Pos oleh :

Admin

Diseminasi Kajian Elektrifikasi Kendaraan Kawasan Bandara dan Pelabuhan

 

 

 

 

 

Isu dekarbonisasi menjadi trend global dan semakin masif ketika upaya pengurangan emisi gas rumah kaca menghadapi tantangan berat saat laju penurunan intensitas karbon terindikasi melambat. Penguatan upaya dekarbonisasi di sektor transportasi diharapkan menjadi solusi untuk mengatasi tantangan global tersebut.

Demikian disampaikan Ir. Ikaputra, PhD selaku Kepala Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM dalam diseminasi Kajian Elektrifikasi Kendaraan Operasional Bandara dan Pelabuhan yang diselenggarakan pada Selasa, 30 September 2025 di Jakarta. Kajian dilakukan oleh Pustral UGM didukung Yayasan Visi Indonesia Raya Emisi Nol Bersih (ViriyaENB). ViriyaENB yang dikenal sebagai lembaga yayasan iklim pertama di Indonesia yang memiliki visi mewujudkan masyarakat net-zero yang didukung oleh perekonomian yang adil dan regeneratif, sedang melakukan riset lintas tahun untuk mengkaji potensi elektrifikasi kendaraan operasional khususnya di kawasan bandara dan pelabuhan yang ada di Indonesia. Kajian tersebut dilakukan dalam rangka mendukung upaya Pemerintah meraih target bebas emisi (net zero emission) pada tahun 2060.

Riset ini mulai dijalankan pada awal 2025 dengan mengambil lokus pada Bandara Soekarno Hatta, Jakarta dan Bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali serta Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Sebagai tahap awal, riset ini telah memetakan profil eksisting operasional kendaraan pada kedua simpul transportasi tersebut yang selanjutnya akan dikaji lebih dalam untuk mengidentifikasi kesiapan teknologi dan ragam kendaraan operasional listrik serta peluang investasi untuk mendukung penyediaan dan operasional armada. Dalam rangkaian riset dilakukan survei dan FGD dengan melibatkan operator bandara dan pelabuhan, industri jasa layanan transportasi berbasis kendaraan listrik, industri kendaraan listrik, serta  Kementerian/Lembaga terkait dengan aspek transportasi, energi, serta pendanaan/fiskal.

Dr. Ir. Dewanti, MS selaku Ketua Tim pelaksana kajian menyampaikan bahwa kebijakan nasional telah mendorong elektrifikasi transportasi melalui insentif fiskal, program konversi, dan pengembangan infrastruktur SPKLU untuk mendukung dekarbonisasi sektor transportasi. Meskipun demikian, perlu konsistensi dan skema insentif yang mendorong dunia usaha untuk berkembang. Hasil kajian menemukenali bahwa teknologi Battery Electric Vehicle (BEV) terbukti paling efisien dan bersih, dengan biaya baterai yang terus menurun sehingga kompetitif dengan kendaraan berbasis bahan bakar minyak atau dikenal dengan Internal Combustion Engine (ICE). Secara lebih spesifik, lokasi studi di Bandara (CGK & DPS) memiliki potensi elektrifikasi besar, terutama pada bus apron, traktor bagasi, dan traktor kargo, dengan pengurangan emisi signifikan bila dikonversi ke kendaraan listrik atau electric vehicle (EV). Perhitungan emisi menunjukkan baggage towing tractor (BTT) adalah penyumbang emisi terbesar sehingga menjadi prioritas konversi.

Lebih jauh Dewanti menyatakan bahwa Investasi elektrifikasi kendaraan operasional darat atau dikenal dengan Ground Support Equipment (GSE) membutuhkan biaya cukup besar yaitu sekitar Rp460,09 miliar di CGK dan Rp190,46 miliar di DPS, namun berpotensi menurunkan emisi dan meningkatkan efisiensi energi hingga 71,8%. Di pelabuhan, adopsi peralatan listrik sudah mulai dilakukan pada berbagai peralatan seperti Quayside Container Crane (QCC) dan Ruber Tyred Gantry (RTG), dengan peluang pengurangan emisi hingga 78,5% dan manfaat ekonomi dari nilai karbon, kesehatan, dan biaya sosial yang signifikan. Meskipun demikian, industri baterai dan pengelolaan baterai bekas membutuhkan dukungan regulasi kuat, agar baterai EV dipandang sebagai sumber daya, bukan limbah.

“Kolaborasi multipihak (K/L dan BUMN) menjadi kunci dalam percepatan elektrifikasi di bandara dan pelabuhan, termasuk penyusunan roadmap yang jelas untuk implementasi jangka panjang,” pungkas Dewanti dalam uraiannya.

Hadir pula beberapa penanggap dalam diseminasi yaitu Dr. Arianto Wibowo, ST, M.S.E dari Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan. “Indonesia tetap berkomitmen dengan NZE, melalui berbagai regulasi dukungan, termasuk lebih spesifik di bandara dan pelabuhan. Perlu dilakukan penguatan regulasi di lingkup kementerian perhubungan untuk sektor KBL BB”, menurutnya.

Bapak Akbar Putra Mardhika dari PT Angkasa Pura Indonesia (PT API) menyampaikan bahwa peran PT API dalam penurunan emisi di bandara sekitar 24-28%. PT API sudah memiliki aksi mitigasi dan efisiensi kendaraan operasional di bandara serta Roadmap SPKLU dan KBLBB kendaraan operasional bandara. Meski demikian, roadmap untuk moda transportasi darat belum ada.

Prof. Dr. Danang Parikesit, M.Sc, Guru Besar Kebijakan Transportasi dari Fakultas Teknik UGM menyampaikan perlu skema adopsi dan adaptasi teknologi EV melalui skema voluntary dan mandatory. Efisiensi EV melalui skema BAAS (Battery As A Service) dan swapt perlu dihitung sebagai dasar pelaku usaha untuk berpindah dan dasar kebijakan pemerintah. Terakhir, Anna Amalia, M.Env dari Bappenas menyampaikan arah kebijakan sektor transportasi dalam RPJMN 2025 – 2029 terkait dengan indikator penurunan emisi GRK dan indeks kualitas lingkungan hidup. Lebih jauh lagi, tata kelola batterai perlu diperhatikan.

Hadir pula Ibu Etsa Amanda mewakili ViriyaENB yang menyambut baik hasil kajian dan berharap adanya kajian lanjutan yang lebih komprehensif. (SDD/DAK/HLT)

Menyikapi Maxride

Oleh: Dwi Ardianta Kurniawan, S.T, M.Sc

Beberapa bulan terakhir jalanan kota Yogya dan sekitarnya diramaikan dengan keberadaan ‘angkutan umum’ baru, yaitu berupa kendaraan beroda tiga yang sekilas mirip bajaj di Jakarta. Kendaraan itu menamakan dirinya ‘Maxride’, yang digadang-gadang oleh pengelolanya sebagai ‘moda transportasi umum non-subsidi, khususnya sebagai transportasi pengumpan (feeder) berbasis aplikasi’.

