
Sektor transportasi berkontribusi sekitar 25% dari total emisi gas rumah kaca global (UN Environment Programme, 2024). Aktivitas penerbangan dan operasional bandara memegang peranan yang signifikan dalam angka tersebut. Secara khusus, peralatan Ground Support Equipment (GSE), seperti Baggage Towing Tractor (BTT), umumnya masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil. Kondisi ini tidak hanya menghasilkan emisi karbon yang tinggi, tetapi juga memicu polusi suara dan tingginya biaya operasional. Demikian disampaikan oleh Prof. Ir. Siti Malkhamah, M.Sc., Ph.D selaku Caretaker Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM dalam webinar “Elektrifikasi Ground Support Equipment (GSE): Strategi Efisiensi Energi dan Pengurangan Emisi di Bandar Udara”. Webinar terselenggara atas kerjasama Pusral UGM dengan Pusat Riset Teknologi Transportasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada Rabu, 19 November 2025 pukul 08.30 – selesai.
Webinar menghadirkan para pembicara Cece Tarya, S.T., M.A., Kepala Subdirektorat Penyelenggaraan dan Pengusahaan Bandar Udara, Kementerian Perhubungan; Bapak Akbar Putra Mardhika, Airport Engineering Group Head PT Angkasa Pura Indonesia; Bapak Laode M. Syamrin, Maintenance and Engineering Services Group Head PT Gapura Angkasa; Bapak Mohamad Ivan Aji Saputro, Perekayasa Ahli Muda Pusat Riset Teknologi Transportasi BRIN; serta Ir. Juhri Iwan Agriawan, S.T., M.Sc., Peneliti Pustral UGM.
Prof. Dr. Cuk Supriyadi Ali Nandar, S.T., M.Eng. selaku Kepala Organisasi Riset Energi dan Manufaktur (OREM) BRIN, dalam sambutan sebelumnya menyampaikan bahwa perjalanan untuk menuju implementasi GSE rendah emisi harus dilakukan dengan kolaborasi seluruh kepentingan, baik penyedia bandara, penyedia GSE dan produsen peralatan. BRIN mendukung implementasi GSE rendah emisi. Berbagai tantangan seperti investasi awal, kesiapan infrastruktur pendukung dan peningkatan kapabilitas SDM harus diatasi dengan pendekatan terintegrasi dan berbasis data. Webinar menjadi momentum penting untuk menyatukan pandangan dari berbagai praktik terbaik dan mempercepat operasional GSE yang lebih ramah lingkungan. Harapannya dapat dirumuskan rekomendasi dan tindak lanjut untuk mendorong komitmen nyata yang bukan hanya mendorong teknologi namun juga pengurangan emisi.
Turut menyampaikan sambutan juga Dr. Eng., Aam Muharam. M.T selaku Kepala Pusat Riset Teknologi Transportasi BRIN. Beliau menyampaikan bahwa industri penerbangan global menuju operasional yang lebih efisien dan berkelanjutan. Hal ini bukan hanya di sisi udara namun juga darat, yaitu GSE yang memiliki peran sentral menurunkan jejak karbon di bandara. Hal ini menjadi peluang strategis untuk meningkatkan efisiensi energi melalui modernisasi teknologi terutama elektrifikasi dan optimalisasi operasional di bandara. Hal ini tidak hanya mendukung target pengurangan emisi nasional dan internasional, namun juga menjadi kekuatan daya saing bandara untuk ekosistem operasional yang lebih hening, bersih, dan menghemat biaya operator bandara.
Cece Tarya sebagai pembicara pertama menyampaikan bahwa elektrifikasi GSE dan kendaraan operasional di bandar udara merupakan bagian kebijakan aksi mitigasi perubahan iklim sektor transportasi sebagaimana ditetapkan dalam KM 08 tahun 2023. Aksi mitigasi perubahan iklim sektor transportasi udara mencakup 1) Efisiensi energi, meliputi peremajaan, penyempurnaan sistem dan prosedur pengoperasian serta perawatan angkutan udara penumpang; penggunaan peralatan dan teknologi hemat energi di bandar udara; serta elektrifikasi peralatan penunjang pelayanan darat pesawat udara (Ground Support Equipment/ GSE) dan kendaraan operasional di bandar udara. Selanjutanya 2) Pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT), meliputi penggunaan biofuel pada bahan bakar pesawat udara; pemanfaatan penerangan jalan bertenaga surya di bandara; dan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) pada prasarana transportasi. Dan terakhir 3) Kehutanan dan sektor lahan lainnya, meliputi penghijauan lingkungan bandar udara dengan melakukan penanaman pohon di sekitar area bandar udara yang dilakukan secara bertahap. Cece juga menyampaikan roadmap elektrifikasi GSE adalah pada tahun 2025 berupa pengumpulan data & literasi, tahun 2026 berupa elektrifikasi (kajian pemilihan teknologi, deregulasi), tahun 2027 uji kelaikan & evaluasi, serta 2028 – 2029 implementasi & monitoring yang diharapkan dapat mencapai advanced technology pada tahun selanjutnya.
