Isu dekarbonisasi menjadi trend global dan semakin masif ketika upaya pengurangan emisi gas rumah kaca menghadapi tantangan berat saat laju penurunan intensitas karbon terindikasi melambat. Penguatan upaya dekarbonisasi di sektor transportasi diharapkan menjadi solusi untuk mengatasi tantangan global tersebut.
Demikian disampaikan Ir. Ikaputra, PhD selaku Kepala Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM dalam diseminasi Kajian Elektrifikasi Kendaraan Operasional Bandara dan Pelabuhan yang diselenggarakan pada Selasa, 30 September 2025 di Jakarta. Kajian dilakukan oleh Pustral UGM didukung Yayasan Visi Indonesia Raya Emisi Nol Bersih (ViriyaENB). ViriyaENB yang dikenal sebagai lembaga yayasan iklim pertama di Indonesia yang memiliki visi mewujudkan masyarakat net-zero yang didukung oleh perekonomian yang adil dan regeneratif, sedang melakukan riset lintas tahun untuk mengkaji potensi elektrifikasi kendaraan operasional khususnya di kawasan bandara dan pelabuhan yang ada di Indonesia. Kajian tersebut dilakukan dalam rangka mendukung upaya Pemerintah meraih target bebas emisi (net zero emission) pada tahun 2060.
Riset ini mulai dijalankan pada awal 2025 dengan mengambil lokus pada Bandara Soekarno Hatta, Jakarta dan Bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali serta Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Sebagai tahap awal, riset ini telah memetakan profil eksisting operasional kendaraan pada kedua simpul transportasi tersebut yang selanjutnya akan dikaji lebih dalam untuk mengidentifikasi kesiapan teknologi dan ragam kendaraan operasional listrik serta peluang investasi untuk mendukung penyediaan dan operasional armada. Dalam rangkaian riset dilakukan survei dan FGD dengan melibatkan operator bandara dan pelabuhan, industri jasa layanan transportasi berbasis kendaraan listrik, industri kendaraan listrik, serta Kementerian/Lembaga terkait dengan aspek transportasi, energi, serta pendanaan/fiskal.
Dr. Ir. Dewanti, MS selaku Ketua Tim pelaksana kajian menyampaikan bahwa kebijakan nasional telah mendorong elektrifikasi transportasi melalui insentif fiskal, program konversi, dan pengembangan infrastruktur SPKLU untuk mendukung dekarbonisasi sektor transportasi. Meskipun demikian, perlu konsistensi dan skema insentif yang mendorong dunia usaha untuk berkembang. Hasil kajian menemukenali bahwa teknologi Battery Electric Vehicle (BEV) terbukti paling efisien dan bersih, dengan biaya baterai yang terus menurun sehingga kompetitif dengan kendaraan berbasis bahan bakar minyak atau dikenal dengan Internal Combustion Engine (ICE). Secara lebih spesifik, lokasi studi di Bandara (CGK & DPS) memiliki potensi elektrifikasi besar, terutama pada bus apron, traktor bagasi, dan traktor kargo, dengan pengurangan emisi signifikan bila dikonversi ke kendaraan listrik atau electric vehicle (EV). Perhitungan emisi menunjukkan baggage towing tractor (BTT) adalah penyumbang emisi terbesar sehingga menjadi prioritas konversi.
Lebih jauh Dewanti menyatakan bahwa Investasi elektrifikasi kendaraan operasional darat atau dikenal dengan Ground Support Equipment (GSE) membutuhkan biaya cukup besar yaitu sekitar Rp460,09 miliar di CGK dan Rp190,46 miliar di DPS, namun berpotensi menurunkan emisi dan meningkatkan efisiensi energi hingga 71,8%. Di pelabuhan, adopsi peralatan listrik sudah mulai dilakukan pada berbagai peralatan seperti Quayside Container Crane (QCC) dan Ruber Tyred Gantry (RTG), dengan peluang pengurangan emisi hingga 78,5% dan manfaat ekonomi dari nilai karbon, kesehatan, dan biaya sosial yang signifikan. Meskipun demikian, industri baterai dan pengelolaan baterai bekas membutuhkan dukungan regulasi kuat, agar baterai EV dipandang sebagai sumber daya, bukan limbah.
“Kolaborasi multipihak (K/L dan BUMN) menjadi kunci dalam percepatan elektrifikasi di bandara dan pelabuhan, termasuk penyusunan roadmap yang jelas untuk implementasi jangka panjang,” pungkas Dewanti dalam uraiannya.
Hadir pula beberapa penanggap dalam diseminasi yaitu Dr. Arianto Wibowo, ST, M.S.E dari Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan. “Indonesia tetap berkomitmen dengan NZE, melalui berbagai regulasi dukungan, termasuk lebih spesifik di bandara dan pelabuhan. Perlu dilakukan penguatan regulasi di lingkup kementerian perhubungan untuk sektor KBL BB”, menurutnya.
Bapak Akbar Putra Mardhika dari PT Angkasa Pura Indonesia (PT API) menyampaikan bahwa peran PT API dalam penurunan emisi di bandara sekitar 24-28%. PT API sudah memiliki aksi mitigasi dan efisiensi kendaraan operasional di bandara serta Roadmap SPKLU dan KBLBB kendaraan operasional bandara. Meski demikian, roadmap untuk moda transportasi darat belum ada.
Prof. Dr. Danang Parikesit, M.Sc, Guru Besar Kebijakan Transportasi dari Fakultas Teknik UGM menyampaikan perlu skema adopsi dan adaptasi teknologi EV melalui skema voluntary dan mandatory. Efisiensi EV melalui skema BAAS (Battery As A Service) dan swapt perlu dihitung sebagai dasar pelaku usaha untuk berpindah dan dasar kebijakan pemerintah. Terakhir, Anna Amalia, M.Env dari Bappenas menyampaikan arah kebijakan sektor transportasi dalam RPJMN 2025 – 2029 terkait dengan indikator penurunan emisi GRK dan indeks kualitas lingkungan hidup. Lebih jauh lagi, tata kelola batterai perlu diperhatikan.
Hadir pula Ibu Etsa Amanda mewakili ViriyaENB yang menyambut baik hasil kajian dan berharap adanya kajian lanjutan yang lebih komprehensif. (SDD/DAK/HLT)