Angkutan ini juga mengklaim sebagai angkutan yang inovatif dan berkelanjutan, karena selain berbasis aplikasi juga menggunakan energi listrik sehingga tidak menimbulkan polusi udara maupun suara sebagaimana bajaj konvensional. Sahihkah pernyataan tersebut? Artikel ini akan mencoba membedah bagaimana sebenarnya posisi Maxride dalam transportasi umum dan bagaimana seharusnya kita menyikapinya. Telaah setidaknya akan mencakup 3 aspek, yaitu aspek legal perizinan, aspek transportasi, dan aspek lingkungan.

Dari sisi legal, keberadaan angkutan umum berbasis kendaraan roda 2 dan 3 secara implisit diakomodasi dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 tahun 2019 tentang Pelindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Dipergunakan untuk Kepentingan Masyarakat. Peraturan tersebut memang tidak menyebutkan penggunaan sepeda motor sebagai angkutan umum, namun penggunaan sepeda motor untuk kepentingan masyarakat dengan dukungan aplikasi.

Dalam peraturan tersebut diatur mengenai jenis sepeda motor yang dipergunakan adalah roda 2 baik dengan rumah-rumah maupun tidak, roda 2 dengan kereta samping atau tidak, dan roda 3 tanpa rumah-rumah. Peraturan tersebut justru tidak mengatur mengenai sepeda motor roda 3 yang menggunakan rumah-rumah, sebagaimana dimiliki oleh Maxride.

Peraturan Menteri Perhubungan nomor PM 117 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Tidak dalam Trayek mengatur kendaraan roda 3 sebagai Pelayanan Angkutan Orang di Kawasan Tertentu yang berarti terdapat batasan wilayah yang dapat dilayani oleh moda transportasi tersebut. Hal ini secara implisit menunjukkan adanya kebutuhan pengaturan lebih lanjut mengenai keberadaan kendaraan roda 3 dengan rumah-rumah yang menggunakan aplikasi.

Permasalahan kedua dari sisi legal terletak belum turunnya perizinan operasi bagi Maxride sebagaimana disampaikan pejabat yang berwenang di Dinas Perhubungan Provinsi. Hal ini tentu perlu ditindaklanjuti oleh operator agar keberadaan moda angkutan tersebut memiliki dasar operasi yang kuat.

Keberadaan sepeda motor untuk dipergunakan sebagai ‘angkutan umum’ sesungguhnya mencerminkan kompromi yang didasarkan oleh pertimbangan-pertimbangan praktis. Memang tidak dapat dimungkiri, keberadaan transportasi online termasuk Maxride sangat dibutuhkan oleh masyarakat, khususnya ketika transportasi umum tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat akan transportasi yang terjangkau, cepat dan nyaman.

Secara ideal, keberadaan transportasi berbasis aplikasi, termasuk Maxride, dapat bersinergi dengan angkutan umum melalui fasilitasi pada first mile (perjalanan rumah ke halte) dan last mile (perjalanan halte ke tujuan akhir). Sinergi semacam itu memang belum terlihat secara massif di Yogya dengan sebagian besar penggunaan transportasi online diindikasikan untuk perjalanan end to end. Keberadaan transportasi online sebagai support angkutan umum sudah mulai terlihat misalnya di Jakarta dengan diakomodasinya moda tersebut dalam sistem transportasi terintegrasi melalui aplikasi Jaklingko. Harapannya, sistem tersebut dapat dikembangkan dan direplikasi di berbagai wilayah di Indonesia.

Keberadaan Maxride sesungguhnya juga memiliki nilai plus dari sisi lingkungan, yaitu dengan dipergunakannya energi berbasis listrik. Sumber bahan bakar ini secara signifikan dapat menurunkan emisi gas rumah kaca, khususnya jenis CO2. Kegiatan transportasi memang memberikan sumbangan cukup besar pada emisi gas rumah kaca sebesar 28% dari total emisi menurut berbagai sumber. Dari besaran tersebut, transportasi darat menyumbang emisi sebesar 90%, sehingga penurunan emisi pada sektor transportasi darat akan memberikan sumbangan penurunan emisi yang signifikan.

Berbagai plus dan minus dari keberadaan Maxride tersebut tentu perlu menjadi pertimbangan dalam menyikapi keberadaan moda angkutan ‘baru’ tersebut di jalanan Yogyakarta.

 

Foto: Freepik

Artikel ini telah dimuat dalam Opini Kedaulatan Rakyat, edisi Kamis, 21 Agustus 2025

Biaya Transportasi Masyarakat RI di Atas Rata-rata Dunia, Pustral UGM Beri Solusi ke Pemerintah

Transportasi Publik menjadi solusi terbaik untuk menghindari kemacetan berkepanjangan di kota besar dan padat penduduk. Namun, ternyata biaya transportasi yang dikeluarkan relatif tinggi antar moda transportasi yang digunakan sehingga membuat biaya transportasi yang dikeluarkan lebih tinggi per tahunnya. Kementerian Perhubungan mencatat pengeluaran masyarakat untuk transportasi masih relatif tinggi yaitu mencapai 12,46 % per bulan dari total biaya hidup. Padahal standar Bank Dunia seharusnya tidak lebih dari 10% dari total biaya hidup per bulan.

Peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM, Dwi Ardianta Kurniawan, menanggapi hal tersebut dengan menilai bahwa ada beberapa aspek yang cukup kompleks dan diperhatikan untuk menekan biaya transportasi yang dikeluarkan masyarakat.

Selengkapnya: www.ugm.ac.id 

Foto: Freepik

Webinar Market Outlook dan Persepsi Risiko Usaha Jasa Konstruksi 2026

 

“Tahun 2026 adalah tahun yang memiliki permintaan pasar konstruksi non-APBN yang besar, namun dengan risiko usaha yang tinggi dan penuh tantangan untuk melakukan transformasi dan migrasi kompetensi segera, sehingga mampu mempertahankan keberlanjutan usaha (Danang Parikesit, 2025)”

 

 

“Konstruksi memiliki peran strategis dalam mendukung pertumbuhan ekonomi. Tenaga ahli konstruksi di Indonesia sejumlah 9 juta orang, sehingga sektor konstruksi cukup besar memberikan multiplier effect terhadap perekonomian. Selain itu, peralatan dan teknologi juga berkembang cepat yang harus diikuti oleh kesiapan SDM. Transparansi penyediaan jasa konstruksi juga diterapkan melalui e-catalog yang sudah dominan dijalankan,” demikian disampaikan oleh Bapak Boby Ali Azhari, S.T., M.Sc. selaku Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum sebagai keynote speaker pada Webinar “Market Outlook dan Persepsi Risiko Usaha Jasa Konstruksi 2026”, Kamis, 4 September 2025, pukul 10.00 – 12.00 WIB.

