan seperti jagung, kemiri, kelapa, asam, hingga hortikultura bawang dan cabai memiliki prospek tinggi jika ditopang oleh penguatan kelembagaan, sistem pemasaran, dan infrastruktur.

“Yang kami temukan adalah potensi komoditas yang besar namun belum memiliki sistem rantai nilai yang solid. Diperlukan collection point, kemitraan pasar, dan penguatan BUMDes sebagai aggregator,” jelas Deni.

Berdasarkan catatan lapangan terakhir, Deni sangat mengapresiasi rilisnya merek beras swadaya masyarakat di Kecamatan Amanuban Selatan bernama “Nona Bena”. Deni berharap inisiasi ini dapat menjadi langkah awal bangkitnya kelembagaan swadaya masyarakat, dan dapat menjadi rujukan bagi daerah maupun komoditas lainnya.

Sementara itu, Dr. Ir. Dewanti, M. S, dari Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan UGM, menyoroti persoalan aksesibilitas yang masih menghambat pergerakan barang dan masyarakat. Ia menjelaskan kondisi jalan belum memadai, jembatan rusak, serta terbatasnya layanan transportasi desa membuat komoditas unggulan sulit menembus pasar regional seperti Soe dan Kupang. Tak hanya itu, Dewanti juga memberikan tiga kunci utama dalam pengembangan komoditas demi terwujudnya kesejahteraan bagi masyarakat, yaitu “Kerja Nyata, Kolaborasi, dan Hilirisasi,” karena pertumbuhan ekonomi kerakyatan tidak akan tumbuh tanpa usaha pengembangan, pengolahan, dan pemanfaatan teknologi. Melalui spirit solidaritas yang menjadi modal sosial masyarakat, Dewanti berharap adanya koordinasi yang lebih terarah antarsektor dan antarwilayah.

Penguatan Berbasis Kearifan Lokal dan Sinergi Multipihak

Jakob E.P. Benu, S. T, M. T, Plt. Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Kabupaten TTS, menekankan pentingnya mengangkat kembali praktik pertanian lokal sembari menghadirkan teknologi sederhana untuk meningkatkan produktivitas. Ia menyebut Kualin dan Kolbano sebagai calon sentra hortikultura dataran kering yang dapat dikembangkan sebagai penyangga ekonomi kawasan. Selain itu, Jakob juga menyebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten TTS belum lama ini bekerja sama dengan salah satu Non-Governmental Organization (NGO), ICRAF Southeast Asia, dalam melakukan pemetaan komoditas potensial baru yang memiliki kesesuaian dengan karakteristik lahan dan topografi Kawasan Transmigrasi Bena, seperti kopi robusta di Kecamatan Amanuban Selatan dan kopi arabica di Kecamatan Kuanfatu. Dengan adanya pendiskusian ini, diharapkan adanya feedback terhadap rencana pengembangan subsektor pertanian dan perkebunan, mengingat pentingnya kawasan ini dalam sumbangsihnya terhadap kebutuhan pangan dan perekonomian Kabupaten TTS

FGD ini turut melibatkan para camat dari Kolbano, Kualin, Kuanfatu, dan Amanuban Selatan, serta para kepala desa dari desa lokus transmigrasi di kawasan Bena, yang menyampaikan persoalan nyata di lapangan mulai dari keterbatasan akses jalan, sarana penunjang pertanian, hingga tantangan pengelolaan sumber daya air.

Secara keseluruhan, kegiatan FGD memberikan banyak masukan bagi Pemerintah Kabupaten TTS dan Tim Ekspedisi Patriot UGM Kawasan Transmigrasi Bena terkait potensi dan harapan dalam pemanfaatan komoditas berbasis kearifan lokal. Kawasan Transmigrasi Bena yang terletak di daerah selatan, tak hanya kaya akan potensi pertanian dan perkebunan, tetapi juga memiliki potensi ternak dan tangkap laut. Masyarakat berharap dengan adanya kolaborasi lintas sektor dapat memaksimalkan potensi tersebut demi terwujudnya masyarakat yang berdaya dan sejahtera, dengan mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan demi generasi masa depan.