Pembicara selanjutnya, Akbar Putra Mardhika menyampaikan bahwa Angkasa Pura Indonesia berkomitmen untuk mengurangi penggunaan BBM, oleh sebab itu Angkasa Pura Indonesia berencana untuk mengkonversi kendaraan operasional bandara berbasis BBM menjadi kendaraan listrik hingga 197 unit dan SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum) hingga 147 unit pada tahun 2030. Hal ini selaras dan mendukung program pemerintah tentang penyediaan SPKLU di Indonesia. Namun demikian, Akbar menyatakan masih adanya tantangan implementasi elektrifikasi di bandara, diantaranya 1) Aspek SPKLU, meliputi tarif terhadap fasilitas SPKLU di Bandara, Keterbatasan lokasi SPKLU di sisi udara, dam Lokasi SPKLU tidak boleh mengganggu aktivitas operasional kendaraan lain; 2) Aspek Emergency, meliputi perlu disiapkan prosedur penanganan terhadap kebakaran dan lokasi parkir kendaraan harus diperhatikan; serta 3) Aspek Biaya Investasi, meliputi penyiapan jaringan listrik untuk SPKLU dan investasi kendaraan GSE EV yang cenderung lebih tinggi.
Bapak Laode M. Syamrin selaku pembicara ketiga menyampaikan Baggage Towing Truck (BTT) Elekrik sebagai salah satu GSE memiliki biaya operasional lebih rendah, energi yang efisien, dan mengurangi emisi sedangkan BTT Diesel memiliki Biaya Operasional lebih tinggi, energi tidak efisien, dan emisi tinggi. Terkait Biaya Operasional, dengan perhitungan penyusutan, perawatan, dan electricity/fuel consumption, BTT Elektrik memberikan penghematan hingga 20,73% dalam 10 tahun. BTT Elektik memiliki investasi awal lebih tinggi dibandingkan dengan BTT Diesel. BTT Elektrik juga mampu menghasilkan daya tarik yang cukup kuat, ideal untuk di Apron menarik bagasi dari make up area ke pesawat atau sebaliknya. Saat ini di Bandara Soetta, BTT Elektrik milik Gapura hanya dipergunakan untuk menarik bagasi, tidak dipergunakan untuk menarik kargo karena BTT elektrik yang dimiliki Gapura mempunyai kapasitas 1.500, disamping itu service road menuju ke warehouse terdapat tanjakan sekitar 30 derajat. Terakhir BTT Elektrik beroperasi 8 – 10 jam, selanjutnya melakukan pengisian daya 4-5 jam (jenis lead – acid battery).
Syamrin juga memberikan beberapa rekomendasi, diantaranya 1) Biaya Capex untuk GSE elektrik, termasuk BTT Elektrik sangat tinggi, maka perlu kebijakan pemerintah terkait subsidi (insentif fiskal & program konvensi) yang memungkinkan Perusahaan dapat mengadakan GSE Elektrik, 2) Penanganan baterai bekas (limbah B3) harus dilakukan secara baik, maka sebaiknya setiap Bandara harus ada Tempat Penampungan Sementara (TPS), dan selanjutnya harus diserahkan ke fasilitas pengumpulan limbah elektronik atau drop box khusus, 3) Penggunaan GSE elektrik termasuk BTT elektrik yang terbukti biaya operasional rendah, efisiensi energi dan mengurangi emisi maka menjadi pertimbangan Perusahaan dalam menentukan kebijakan dengan melakukan pengadaan GSE Elektrik termasuk BTT Elektrik, 4) Charging station belum memadai sehingga proses recharging harus menunggu, yang dapat mengakibatkan operasional terganggu, maka perlu dilakukan mitigasi dengan menyediakan baterai cadangan.