Lebih jauh, Boby menyampaikan bahwa arah pembangunan konstruksi tahun 2026 berbeda dibandingkan tahun sebelumnya yang terfokus pada IKN dan jalan tol. Tahun mendatang fokus pembangunan dilakukan pada swasembada pangan dan sekolah rakyat. Peran jasa konstruksi dipercaya tetap memegang peranan kunci dalam pembangunan ekonomi nasional. Meskipun pembangunan jalan tol berkurang, namun konstruksi berperan penting dalam mendukung hilirisasi. Kapasitas pengembangan SDM konstruksi juga merupakan isu penting yang tetap diperhatikan.

Webinar terselenggara atas kerjasama Laboratorium Manajemen Proyek Konstruksi Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik UGM (DTSL FT UGM) dengan Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM. Acara ini juga didukung oleh Direktorat Jenderal Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, GAPENSI, Asosiasi Kontraktor Indonesia (AKI), serta Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO). Ir. Ikaputra, Ph.D selaku Kepala Pustral menyampaikan bahwa kolaborasi ini sangat strategis mengingat keterkaitan erat antara sistem transportasi dan logistik dengan industri jasa konstruksi, di mana kedua sektor ini saling mendukung dalam pembangunan infrastruktur nasional yang berkelanjutan.

Webinar menghadirkan Prof. Dr. Techn. Ir. Danang Parikesit, M.Sc., IPU., APEC.Eng., QRGP. selaku Kepala Laboratorium Manajemen Proyek Konstruksi DTSL FT UGM yang telah melakukan penelitian komprehensif bertema “Outlook dan Persepsi Risiko Usaha Jasa Konstruksi Indonesia 2026”. Hadir pula membuka webinar Prof. Dr. Ir. Teuku Faisal Fathani, Ph.D., IPU. selaku Ketua DTSL FT UGM, serta pembahas Ibu Airyn Saputri Harahap, S.T., M.Sc. selaku Direktur Usaha dan Kelembagaan Jasa Konstruksi, Dirjen Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum, dan Bapak Ir. Taufik Wijoyono, M.Sc. selaku Ketua Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK).

Danang Parikesit menyampaikan bahwa ekonomi global stagnan/melambat pada tingkat ±2,9% akibat geopolitik, perlambatan ekonomi Cina, dan suku bunga tinggi. Nilai pasar konstruksi global diperkirakan mencapai USD 14–15 triliun pada 2026, didominasi sektor residensial. Sektor infrastruktur tetap tinggi, didorong agenda transisi energi & perubahan iklim. Sementara itu, ekonomi Indonesia tetap tumbuh stabil (5,4%) didukung daya beli, inflasi terjaga, dan sinergi kebijakan. Fokus belanja negara diarahkan pada efisiensi dan kesinambungan pembangunan.

Fokus kebijakan fiskal tahun 2026 adalah menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan fiskal dengan belanja yang produktif. Pertumbuhan sektor jasa konstruksi diperkirakan 4,5–6%. Dengan kondisi ini, dan melihat hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan konstruksi, dapat disimpulkan bahwa sektor jasa konstruksi sangat rentan. Apabila sektor ini tumbuh 6% atau diatas pertumbuhan ekonomi nasional, maka akan terjadi akselerasi pembangunan di tahun-tahun selanjutnya.

Pasar konstruksi tahun 2026 akan didominasi oleh proyek PSN non-APBN sebesar Rp698,64T atau 82% dari seluruh pasar konstruksi Indonesia. Hanya 18% pasar konstruksi Indonesia berasal dari APBN yang terdiri dari APBN (9 K/L) sebesar Rp156,34T. Proyek swasta yang cukup besar adalah proyek 1 juta rumah di tahun 2026 senilai Rp240T.

Danang selanjutnya menyampaikan hasil survei terhadap 8 Perusahaan konstruksi  besar, 21 Perusahaan konstruksi menengah dan kecil, serta 69 Konsultan menunjukkan bahwa bisnis tahun 2026 kondisinya tidak menentu bahkan memiliki risiko yang meningkat. Lebih jauh, hasil survei juga menunjukkan bahwa kemampuan pengelolaan risiko bagi usaha jasa konstruksi Indonesia masih perlu ditingkatkan. Usaha jasa konstruksi kecil dan menengah akan sulit bertahan dalam kondisi ketidakpastian usaha dan kompetensi teknologi dan SDM yang terbatas. Menurutnya, tingginya risiko ini dirasakan oleh mayoritas pelaku usaha, di mana 87,50% perusahaan besar dan 47,62% perusahaan menengah-kecil memprediksi risiko tersebut akan meningkat. “Kondisi ini menjadi tantangan serius, terutama bagi usaha kecil dan menengah yang 71,43% di antaranya hanya menangani kurang dari lima proyek  skala kecil per tahun,” tambahnya

Masih perlu ada dukungan pemerintah cq. Ditjen Bina Konstruksi dan LPJK dalam meningkatkan keberlanjutan usaha. Perhatian lebih perlu diberikan bagi usaha jasa konstruksi kelas menengah dan kecil. Bagi usaha jasa konstruksi, tahun 2026 adalah tahun yang memiliki permintaan pasar konstruksi non-APBN yang besar, namun dengan risiko usaha yang tinggi dan penuh tantangan untuk melakukan transformasi kompetensi segera, sehingga mampu mempertahankan keberlanjutan usaha. Pemerintah perlu membantu UKM jasa Konstruksi untuk melakukan tranformasi maupun migrasi dari proyek-proyek APBN/APBD ke proyek-proyek swasta maupun KPBU melalui skema insentif maupun pelatihan kompetensi usaha dan teknis. Pengelolaan risiko gagal bayar kontraktor ke sub-kontraktor juga perlu didukung pemerintah khususnya Kementerian Keuangan dan kemenrerian teknis terkait melalui penjaminan risiko.

Webinar ini dihadiri oleh 900 peserta melalui Zoom dan YouTube. Dengan antusias, para peserta menyampaikan pertanyaan yang dipandu oleh moderator, Tantri Nastiti Handayani, S.T., M.Eng., Ph.D., dosen Laboratorium Manajemen Proyek Konstruksi DTSL FT UGM. Acara juga disemarakkan dengan kuis yang memberikan hadiah kepada lima orang pemenang. (SDD/DAK/HLT)

Bupati dan Wabup Merauke Sambut Tim Ekspedisi Patriot Pustral UGM

Bupati dan Wakil Bupati Merauke Yoseph Bladib Gebze dan Fauzun Nihayah, serta Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi kabupaten Merauke menerima Tim Ekspedisi Patriot, Senin, (1/8/2025) di Auditorium kantor bupati setempat. Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kabupaten Merauke, Kleopas Ndiken dalam laporannya mengatakan, 75 orang Tim Ekspedisi Patriot itu bersal dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, Institut Teknologi 10 November Surabaya, Universitas Pajajaran, Universitas Indonesia, dan Universitas Musamus Merauke. Mereka di bawah pimpinan atau Ketua Tim yakni Profesor Imam, dan akan melaksanakan tugas selama 4 bulan di Merauke untuk mendampingi 10 distrik yang terbagi dalam dua kawasan transmigrasi.