Menuju Kebijakan Berbasis Bukti dan Kolaboratif

Program Transmigrasi Patriot merupakan bagian dari strategi nasional untuk menghadirkan pembangunan kawasan transmigrasi yang inklusif, produktif, dan berkelanjutan. Melalui kolaborasi antara pemerintah daerah, akademisi, dan masyarakat, kajian ini diharapkan menghasilkan rekomendasi kebijakan yang konkret, mulai dari penetapan komoditas unggulan, penguatan ekonomi lokal, hingga pengembangan infrastruktur pendukung.

“Ini adalah langkah awal untuk merumuskan desain pengembangan kawasan yang berdaya saing dan berkeadilan,” ujar Deni menutup diskusi.

Diklat SIG Dasar Pustral UGM Angkatan 27: Akselerasi Kompetensi Geospasial untuk Pembangunan Berbasis Data

Sleman – Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada (Pustral UGM) telah menyelesaikan Diklat Sistem Informasi Geografis (SIG) Dasar Angkatan ke-27 pada 3—8 November 2025. Pelatihan ini dirancang untuk membekali peserta dengan kemampuan mengelola dan menganalisis data spasial guna mendukung pembangunan berbasis data yang presisi. Pelatihan dibuka secara resmi oleh Koordinator Unit Riset dan Pengembangan Pustral UGM, Ir. Juhri Iwan Agriawan, S.T., M.Sc pada 3 November 2025.

Diklat diikuti oleh profesional dari beragam latar belakang, mencerminkan kebutuhan akan keterampilan SIG yang kian esensial di berbagai sektor. Kegiatan ini diikuti oleh peserta dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Simalungun Sumatera Utara, Dinas Perhubungan Kota Palangkaraya Kalimantan Tengah, SKK Migas, dan Pustral UGM. Keikutsertaan perwakilan dari instansi strategi tersebut menunjukkan urgensi penguasaan teknologi geospasial untuk mendukung kerja-kerja analitis dan perencanaan yang efektif.

Program ini dirancang untuk membekali para profesional dengan pemahaman alur kerja geospasial yang menyeluruh. Peserta tidak hanya mendalami penguasaan perangkat lunak inti seperti ArcCatalog dan ArcMap, tetapi juga dibimbing secara sistematis untuk menguasai fondasi teknis analisis data. Materi ini mencakup struktur data, data tabular dan query dasar, spatial referencing, data entry dan editing, spatial query, hingga spatial analysis menggunakan data vektor. Lebih dari itu, peserta turut menjalani sesi praktik lapangan intensif. Sesi ini mencakup praktik penggunaan GNSS dan praktik penerbangan drone (manual dan mapping). Puncaknya, peserta dilatih mengolah data mentah dari drone menjadi produk data spasial yang siap divisualisasikan.

Diklat ini menghadirkan pengajar dari berbagai fakultas dan unit di UGM, yakni   Dr. Taufik Hery Purwanto, M.Si. dan Dr. Totok Wahyu Wibowo, S.Si., M.Sc. (Fakultas Geografi UGM), Dr. Eng. Ir. Purnama Budi Santosa, ST., M.App.Sc., IPM dan Dr. Bilal Ma’ruf, S.T., M.T. (Fakultas Teknik UGM), Bakhtiar Alldino Ardi Sumbodo, S.Si., M.Cs. (Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UGM), Rendy Putra Maretika, S.Si., M.Cs. dan Alfiatun Nur Khasanah, S.Si., M.Sc. (Sekolah Vokasi UGM), Agus Kuntarto, S.Si. (Pusat Kedokteran Tropis UGM), Dr. Ir. Arif Wismadi, M.Si, dan dari Pustral UGM Sa’duddin, S.Si., M.B.A., M.Sc. dan Yessy Noven Agustina, S.P. Instruktur juga berasal dari Departemen Arsitektur UII, yaitu Dr. Ir. Arif Wismadi, M.Si. Kolaborasi lintas disiplin ini menjadi kekuatan utama Pustral UGM dalam memastikan pelatihan berlangsung profesional dan sesuai standar akademik.