Pembicara selanjutnya, Mohamad Ivan Aji Saputro menyampaikan hasil kajian di BRIN yang menyatakan bahwa potensi manfaat elektrifikasi GSE di bandara yaitu 1) Pertumbuhan industri penerbangan: Dengan meningkatnya frekuensi penerbangan, kebutuhan akan GSE seperti BTT juga akan meningkat untuk menjaga kelancaran operasional turnaround pesawat, 2) Efisiensi energi: peralihan penggunaan BTT diesel ke BTT EV berpotensi menghasilkan efisiensi energi nasional, 3) Fleksibilitas penggunaan: Downtime BTT listrik lebih rendah 4% dan perawatan lebih sederhana dibandingkan BTT diesel yang menjadikannya lebih efisien, 4) Adopsi teknologi ramah lingkungan: Ada potensi besar untuk penggunaan BTT jenis elektrik yang tidak menghasilkan emisi gas buang, sesuai dengan tren global dan upaya pengurangan jejak karbon di industri penerbangan.
Ivan juga menyampaikan kesimpulan hasil kajian yang menyatakan bahwa 1) BTT listrik secara finansial memberikan indikasi kelayakan lebih tinggi dibanding BTT diesel, meskipun memerlukan investasi awal yang lebih besa. Return yang tinggi menunjukkan bahwa transisi ke BTT listrik akan memberikan manfaat finansial jangka panjang bagi operator bandara atau perusahaan ground handling, 2) BTT listrik juga terindikasi memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar dibanding BTT diesel, baik dari aspek lingkungan, kesehatan, efisiensi energi, juga penghematan biaya nasional lainnya, 3) Secara keseluruhan, alih teknologi dari BTT diesel ke BTT listrik cukup layak dan memberikan keuntungan finansial dan ekonomis baik bagi operator maupun masyarakat, serta 4) Penurunan emisi yang cukup signifikan dengan beralihnya BTT diesel ke BTT Listrik.
Pembicara terakhir, Ir. Juhri Iwan Agriawan, S.T., M.Sc., menyampaikan beberapa urgensi penerapan GSE elektrik di bandara, diantaranya adalah 1) Target Penurunan Emisi & Peningkatan Kualitas Lingkungan: Elektrifikasi GSE langsung menurunkan emisi CO₂, NOx, dan PM di apron. Ini meningkatkan kesehatan pekerja, mengurangi polusi area bandara, dan mendukung target Net Zero Emission serta program Green Airport nasional; 2) Efisiensi Operasional dan Penghematan Biaya Jangka Panjang: eGSE memiliki biaya operasional lebih rendah (energi murah, perawatan minim, keandalan tinggi). Ini penting bagi GHSP untuk meningkatkan produktivitas dan mengurangi downtime peralatan yang banyak terjadi pada GSE lama; 3) Kesiapan Infrastruktur Energi dan Transformasi Industri: Bandara Indonesia mulai membangun PLTS dan infrastruktur listrik yang cukup untuk mendukung eGSE. Ekosistem kendaraan listrik nasional berkembang, memudahkan integrasi teknologi dan pelatihan SDM; serta 4) Daya Saing Bandara dan Tuntutan Global: Maskapai dan investor menuntut operasional bandara rendah emisi. Bandara yang cepat mengadopsi eGSE akan lebih kompetitif secara global, setara Changi– KLIA–Bangkok, serta memenuhi standar internasional untuk green ground operations.
Iwan juga menyatakan hasil kajian yang pernah dilakukan Pustral UGM menunjukkan bahwa tingginya jumlah penumpang berkorelasi pada tingginya jumlah pergerakan bus apron. Hal ini berpengaruh pada tingginya jumlah pergerakan pesawat sehingga membutuhkan lebih banyak parking stand pesawat dan tingginya jumlah pergerakan untuk pengangkutan bagasi dan kargo. Hasil kajian juga menunjukkan bahwa tata letak bandara berpengaruh kepada jumlah pergerakan penumpang di bandara antara lain dalam hal penggunaan garbarata atau penggunaan bus apron.
Webinar dihadiri oleh sekitar 750 peserta dari berbagai kalangan yang terlibat aktif dalam diskusi yang dipandu oleh moderator Bapak Dr. Ir. Windra Priatna Humang, S.T., M.T., Peneliti Ahli Madya BRIN. Tiga penanya terbaik mendapatkan doorprize berupa buku terbitan Pustral UGM bersama mitra.