Artikel ini telah tayang di teropongnews.com  dengan judul Pustral UGM: Pengurangan Subsidi Trans Jogja Bisa Beratkan Masyarakat Rentan.
Link Artikel

Sumber gambar: teropongnews.com

Pengurangan Subsidi Trans Jogja Bisa Beratkan Masyarakat Rentan

Peneliti Senior Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM, Dr. Ir. Arif Wismadi, M.Sc berpendapat bahwa sebenarnya pengurangan subsidi bisa diminimalisasi dampaknya jika ada sumber pendapatan alternatif di luar tiket atau non-fare box. Salah satunya melalui sektor iklan. Namun, ia menilai strategi itu belum dikelola dengan baik.

“Jika ada pengganti dari non-fare box atau pendapatan non tiket dengan nilai yang sama, mestinya tidak berimbas. Contohnya dari iklan. Tapi sepertinya strategi ini belum diterapkan secara sistematis. Lebih kepada saat ada permintaan dari yang akan mengiklankan baru dibuka, bukan sebagai strategi yang dirancang dengan cermat,

Artikel ini telah tayang di TribunJogja.com dengan judul Pustral UGM: Pengurangan Subsidi Trans Jogja Bisa Beratkan Masyarakat Rentan.
Link Artikel

Sumber gambar: Dishub Provinsi DIY.

Local Public Transport in Indonesia from a Japanese Perspective

 

Dalam rangka memperingati Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia, Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan webinar internasional dengan tema “Local Public Transport in Indonesia from a Japanese Perspective”. Webinar ini diselenggarakan pada Selasa, 12 Agustus 2025, yang menghadirkan Dr. Ir. Dewanti, M.S dari Universitas Gadjah Mada dan Sotaro Yukawa, Ph.D, Associate Professor, Osaka University of Commerce.

Ir. Ikaputra, M.Eng., Ph.D., selaku Kepala Pustral menyampaikan bahwa sistem transportasi umum lokal Indonesia menghadapi tantangan kritis, terutama pada komunitas pedesaan dan pinggiran kota. Selama beberapa generasi, layanan transportasi tradisional seperti bus dan angkutan minivan bersama telah menjadi sumber kehidupan bagi mobilitas masyarakat di wilayah-wilayah tersebut. Namun, penurunan jumlah layanan secara drastis dalam beberapa tahun terakhir telah membuat sejumlah daerah kehilangan akses terhadap sarana transportasi vital ini.

Kepala Pustral UGM menyoroti perubahan sosial besar yang mengubah wajah transportasi lokal di Indonesia. “Hal ini didorong oleh percepatan kepemilikan sepeda motor dan perkembangan pesat layanan ride-hailing. Transisi ini dipicu oleh kebijakan pemerintah yang mempermudah akses kredit untuk pembelian sepeda motor, ditambah pemasaran agresif yang menjangkau hingga desa-desa terpencil, sehingga memicu lonjakan kepemilikan kendaraan pribadi. Peningkatan ini secara langsung berkontribusi pada menyusutnya jaringan transportasi umum formal yang dahulu menjadi tulang punggung mobilitas masyarakat”, demikian disampaikan Ikaputra sebagai pengantar diskusi.

Ikaputra memperingatkan bahwa krisis transportasi umum di Indonesia tidak hanya soal kendaraan yang berhenti beroperasi, tetapi juga menyangkut nasib manusia. “Dimensi kemanusiaan dari krisis ini sangat memprihatinkan,” tegasnya. Penurunan layanan transportasi umum telah berdampak parah pada kelompok non-pengemudi—termasuk warga lanjut usia kita, pemuda, dan penduduk berpenghasilan rendah — dengan dampak yang terasa di setiap sisi kehidupan. Bagi kelompok ini, hilangnya transportasi umum bukan hanya soal ketidaknyamanan belaka, melainkan juga hambatan mendasar yang menggerus mobilitas, memutus akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan peluang ekonomi, serta memperdalam jurang isolasi sosial.

Dewanti selaku pembicara pertama memaparkan materi berjudul “Rural Transport Transformation in Indonesia, How Transport Services Shape Rural Development, Case Study: Klaten Rural Area”. Ia menjelaskan bahwa kebijakan transportasi pedesaan di Indonesia sebagian besar dibentuk oleh paradigma modernisasi yang mencerminkan bias perkotaan dengan penyediaan jalan diposisikan sebagai prasyarat utama bagi mobilitas dan pembangunan pedesaan.

“Kebijakan transportasi pedesaan masih cenderung terfragmentasi dan bersifat sektoral, dengan penekanan utama pada penyediaan infrastruktur transportasi. Sekitar 75% orang miskin di dunia tinggal di wilayah pedesaan, di mana mereka menghadapi keterbatasan signifikan dalam fasilitas umum dan layanan penting. Kurangnya layanan transportasi yang memadai berdampak buruk pada mobilitas dan aksesibilitas masyarakat pedesaan. Di sejumlah negara berkembang, perempuan secara tidak proporsional menanggung beban transportasi. Selain itu, telah terjadi pergeseran penting dalam prioritas pembangunan pedesaan, dari fokus pertanian ke sektor nonpertanian,” demikian disampaikan oleh Dewanti.

Beberapa kesimpulan dari penelitian terdahulu antara lain: adanya perubahan layanan transportasi pedesaan dari kendaraan tidak bermotor menjadi bermotor; sepeda motor sebagai moda transportasi pedesaan yang dominan; munculnya pengendara sepeda motor anak; pergeseran fungsi sepeda motor menjadi kendaraan serbaguna; pengembangan jasa transportasi yang mampu mengatasi hambatan alam; serta hadirnya transportasi sosial sebagai layanan transportasi alternatif di pedesaan.

Beberapa rekomendasi yang disampaikan meliputi: membangun pendekatan inklusi sosial melalui modal sosial; mengembangkan kebijakan transportasi berkelanjutan; menerapkan konsep multi-intervensi; melibatkan masyarakat melalui pendekatan berbasis komunitas dalam pelayanan transportasi; serta membangun kemitraan.

Sotaro selaku pembicara selanjutnya menyampaikan paparan bertajuk “Rethinking Local Public Transport in Indonesia from a Japanese Perspective: Lessons from Klaten Regency, Central Java and Japan”. Ia menjelaskan ketertarikannya pada transportasi umum pedesaan di Indonesia berangkat dari realitas di Jepang, di mana masalah serupa telah menjadi perhatian luas kalangan peneliti. Banyak peneliti Jepang berasumsi bahwa di negara berkembang dengan kepemilikan mobil yang masih rendah, transportasi umum tetap berkembang. Namun, pengalamannya tinggal di Malaysia menunjukkan penurunan signifikan pada jaringan transportasi umum. Tren serupa, sejak 2016, juga terjadi di Indonesia, meski tingkat kepemilikan mobil tinggi. Kondisi inilah yang mendorong Sotaro meneliti penyebab dan prospek masa depan transportasi umum pedesaan di Indonesia.