Sebagai angkatan ke-27, program ini menegaskan komitmen berkelanjutan Pustral UGM dalam peningkatan SDM geospasial nasional. Dengan meningkatnya kompleksitas permasalahan pembangunan yang membutuhkan analisis spasial—mulai dari perencanaan tata ruang, pengelolaan lingkungan, hingga infrastruktur transportasi—penguasaan Sistem Informasi Geografis menjadi kebutuhan mendesak bagi aparatur sipil negara, akademisi, dan praktisi industri. Pelatihan ini membekali peserta dengan kemampuan teknis menggunakan perangkat lunak GIS profesional serta pemahaman metodologi analisis spasial yang dapat diaplikasikan langsung di instansi masing-masing.

Melalui sinergi antara pendidikan, teknologi, dan praktik lapangan, Pustral UGM berperan sebagai katalis transformasi kompetensi geospasial yang berdampak nyata bagi pembangunan berbasis data spasial di Indonesia. Penutupan dan penyerahan sertifikat dilaksanakan oleh Kepala Divisi Pelatihan dan Seminar Pustral UGM, Sa’duddin, S.Si., M.B.A., M.Sc. pada 8 November 2025. (SDDNs)

Sertifikasi Remote Pilot Pustral UGM: Perkuat Kompetensi dan Keselamatan Pemetaan Drone di Indonesia

Sleman – Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada (Pustral UGM) kembali menunjukkan komitmennya dalam penguatan kompetensi operator drone di Indonesia. Melalui Pelatihan Sertifikasi Remote Pilot dan Pengoperasian Drone untuk Pemetaan Batch #17, yang digelar pada 27 Oktober—1 November 2025, Pustral UGM sukses melatih para peserta untuk menjadi pilot drone bersertifikat resmi sesuai standar keselamatan penerbangan nasional. Lulusan pelatihan memperoleh sertifikat yang terverifikasi oleh Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKPPU) Kementerian Perhubungan dengan kode UASTC-009 dan dapat digunakan untuk mendaftar Remote Pilot Certificate melalui portal SIDOPI-GO.

Untuk menjamin kualitas pelatihan, kegiatan ini menghadirkan instruktur ahli lintas institusi dari regulator, akademisi, hingga praktisi penerbangan. Narasumber antara lain Captain Mohammad If Gobel, M. (DKPPU Kementerian Perhubungan), Riza Semaryan Lubis (Direktorat Navigasi Penerbangan), Moeji Soebagyo, S.ST. (AirNav Indonesia), dan Mayor Sus Hosen (Akademi Angkatan Udara Yogyakarta). Dari UGM, turut berpartisipasi sejumlah dosen dan peneliti dari berbagai fakultas, di antaranya Dr. Taufik Hery Purwanto, Dr. Barandi Sapta Widartono (Fakultas Geografi), Prof. Dr. Ir. Harintaka, S.T., M.T., IPU, Dr. Bilal Ma’ruf, S.T., M.T., Iqbal Hanun Azizi, S.T. (Fakultas Teknik), Bakhtiar Alldino Ardi Sumbodo, S.Si., M.Cs. (FMIPA), Karen Slamet Hardjo, S.Si., M.Sc., Ferdiyan Puja Perdana, A.Md (Sekolah Vokasi), dan Dr. dr. Rustamadji, M.Kes, (FKKMK) serta Sa’duddin, S.Si., M.B.A., M.Sc. (Pustral UGM).

Praktik lapangan menjadi bagian penting dari pelatihan ini. Selain menjalani sesi simulasi penerbangan, peserta juga melakukan praktik terbang langsung dan akuisisi data di Lapangan Sumberarum Setran, Kecamatan Moyudan, Sleman. Mereka dilatih melakukan pengukuran Jaring Kontrol Pemetaan menggunakan GNSS Geodetik dan pemetaan area dengan drone di bawah pengawasan ketat instruktur, guna memastikan kemampuan operasional yang aman dan sesuai prosedur di lapangan.