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Klaten, mencakup wilayah Cawas, Wedi, dan Manisrenggo, dengan fokus pada pasar, kantor pemerintah, sekolah, dan desa. Hasil penelitian menegaskan pentingnya transportasi umum bagi lansia dan pelajar, sekaligus menunjukkan kuatnya modal sosial di wilayah pedesaan. Tantangan serupa dalam penyediaan transportasi umum lokal juga terjadi di Jepang. Meski dikenal memiliki sistem transportasi umum yang maju, kenyamanan tersebut sejatinya terbatas pada kawasan metropolitan utama seperti Tokyo dan Osaka. Di daerah pedesaan, Jepang menghadapi persoalan mendesak seperti penurunan jumlah penumpang bus, risiko mengemudi oleh lansia akibat penuaan penduduk, serta keterbatasan dukungan pemerintah terhadap layanan transportasi umum.

“Di kota-kota regional dan daerah pedesaan Jepang, bus merupakan moda  transportasi umum utama. Namun, dalam 20 tahun terakhir jumlah penumpang menurun hingga setengahnya, sehingga banyak rute sulit untuk bertahan secara finansial tanpa subsidi. Sejak pertengahan 1990-an, subsidi pemerintah terus meningkat: di daerah perkotaan, subsidi mencakup sekitar 10% biaya operasional bus, sedangkan di daerah pedesaan banyak rute bergantung pada subsidi sebesar 60-90% dari biayanya,” demikian disampaikan Sotaro.

Sotaro menyampaikan bahwa cakupan penduduk yang terlayani transportasi umum di daerah pedesaan Jepang lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Klaten sebagaimana dilaporkan sebelumnya. Di wilayah Kanto bagian utara, yang memiliki banyak daerah datar dan kota-kota yang tersebar, jaringan bus mampu menjangkau sekitar 60-70% dari populasi. Kondisi ini didorong oleh sejumlah faktor, antara lain subsidi pemerintah; road icing atau kondisi jalan licin akibat es pada musim dingin yang membuat sepeda motor tidak layak untuk digunakan; serta inisiatif pemerintah daerah untuk mempertahankan layanan transportasi umum, misalnya dengan mengatur jadwal operasional bus agar selaras dengan jadwal rumah sakit dan sekolah.

Sotaro juga menyampaikan bahwa di Indonesia, dengan ikatan sosial masyarakat yang kuat, penduduk dan pemerintah daerah berpotensi bekerja sama untuk mempertahankan layanan transportasi umum pada tingkat minimum. Pemanfaatan layanan Uber untuk transportasi masyarakat serta penerapan sistem transportasi penumpang berbayar menggunakan mobil pribadi dinilai sangat memungkinkan di pedesaan Indonesia. Kerja sama penelitian lanjutan diperlukan untuk memperkuat dan mempertajam rekomendasi yang telah disampaikan.

Dalam diskusi, Sotaro menegaskan bahwa pengembangan transportasi publik seharusnya berfokus pada keandalan layanan, bukan sekadar implementasi teknologi. Dalam sebuah webinar, ia menyoroti ironi di Jepang yang justru tidak memiliki rencana transportasi nasional komprehensif akibat privatisasi dan fokus berlebihan pada pembangunan jalan. Berkaca dari pengalaman tersebut, Sotaro menilai Indonesia—dengan anggaran terbatas—perlu mengadopsi solusi berbasis komunitas, seperti memformalkan layanan transportasi informal oleh warga dan memodernisasi armada bus kecil dengan sistem digital. Ia juga memuji kebersihan KRL Commuter Line Jakarta yang dinilainya melampaui standar di Jepang. Sotaro menekankan peran advokasi Organisasi Nirlaba (NPO) menjadi krusial untuk mendorong pergeseran kebijakan dari pola yang sangat berpusat pada mobil menuju transportasi publik berkelanjutan, demi mengatasi kemacetan dan persoalan lingkungan.

Antusiasme luar biasa mewarnai jalannya webinar, dengan 800 peserta aktif memberikan respons melalui Zoom dan YouTube. Diskusi interaktif ini dipandu oleh Ir. Mukhammad Rizka Fahmi Amrozi, S.T., M.Sc., Ph.D., pengajar dari Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM). Partisipasi aktif peserta yang menyampaikan beragam gagasan, mencerminkan tingginya perhatian publik terhadap isu transformasi transportasi di wilayah pedesaan, khususnya perubahan pola mobilitas dan layanan angkutan umum.

Dalam sesi penutup, Amrozi menyoroti transformasi transportasi pedesaan di Indonesia yang kini didominasi oleh sepeda motor, sehingga banyak layanan angkutan umum formal di berbagai daerah menurun atau bahkan runtuh. Ia menilai, model kolaboratif seperti di Jepang—yang memadukan subsidi pemerintah dan partisipasi aktif masyarakat—layak menjadi inspirasi. Skema tersebut berpotensi melahirkan sistem transportasi terpadu, berkelanjutan dan efisien di wilayah dengan mobilitas rendah. Dengan mengandalkan modal sosial masyarakat yang kuat, Amrozi optimistis Indonesia mampu membangun layanan transportasi pedesaan yang inklusif, terjangkau, dan ramah lingkungan di masa mendatang. (Udin-red)

Memetakan Masa Depan: Pelatihan SIG Dasar Angkatan 26 Tingkatkan Kapasitas SDM Spasial

YOGYAKARTA – Di tengah tuntutan pengambilan keputusan berbasis data yang kian mendesak, Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) Universitas Gadjah Mada (UGM) kembali menegaskan komitmennya dalam peningkatan kapasitas sumber daya manusia nasional. Melalui “Pelatihan Sistem Informasi Geografis (SIG) Dasar Angkatan 26” yang digelar pada 14–19 Juli 2025, Pustral UGM membekali para profesional dari berbagai instansi dengan keahlian pemetaan digital yang esensial untuk perencanaan dan analisis modern.

Pelatihan yang telah berjalan hingga angkatan ke-26 ini menjadi bukti konsistensi dan relevansi Pustral UGM sebagai lembaga riset terdepan sejak didirikan pada 2001. Dikelola secara profesional oleh Divisi Pelatihan dan Seminar di bawah pimpinan Sa’duddin, S.Si., M.B.A, M.Sc., program ini telah menjadi rujukan utama bagi para profesional di seluruh Indonesia yang ingin menguasai teknologi geospasial.

Dukungan penuh dari jajaran pimpinan mempertegas signifikansi strategis pelatihan ini. Acara dibuka secara resmi oleh Kepala Pustral UGM, Ir. Ikaputra, M.Eng., Ph.D., dan ditutup oleh Koordinator Unit Penelitian dan Pengembangan, Ir. Juhri Iwan Agriawan, S.T., M.Sc. Keterlibatan langsung para pimpinan ini mengisyaratkan bahwa kurikulum yang diajarkan selaras dengan standar riset terapan yang digunakan Pustral UGM dalam mengkaji isu-isu transportasi, logistik, dan infrastruktur nasional.