Evaluasi dilakukan melalui Pre-Test, Post-Test, dan ujian praktik terbang sebagai syarat kelulusan. Pelatihan angkatan ke-17 ini diikuti oleh tujuh peserta dari berbagai instansi, seperti Bapperida Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan, Universitas Muhammadiyah Surakarta Jawa Tengah, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Barito Utara Kalimantan Tengah, dan Pustral UGM sendiri. Kegiatan dibuka oleh Kepala Pustral UGM, Ir. Ikaputra, M.Eng., Ph.D., yang menegaskan pentingnya legalitas dan kompetensi teknis dalam pengoperasian Unmanned Aerial Vehicle (UAV). Penutupan sekaligus penyerahan sertifikat pelatihan dilakukan oleh Kepala Divisi Pelatihan dan Seminar Pustral UGM, Sa’duddin, S.Si., M.B.A., M.Sc., pada Sabtu (1/11).

Pelatihan sertifikasi ini menegaskan peran Pustral UGM sebagai katalis pengembangan SDM geospasial dan penerbangan nirawak di Indonesia. Seiring meningkatnya kebutuhan pemetaan infrastruktur, wilayah, dan monitoring lingkungan, sertifikasi resmi Kementerian Perhubungan menjadi jaminan profesionalisme dan keamanan bagi operator drone. Melalui sinergi antara pendidikan, regulasi, dan praktik lapangan, Pustral UGM berkomitmen menjadi mitra strategis dalam membangun SDM geospasial unggul yang mampu mendukung pembangunan berbasis data spasial secara berkelanjutan. (SDDNs)

Tim Ekspedisi Patriot Universitas Gadjah Mada Mengidentifikasi Komoditas Unggulan di Kawasan Transmigrasi Muting, Merauke

“Penentuan komoditas unggulan di wilayah transmigrasi, selain memerhatikan aspek ekonomi juga harus mempertimbangkan aspek berkelanjutan,” demikian disampaikan oleh Ir. Agam Marsoyo, M.Sc, Ph.D selaku narasumber pada Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan pada 7-8 Oktober 2025 di Kawasan Transmigrasi Muting, Merauke. FGD diselenggarakan dalam rangkaian kegiatan Tim Ekspedisi Patriot yang diinisiasi oleh Kementerian Transmigrasi bekerjasama dengan 7 Universitas terkemuka di Indonesia.

Kajian di Kawasan Transmigrasi Muting dilakukan oleh 5 tim yang terdiri dari 3 tim Universitas Gadjah Mada (UGM) dan 2 tim dari Universitas Indonesia (UI). Salah satu topik kajian yang dilakukan oleh tim UGM adalah Pengembangan Komoditas Unggulan Spesifik pada Kawasan Transmigrasi, dengan Ketua Tim Dwi Ardianta Kurniawan, ST. M.Sc, beserta anggota Arif Aji Kurniawan, S.Sos (alumni), serta Andaru Sheera Kristianto, Fatimah Azzahra Ahda, Trisna Diah Ayu Wulandari, ketiganya mahasiswa aktif di UGM.

Agam, selanjutnya menyampaikan bahwa aspek berkelanjutan berkaitan dengan minimalisasi ekses negatif yang timbul dari pengusahaan komoditas, khususnya sawit, misalnya untuk jangka panjang akan menimbulkan kekeringan. Beberapa komoditas tertentu juga dapat menyebabkan longsor pada wilayah pegunungan.

Dalam paparan selanjutnya, Dwi selaku ketua tim menyampaikan hasil temuan lapangan yang sudah dilakukan oleh tim kajian sejak akhir Agustus hingga awal Oktober di lokasi kajian, khususnya di Distrik Muting dan Ulilin. Hasil temuan menunjukkan bahwa enam kampung di Distrik Muting dan sembilan kampung di Distrik Ulilin memiiki komoditas unggulan yang bervariasi. Meskipun demikian, terdapat satu komoditas utama yang ditemukan hampir di seluruh kampung, yaitu rambutan. Nilai ekonomis rambutan cukup tinggi, sehingga mampu menjadi sumber pendapatan keluarga yang penting. Di luar rambutan, komoditas lain yang teridentifikasi adalah buah-buahan (durian, alpukat), perkebunan (karet, pinang, kopi, kelapa sawit), sayuran dan rempah (cabai, lada, kacang panjang, sawi), padi dan palawija (jagung, kedelai, kacang tanah). Selain itu, peternakan sapi, kambing dan ayam juga ditemukan di beberapa kampung yang diidentifikasi.