Selama enam hari intensif, peserta diajak menyelami alur kerja SIG secara komprehensif. Tiga hari pertama difokuskan pada pembangunan fondasi yang kokoh, mencakup konsep dasar SIG, pengenalan perangkat lunak ArcGIS, struktur data, hingga teknik georeferencing untuk memastikan akurasi peta. Sesi ini dilanjutkan dengan praktik entri dan penyuntingan data, sebuah keterampilan fundamental untuk membangun basis data spasial yang andal.

Memasuki paruh kedua, pelatihan beralih ke tingkat analisis dan teknologi yang lebih canggih. Peserta mempelajari analisis spasial menggunakan data vektor untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan geografis yang kompleks. Keunggulan utama program ini terletak pada integrasi teknologi akuisisi data modern, di mana peserta tidak hanya belajar teori, tetapi juga praktik langsung di lapangan menggunakan Global Navigation Satellite System (GNSS) dan drone untuk pemetaan udara.

Kekuatan utama pelatihan ini terletak pada jajaran instrukturnya, sebuah “tim impian” yang terdiri dari para pakar lintas fakultas di UGM. Pustral UGM secara strategis memobilisasi para ahli dari Fakultas Teknik, Geografi, MIPA, Sekolah Vokasi, hingga Pusat Kedokteran Tropis. Kolaborasi ini memastikan peserta mendapatkan pemahaman SIG yang holistik dan aplikatif dari berbagai sudut pandang keilmuan.

Pendekatan interdisipliner ini memberikan nilai tambah yang luar biasa. Peserta belajar tentang presisi sistem koordinat dari pakar Teknik Geodesi, logika komputasi dari ahli Sains Informasi Geografis, hingga teknik pengolahan citra drone dari spesialis Ilmu Komputer. Perspektif yang beragam ini membekali peserta dengan kemampuan untuk melihat SIG bukan sekadar sebagai alat teknis, melainkan sebagai platform kolaboratif untuk memecahkan masalah yang kompleks.

Dampak pelatihan ini tercermin dari profil 12 peserta yang beragam, mulai dari perwakilan Dinas Tata Ruang Kota Bekasi, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Tabalong dan Murung Raya, hingga sektor swasta seperti pengembang properti PT. Bumi Serpong Damai, serta Naresy International Education Consultant. Keberagaman ini menciptakan lingkungan belajar yang dinamis, di mana tantangan nyata dari berbagai industri dapat didiskusikan dan dicarikan solusinya melalui pendekatan spasial.

Validasi terkuat terhadap kualitas program datang dari Dinas Tata Ruang Kota Bekasi, yang mengirimkan delegasi berisi delapan orang dengan latar belakang pendidikan yang bervariasi, dari perencanaan wilayah hingga akuntansi. Langkah ini menunjukkan pengakuan bahwa literasi spasial merupakan kompetensi inti yang harus dimiliki oleh seluruh lini organisasi. Lulusan pelatihan ini kini siap kembali ke instansi masing-masing sebagai agen perubahan, dibekali keahlian untuk mendukung pembangunan nasional yang lebih efisien dan terinformasi secara spasial. (SDD & Tim Training)

Pustral UGM memaparkan Hasil Studi Kelayakan Pembukaan Jalur Roro Batam-Johor

 

Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) Universitas Gadjah Mada telah menyelesaikan Studi Kelayakan Pembukaan Jalur Roro Batam-Johor bekerjasama dengan Badan Pengusahaan Batam (BP Batam). Dalam rangkaian kajian tersebut, dilaksanakan Managament  Expose  Studi  Kelayakan Pembukaan Jalur RORO Batam – Johor pada Selasa, 22 Juli 2025 pukul 09.00 WIB – selesai di Hotel Borobudur Jakarta. Hadir dalam acara tersebut Fary Djemy Francis selaku Deputi Bidang Investasi dan Pengusahaan BP Batam yang memberikan sambutan dan membuka acara serta menyerahkan hasil kajian dari BP Batam kepada Bobby Chriss Siagian selaku Asisten Deputi Kerja Sama Ekonomi Regional, Kemenko Perekonomian.

Fary Francis, mengatakan, pembukaan jalur Roro ini menjadi salah satu agenda strategis nasional untuk mendorong pertumbuhan ekonomi kawasan. “Batam ditargetkan menjadi role model pertumbuhan ekonomi nasional, salah satunya dengan menangkap peluang dari pembukaan jalur Roro ke Johor,” kata Fary yang hadir mewakili Kepala BP Batam, Amsakar Achmad. Fary menyebut, melalui forum ini BP Batam ingin menyampaikan gambaran utuh terkait kelayakan proyek tersebut. Hasil studi menunjukkan proyek ini layak dari aspek teknis, finansial, lingkungan, hingga sosial. “Expose ini menjadi ruang untuk menyampaikan hasil kajian secara menyeluruh, agar seluruh pihak memahami bahwa proyek ini memang layak dikembangkan,” jelasnya.

Hasil kajian disampaikan oleh perwakilan tim studi yaitu Prof. Ir. Nur Yuwono, Dip.HE, Ph.D. selaku Ketua Tim (Aspek Teknis dan Operasional), Dr. Harry Purwanto, SH, M.Hum (Aspek Hukum), serta Ir. Dwi Ardianta Kurniawan, S,T., M.Sc (Aspek Pasar, Finansial, Dampak Sosial Ekonomi dan Risiko). Hadir pula Ir. Juhri Iwan Agriawan, S.T, M.Sc selaku project leader sebagai moderator. “Dari sisi operasional, layanan ini layak diselenggarakan karena ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai,” demikian disampaikan Nur Yuwono. Aspek operasional saat ini ditentukan oleh kapasitas sandar kapal Roro di Pelabuhan Bintang 99 Persada yang terbatas (hanya 1 kapal). Secara kesiapan prasarana, layanan ini siap diselenggarakan terutama dari sisi ketersediaan area pengembangan. Meskipun demikian dibutuhkan renovasi di kedua lokasi pelabuhan. Pada Pelabuhan Bintang 99 Persada diperlukan penataan/renovasi untuk melayani fungsi PLBN tipe A dan kualitas fasilitas agar sesuai untuk layanan penumpang wisata internasional. Sementara di Pelabuhan Tanjung Belungkor, Johor dibutuhkan pemasangan linkspan untuk ferry roro yang saat ini kondisinya rusak. Juga dibutuhkan perbaikan/ penyempurnaan untuk melayani kendaraan yang berukuran agak besar.

Dari aspek hukum, Harry Purwanto menyampaikan bahwa pelaksanaan angkutan Ferry Roro Batam – Johor layak dan dapat dijalankan karena pengaturan umum sudah tersedia. Namun demikian, perlu memperhatikan prinsip-prinsip kerjasama bilateral, jika menggunakan bentuk Kerjasama bilateral. Beberapa hal perlu diperhatikan adalah dipersiapkan MoU untuk menampung hak dan kewajiban yang seimbang diantara para pihak, baik dalam tataran MoU maupun dalam implementasinya. Selain itu, mempertimbangkan kembali sarana dan prasarana yang dibutuhkan sebagaimana aturan-aturan yang ditetapkan oleh IMO (seperti Solas, Marpol, dan lainnya), Tokyo MoU, serta peraturan perundangan nasional.

Juga diperlukan sarana dan prasarana pendukung dalam melakukan pemeriksaan atas dokumen-dokumen (seperti paspor/dan atau pas lintas batas, SIM Domestik, SIM Internasional, ATA Carnet dan CPD Carnet yang masih berlaku). Selain itu perlu pertimbangan terkait status Batam sebagai Kawasan perdagangan bebas, sedangkan Johor tidak. Selanjutnya Harry menyampaikan pula bahwa sesuai Permendag 8/2024, barang-barang konsumsi dimana Batam tidak ditunjuk sebagai pelabuhan tujuan untuk produk makanan dan minuman, kosmetik, suplemen kesehatan, alas kaki, telpon genggam dll. Perlu disiapkan jika pihak Johor meminta bisa masuk (prinsip mutual benefit dan resiprositas) maka perlu regulasinya (misalnya pengecualian terhadap barang-barang tertentu sebagaimana diminta pihak Johor).

Dari sisi risiko perlu diperhatikan risiko-risiko yang mencakup risiko teknis dan operasional, risiko regulasi dan kepatuhan hukum, risiko hubungan bilateral dan politik, risiko finansial, risiko lingkungan, risiko sosial dan keamanan, serta risiko pemasaran (marketing & branding). Terlepas dari risiko-risiko yang perlu dimitigasi, Dwi Ardianta menyampaikan bahwa hasil kajian menunjukkan layanan Roro Batam – Johor layak secara finansial dengan periode pengembalian sekitar tujuh tahun. Pengoperasian Roro Batam – Johor juga memberikan manfaat ekonomi baik keterkaitan ke belakang (sektor-sektor lain sebagai faktor produksi jasa angkutan laut), misalnya penggunaan BBM, jasa perbaikan kapal, perbankan, dll, serta keterkaitan ke depan (jasa angkutan laut sebagai faktor produksi/fasilitasi sektor lain) misalnya untuk angkutan barang, perdagangan, dll. Secara kuantitatif, pengoperasian Roro akan memberikan multiplier effect sektor transportasi laut terhadap perekonomian wilayah baik di Batam maupun Johor.

Acara dihadiri oleh sekitar 50 orang yang berasal dari BP Batam, Kemenko Perekonomian, Kementerian Luar Negeri (Konsul Jenderal RI di Johor), Kementerian Perhubungan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, Kementerian Hukum dan HAM, Badan Karantina Indonesia, Kementerian Perindustrian, dan PT ASDP Indonesia Ferry. Parapihak secara umum mendukung secara penuh pengoperasian Roro Batam – Johor, serta siap menindaklanjuti penyiapan secara teknis dan operasional sesuai dengan kewenangan masing-masing. (DAK)

Transformasi Infrastruktur Penunjang Hilirisasi dan Industrialisasi: Strategi Inovatif Menuju Kemandirian Ekonomi Nasional

 

Momentum kebijakan hilirisasi, terutama di sektor pertambangan, telah menunjukkan hasil kuantitatif yang sangat signifikan. Kebijakan larangan ekspor bijih nikel sejak Januari 2020 telah menjadi katalisator yang melipatgandakan nilai ekspor produk turunannya, dari sekitar USD 1,1 miliar sebelum kebijakan, meroket hingga mencapai USD 30-33 miliar pada tahun 2022. Keberhasilan ini secara langsung memicu gelombang investasi yang masif, di mana Kementerian Investasi/BKPM mencatat realisasi investasi di sektor hilirisasi mencapai Rp 375,4 triliun sepanjang tahun 2023 dan tren positif ini berlanjut dengan realisasi sebesar Rp 407,8 triliun sepanjang tahun 2024. Namun, di balik kisah sukses tersebut, muncul sebuah paradoks pembangunan yang krusial. Lonjakan volume produksi akibat hilirisasi yang masif ternyata tidak diimbangi oleh kesiapan infrastruktur penunjang, terutama di sektor logistik. Ironisnya, keberhasilan program ini justru menjadi pemicu utama krisis konektivitas yang mengancam daya saing produk nasional. Kesenjangan kinerja logistik ini menunjukkan adanya defisit daya saing struktural yang menjadi hambatan serius. Infrastruktur seperti Jalan Tol Trans-Sumatra (JTTS) memegang peran vital sebagai katalisator untuk mengatasi masalah ini.

Demikian disampaikan oleh Ir. Ikaputra, M.Eng., P.hD, selaku Kepala Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM dalam acara HK ExperTalk Webinar Series, yang merupakan hasil kolaborasi strategis antara Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM dengan PT Hutama Karya. Acara tersebut merupakan bagian dari rangkaian perayaan Hari Ulang Tahun Pustral UGM yang ke-24. Webinar mengangkat tema “Transformasi Infrastruktur Penunjang Hilirisasi dan Industrialisasi: Strategi Inovatif Menuju Kemandirian Ekonomi Nasional”. Webinar diselenggarakan Rabu, 23 Juli 2025, pukul 08.45 – 12.15 WIB menghadirkan para narasumber, Bapak M. Firdausi M Asisten Deputi Infrastruktur Ekonomi dan Industri pada Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur Dasar dari Kemenko Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan; Bapak Dindin Solakhuddin, Direktur Utama PT Hutama Marga Waskita; serta Dr. Ir. Olly Norojono selaku Tenaga Ahli Pustral UGM.

Bapak Firdausi menyampaikan sub tema Infrastruktur Konektivitas Penunjang Hilirisasi dan Industrialisas. Pembangunan Nasional Fokus pada Pertumbuhan Ekonomi, Penurunan Kemiskinan, dan Peningkatan Kualitas SDM untuk Indonesia Emas 2045. Salah satu prioritas dari Asta Cita sebagai adalah melanjutkan hilirisasi dan industrialisasi untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. Sasaran yang akan dicapai adalah terwujudnya Peningkatan Nilai Tambah, Produktivitas dan Daya Saing Industri Pengolahan dengan arah kebijakan percepatan hilirisasi industri pengolahan SDA unggulan dan aglomerasi industri. Sasaran kedua yang akan dicapai adalah Terwujudnya Peningkatan Integrasi Ekonomi Domestik dan Global dengan arah kebijakan perkuatan infrastruktur konektivitas nasional, peningkatan investasi untuk integrasi ekonomi domestik dan global, serta peningkatan perdagangan domestik, antar-wilayah, dan ekspor.