FGD dihadiri oleh stakeholder penting diantaranya perangkat distrik, perangkat kampung, pelaku usaha, serta perwakilan industri sawit. Dalam diskusi mengemuka bahwa diperlukan pasar yang mampu menyerap hasil baik berupa pedagang maupun industri. Pengalaman terdahulu dengan komoditas karet menunjukkan bahwa tidak ada pasar yang membeli hasil produksi, sehingga petani mengalami kerugian. Demikian pula rambutan yang seringkali harganya jatuh dan membusuk pada saat panen raya. Peran pemerintah diharapkan hadir untuk menjembatani produksi dengan pemasaran maupun mengembangkan industri untuk program hilirisasi komoditas.

Aspirasi masyarakat yang cukup kuat adalah harapan untuk berperan dalam perkebuhan sawit bekerjasama dengan industri sawit. Untuk merealisasikan hal tersebut, diperlukan kerjasama yang baik antara masyarakat pemilik lahan dengan perusahaan sawit, sehingga masyarakat dapat menanam dan memasarkan hasil produksi ke perusahaan. Di Muting, sudah terdapat koperasi mandiri yang dikelola oleh masyarakat untuk memasok hasil ke industri sawit di distrik tersebut, sementara di Ulilin skema kerjasama antara masyarakat dan industri masih dalam proses pembahasan. Memperhatikan hal tersebut, Agam menyampaikan bahwa sawit adalah komoditas yang menjanjikan dan memberikan pendapatan yang rutin, tetapi untuk jangka panjang perlu dicari solusi untuk mengatasi potensi terjadinya kekeringan.

Kegiatan Tim Ekspedisi Patriot masih akan berlangsung hingga awal Desember 2025. Dalam rentang waktu tersebut, sebanyak 4 anggota tim tinggal di lokasi untuk melakukan identifikasi dan pengamatan lapangan maupun pengumpulan data sekunder di dinas-dinas terkait, untuk selanjutnya disusun analisis dan rekomendasi. Harapannya, hasil kegiatan dapat memberikan input yang bermanfaat bagi Kementerian Transmigrasi maupun kementerian terkait untuk menyusun program berbasis kondisi riil di lapangan yang benar-benar diperlukan oleh masyarakat.

Konsep “Kolaborasi Ekonomi Sirkuler” Digagas Tim Ekspedisi Patriot Universitas Gadjah Mada Guna Mendukung Pengembangan Komoditas Unggulan di Kawasan Transmigrasi Hialu Kabupaten Konawe Utara

 

Kawasan Transmigrasi Hialu tepatnya berada di dalam wilayah Kabupaten Konawe Utara Provinsi Sulawesi Tenggara yang mulai dikembangkan sebagai daerah penempatan transmigran sejak tahun 1994, dengan komoditas utamanya berbasis perkebunan kelapa sawit. Kawasan Transmigrasi Hialu terdiri atas 4 (empat) Satuan Kawasan Permukiman (SKP) dengan pusat pengembangannya berada di 4 (empat) kecamatan, yaitu Kecamatan Wiwirano, Kecamatan Langgikima, Kecamatan Landawe dan Kecamatan Oheo. Seiring berjalannya waktu, komoditas-komoditas yang lain juga mulai berkembang, seperti peternakan sapi, pertanian, dan tanaman hortikultura. Dari beragam komoditas tersebut, kelapa sawit dan ternak sapi ditengarai tersebar dan dijumpai di seluruh SKP dan merupakan dua komoditas yang memiliki prospek positif untuk dikembangkan di Kawasan Transmigrasi Hialu.

Dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang telah diselenggarakan pada14 Oktober 2025, Tim Ekspedisi Patriot (TEP) UGM Ouput-2 menawarkan peluang pengembangan kegiatan ekonomi baru kepada masyarakat transmigrasi di Kawasan Hialu dengan konsep “Kolaborasi Ekonomi Sirkuler”. Konsep ini dikembangkan dengan prinsip mengkolaborasikan dua komoditas unggulan yaitu kelapa sawit dan ternak sapi sebagai sebuah sistem aktivitas usaha / ekonomi dengan prinsip ramah lingkungan. Pengolahan dan pemanfaatan limbah tanaman kelapa sawit sebagai alternatif pakan ternak sapi merupakan upaya mengurangi limbah aktivitas perkebunan sawit. Pemanfaatan limbah kotoran sapi sebagai pupuk kandang untuk tanaman sawit dan pertanian juga cukup potensial mengingat jumlah ternak sapi yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.  Selain untuk pupuk kandang, limbah ternak sapi (kotoran) dapat dimanfaatkan juga sebagai bahan baku pembuatan biogas untuk keperluan rumah tangga. Dengan konsep ekonomi sirkuler ini, diharapkan akan tumbuh aktivitas ekonomi baru dan menciptakan nilai tambah bagi masyarakat di Kawasan Transmigrasi Hialu.

Prinsip kolaborasi yang lain adalah kolaborasi dalam konteks kerjasama antarwarga transmigran dan antarSKP. Sebagaimana diketahui bahwa warga transmigrasi di Kawasan Hialu hampir semuanya memiliki usaha di perkebunan sawit dan sebagian warganya telah mengembangkan usaha ternak sapi untuk pemenuhan kebutuhan daging sapi bagi warga masyarakat di kawasan transmigrasi itu sendiri maupun daerah yang lain. Beberapa tahun terakhir terindikasi usaha ternak sapi terus mengalami peningkatan. Dan tentunya usaha ternak sapi membutuhkan dukungan ketersediaan pakan ternak secara kontinyu.

Tim Ekspedisi Patriot (TEP) UGM Ouput-2 yang diketuai oleh Joewono Soemardjito, ST., M.Si beserta 4 (empat) anggota tim yang lain, yaitu Christabel Geraldine Agustina, S.T.P., Ayura Fatwa Febriyanti, Hafizh Vergiansyah, dan Husban Yarjuna Firdaus dan diikuti oleh Tim TEP Hialu Output -1, dalam kesempatannya telah menyampaikan gagasan konsep pengembangan komoditas berbasis kolaborasi sirkular ekonomi kepada para peserta FGD warga transmigrasi sekaligus mewakili dari beberapa desa yang terdapat di dalam Kawasan Transmigrasi Hialu. Tanpa diduga sebelumnya, seluruh peserta FGD memberikan respon yang positif dan ketertarikannya terhadap tawaran yang disampaikan oleh Tim. Hal tersebut diperkuat dari hasil jajak pendapat masyarakat melalui pengisian borang yang disebarkan kepada seluruh peserta FGD sebelum acara dimulai, menunjukkan minatnya terhadap usaha pemanfaatan limbah sawit sebagai pakan ternak sapi. Mereka sangat mengharapkan adanya dukungan dari pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Konawe Utara untuk dapat merealisasikan konsep pengembangan yang ditawarkan oleh Tim TEP UGM melalui pendampingan / pelatihan pembuatan pakan ternak dari limbah sawit, bantuan peralatan pengolahan, pembuatan kandang sapi, dan lain sebagainya. Disamping itu, dukungan lainnya yang sangat diharapkan masyarakat adalah adalah permodalan untuk mendukung kegiatan usaha tersebut.

Untuk mendukung keberlanjutan usaha yang selama ini telah digeluti para transmigran di Kawasan Hialu, khususnya dalam hal pemasaran produk, masyarakat menghendaki adanya pembangunan akses berupa infrastruktur jalan dan akses penghubung di beberapa lokasi desa yang dibatasi oleh sungai. Keberadaan akses penghubung berupa jembatan dipandang masyarakat transmigrasi akan meningkatkan aksesibilitas dan mobilitas produk komoditas unggulan di kawasan tersebut. Hal tersebut juga dipertegas oleh Narasumber, Dr. Ir. Dewanti, MS., dosen di Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik UGM yang memiliki pengalaman dalam pengembangan kawasan transmigrasi. Menurut pandangan beliau, banyak kawasan transmigrasi yang belum tersentuh pembangunan infrastruktur jalan maupun jembatan. Kondisi ini menjadi kendala bagi masyarakat dalam pendistribusian atau penjualan produk-produk komoditas unggulan di daerah tersebut. Akbiatnya, biaya transportasi dan logistik menjadi semakin tinggi yang pada akhirnya akan mempengaruhi harga produk di tingkat konsumen.

Bapak Hendra Samrandani, SE, selaku Kabid Pembinaan Transmigras, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Konawe Utara, mengajak kepada seluruh peserta FGD untuk menyampaikan pandangan, harapan, atau masukan kepada tim TEP UGM terkait dengan pengembangan komoditas unggulan di Kawasan Hialu. Selaku perwakilan dari pemerintah daerah, beliau berkomitmen untuk membantu dan mendukung pembangunan transmigrasi di Kabupaten Konawe Utara sesuai dengan kewenangan dan tugas pokoknya. Menurutnya, kolaborasi, koordinasi, dan kerjasama antar lintas atau sektor juga sangat penting bagi upaya menyukseskan program pemerintah melalui pembangunan transmigrasi di masa-masa mendatang.

 

 

 

 

Diseminasi Kajian Elektrifikasi Kendaraan Kawasan Bandara dan Pelabuhan

 

 

 

 

 

Isu dekarbonisasi menjadi trend global dan semakin masif ketika upaya pengurangan emisi gas rumah kaca menghadapi tantangan berat saat laju penurunan intensitas karbon terindikasi melambat. Penguatan upaya dekarbonisasi di sektor transportasi diharapkan menjadi solusi untuk mengatasi tantangan global tersebut.

Demikian disampaikan Ir. Ikaputra, PhD selaku Kepala Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM dalam diseminasi Kajian Elektrifikasi Kendaraan Operasional Bandara dan Pelabuhan yang diselenggarakan pada Selasa, 30 September 2025 di Jakarta. Kajian dilakukan oleh Pustral UGM didukung Yayasan Visi Indonesia Raya Emisi Nol Bersih (ViriyaENB). ViriyaENB yang dikenal sebagai lembaga yayasan iklim pertama di Indonesia yang memiliki visi mewujudkan masyarakat net-zero yang didukung oleh perekonomian yang adil dan regeneratif, sedang melakukan riset lintas tahun untuk mengkaji potensi elektrifikasi kendaraan operasional khususnya di kawasan bandara dan pelabuhan yang ada di Indonesia. Kajian tersebut dilakukan dalam rangka mendukung upaya Pemerintah meraih target bebas emisi (net zero emission) pada tahun 2060.

Riset ini mulai dijalankan pada awal 2025 dengan mengambil lokus pada Bandara Soekarno Hatta, Jakarta dan Bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali serta Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Sebagai tahap awal, riset ini telah memetakan profil eksisting operasional kendaraan pada kedua simpul transportasi tersebut yang selanjutnya akan dikaji lebih dalam untuk mengidentifikasi kesiapan teknologi dan ragam kendaraan operasional listrik serta peluang investasi untuk mendukung penyediaan dan operasional armada. Dalam rangkaian riset dilakukan survei dan FGD dengan melibatkan operator bandara dan pelabuhan, industri jasa layanan transportasi berbasis kendaraan listrik, industri kendaraan listrik, serta  Kementerian/Lembaga terkait dengan aspek transportasi, energi, serta pendanaan/fiskal.

Dr. Ir. Dewanti, MS selaku Ketua Tim pelaksana kajian menyampaikan bahwa kebijakan nasional telah mendorong elektrifikasi transportasi melalui insentif fiskal, program konversi, dan pengembangan infrastruktur SPKLU untuk mendukung dekarbonisasi sektor transportasi. Meskipun demikian, perlu konsistensi dan skema insentif yang mendorong dunia usaha untuk berkembang. Hasil kajian menemukenali bahwa teknologi Battery Electric Vehicle (BEV) terbukti paling efisien dan bersih, dengan biaya baterai yang terus menurun sehingga kompetitif dengan kendaraan berbasis bahan bakar minyak atau dikenal dengan Internal Combustion Engine (ICE). Secara lebih spesifik, lokasi studi di Bandara (CGK & DPS) memiliki potensi elektrifikasi besar, terutama pada bus apron, traktor bagasi, dan traktor kargo, dengan pengurangan emisi signifikan bila dikonversi ke kendaraan listrik atau electric vehicle (EV). Perhitungan emisi menunjukkan baggage towing tractor (BTT) adalah penyumbang emisi terbesar sehingga menjadi prioritas konversi.

Lebih jauh Dewanti menyatakan bahwa Investasi elektrifikasi kendaraan operasional darat atau dikenal dengan Ground Support Equipment (GSE) membutuhkan biaya cukup besar yaitu sekitar Rp460,09 miliar di CGK dan Rp190,46 miliar di DPS, namun berpotensi menurunkan emisi dan meningkatkan efisiensi energi hingga 71,8%. Di pelabuhan, adopsi peralatan listrik sudah mulai dilakukan pada berbagai peralatan seperti Quayside Container Crane (QCC) dan Ruber Tyred Gantry (RTG), dengan peluang pengurangan emisi hingga 78,5% dan manfaat ekonomi dari nilai karbon, kesehatan, dan biaya sosial yang signifikan. Meskipun demikian, industri baterai dan pengelolaan baterai bekas membutuhkan dukungan regulasi kuat, agar baterai EV dipandang sebagai sumber daya, bukan limbah.

“Kolaborasi multipihak (K/L dan BUMN) menjadi kunci dalam percepatan elektrifikasi di bandara dan pelabuhan, termasuk penyusunan roadmap yang jelas untuk implementasi jangka panjang,” pungkas Dewanti dalam uraiannya.

Hadir pula beberapa penanggap dalam diseminasi yaitu Dr. Arianto Wibowo, ST, M.S.E dari Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan. “Indonesia tetap berkomitmen dengan NZE, melalui berbagai regulasi dukungan, termasuk lebih spesifik di bandara dan pelabuhan. Perlu dilakukan penguatan regulasi di lingkup kementerian perhubungan untuk sektor KBL BB”, menurutnya.

Bapak Akbar Putra Mardhika dari PT Angkasa Pura Indonesia (PT API) menyampaikan bahwa peran PT API dalam penurunan emisi di bandara sekitar 24-28%. PT API sudah memiliki aksi mitigasi dan efisiensi kendaraan operasional di bandara serta Roadmap SPKLU dan KBLBB kendaraan operasional bandara. Meski demikian, roadmap untuk moda transportasi darat belum ada.

Prof. Dr. Danang Parikesit, M.Sc, Guru Besar Kebijakan Transportasi dari Fakultas Teknik UGM menyampaikan perlu skema adopsi dan adaptasi teknologi EV melalui skema voluntary dan mandatory. Efisiensi EV melalui skema BAAS (Battery As A Service) dan swapt perlu dihitung sebagai dasar pelaku usaha untuk berpindah dan dasar kebijakan pemerintah. Terakhir, Anna Amalia, M.Env dari Bappenas menyampaikan arah kebijakan sektor transportasi dalam RPJMN 2025 – 2029 terkait dengan indikator penurunan emisi GRK dan indeks kualitas lingkungan hidup. Lebih jauh lagi, tata kelola batterai perlu diperhatikan.

Hadir pula Ibu Etsa Amanda mewakili ViriyaENB yang menyambut baik hasil kajian dan berharap adanya kajian lanjutan yang lebih komprehensif. (SDD/DAK/HLT)

Biaya Transportasi Masyarakat RI di Atas Rata-rata Dunia, Pustral UGM Beri Solusi ke Pemerintah

Transportasi Publik menjadi solusi terbaik untuk menghindari kemacetan berkepanjangan di kota besar dan padat penduduk. Namun, ternyata biaya transportasi yang dikeluarkan relatif tinggi antar moda transportasi yang digunakan sehingga membuat biaya transportasi yang dikeluarkan lebih tinggi per tahunnya. Kementerian Perhubungan mencatat pengeluaran masyarakat untuk transportasi masih relatif tinggi yaitu mencapai 12,46 % per bulan dari total biaya hidup. Padahal standar Bank Dunia seharusnya tidak lebih dari 10% dari total biaya hidup per bulan.

Peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM, Dwi Ardianta Kurniawan, menanggapi hal tersebut dengan menilai bahwa ada beberapa aspek yang cukup kompleks dan diperhatikan untuk menekan biaya transportasi yang dikeluarkan masyarakat.

Selengkapnya: www.ugm.ac.id 

Foto: Freepik