Untuk mendukung hal tersebut, infrastruktur harus menghubungkan kawasan produktif dan komoditas hilirisasi prioritas serta memberi akses ke pasar. Perencanaan matang yang berbasis pusat kegiatan diperlukan untuk memastikan setiap investasi infrastruktur mendukung pertumbuhan ekonomi. Peningkatan nilai tambah dapat dicapai melalui percepatan hilirisasi komoditas dengan nilai tambah tinggi serta aglomerasi industri di kawasan. Terdapat 8 komoditas prioritas berdasarkan RPJMN 2025-2029 yaitu Tembaga, Nikel, Bauksit, Timah, Kelapa Sawit, Kelapa, Rumput Laut, dan Sagu. Aglomerasi industri tersebar pada 23 titik Kawasan Industri atau Kawasan Ekonomi Khusus. Lebih jauh, aksesibilitas terhadap simpul nasional merupakan variabel penting untuk mendorong pertumbuhan aktivitas ekonomi. Untuk mendukung aktivitas ekonomi, jalan yang dibangun harus meningkatkan akses dan konektivitas. Tingkat aksesibilitas jalan nasional pada tahun 2023 menurut Kementerian Pekerjaan Umum adalah sebesar 84,1%.

Pembicara selanjutnya, Bapak Dindin Solakhuddin menyampaikan sub tema Peran Infrastruktur Strategis Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) dalam Hilirisasi & Industrialisasi di Pulau Sumatera. PT Hutama Karya diberikan mandat untuk membangun JTTS untuk pembenahan konektivitas di Sumatera dengan jumlah ruas 25 sepanjang 2.848 km. Berbagai data menunjukkan JTTS menjadi enabler industrialisasi dan hilirisasi komoditas. JTTS menjadi tulang punggung konektivitas lintas zona ekonomi serta mempercepat distribusi komoditas unggulan dengan mengubungkan kawasan produksi dengan Pelabuhan dan KI/KEK. Menghubungkan kawasan produksi dengan Pelabuhan dan KI/KEK, menurunkan biaya logistik komoditas utama sebesar 15–30% (Bappenas, 2022), memangkas waktu pengiriman barang hingga 50% lebih cepat (BPJT, 2023), dan mendorong peningkatan volume ekspor melalui pelabuhan strategis sebesar +30% dalam lima tahun (Bappenas, 2022).

JTTS bukan hanya membuka konektivitas, tetapi menjadi katalis pertumbuhan ekonomi baru di Sumatera. Dengan akselerasi pengembangan kawasan industri strategis seperti Kuala Tanjung, Tanjung Api-Api, Bengkalis, Tenayan, Jambi Kuningking, dan Way Pisang, manfaat ekonomi yang dihasilkan jauh melampaui investasi fisik tol itu sendiri. JTTS mempercepat akses wisata ke bandara utama, mendongkrak jumlah kunjungan turis hingga 30% dan menambah nilai ekonomi pariwisata Sumatera lebih dari Rp15 triliun per tahun (BPS, Kemenparekraf, BPJT 2023). Dengan JTTS terintegrasi ke Bandara Kualanamu (gerbang utama internasional), menstimulasi pertumbuhan wisatawan asing Sumut +183% dan mendongkrak kunjungan domestik (BPS, 2024).

Multiplier effect kehadiran JTTS sudah terasa dengan tumbuhnya kawasan industri strategis, turunnya biaya logistik, terdukungnya peningkatan kegiatan ekspor & pariwisata. Tantangan utama ke depan diantaranya menjaga keberlanjutan tanpa ketergantungan dana pemerintah, menyinkronkan kebijakan lintas sector pemerintah pusat & daerah, menentukan prioritas koridor, menguatkan ekosistem pembiayaan kreatif dan partisipasi swasta, serta meningkatkan iklim investasi dari kemudahan regulasi, stabilitas sosial dan keamanan. Beberapa key success ke depan yang perlu diperhatikan diantaranya adalah kepemimpinan yang visioner & kolaboratif di semua level stakeholder (pemerintah, bisnis, komunitas, akademisi); inovasi (PPP, blended finance, asset recycling, integrasi kawasan-industri-pelabuhan), serta menjaga iklim investasi yang baik.

Sebagai pembicara terakhir, Olly Norojono memaparkan materi mengenai Toward efficient, inclusive, and sustainable infrastructure development. Olly menyampaikan beberapa arahan pejabat dalam pemerintahan Presiden Prabowo terkait pengembangan infrastruktur. Menko Infrastruktur Agus Harimurti Yudhoyono menyampaikan dalam International Conference on Infrastructure 2025 mengenai pentingnya infrastruktur sebagai pondasi utama untuk pertumbuhan yang inklusif, berkelanjutan, dan tahan terhadap krisis. Beliau juga menekankan pentingnya mendukung agenda pembangunan nasional yang telah ditetapkan Presiden Prabowo Subianto. Agenda tersebut mencakup ketahanan pangan, air, dan energi—semuanya bertumpu pada pembangunan infrastruktur yang terintegrasi, adil, dan berkelanjutan.

Di lain kesempatan, Menteri Keuangan mengatakan “Saat ini, infrastruktur bukan lagi sekadar menghubungkan jalan, pelabuhan, dan kota, melainkan juga tentang menghubungkan pembangunan dengan dampaknya. Infrastruktur harus dirancang dengan ketahanan iklim, tanggung jawab lingkungan, sekaligus memberikan hasil yang inklusif”. Sementara Menteri Pekerjaan Umum Dody Hanggodo menekankan pembangunan infrastruktur di Indonesia ke depan harus berlandaskan enam prinsip yaitu ketahanan, konektivitas, keberlanjutan, inklusivitas, inovasi, dan tata kelola yang baik. Hal itu penting dalam rangka menghadapi tantangan pertumbuhan urbanisasi yang pesat dan risiko perubahan iklim global.

Terdapat beberapa jargon pembangunan infrastruktur yang selalu diungkapkan, diantaranya: komprehensif, terintegrasi, konektivitas, berorientasi pada dampak dan hasil, efektif, efisien, berkelanjutan, tata kelola yang baik, inklusif, sensitif gender, tangguh, rendah karbon, investasi hijau, transisi yang adil, dan inovasi. Beberapa aspek penting yang harus diperhatikan untuk menjawab berbagai isu adalah transformasi, kerangka perencanaan yang solid, kolaborasi lintas sektor, dan sistem pemantauan yang kuat. Rekomendasi yang disampaikan Olly diantaranya adalah mengubah proses bisnis, memperkenalkan kerangka kerja desain dan pemantauan atau kerangka kerja logis selama tahap perencanaan proyek, membangun sistem evaluasi kinerja proyek yang kuat, menyiapkan laporan penyelesaian proyek (setidaknya) untuk proyek strategis atau besar, serta memperkenalkan mekanisme pengungkapan publik.

Dengan pengalaman bertahun-tahun di Asian Development Bank (ADB), Olly menyampaikan beberapa contoh project sebagai pembelajaran pengembangan infrastruktur, baik yang sukses maupun kurang. Beberapa contoh diantaranya adalah perencanaan konprehensif dan terintegrasi untuk jalan pegunungan di Papua New Guinea (PNG), serta pengembangan bandara yang terindikasi kurang efektif di Kertajati (Majalengka), Jenderal Besar Soedirman (Purbalingga), Ngloram (Cepu, Blora), Wiriadinata (Tasikmalaya), serta Trunojoyo (Sumenep). Contoh lain adalah pendanaan yang kurang efisien dan berkelanjutan untuk Metropolitan Sanitation Management and Health Project di Medan dan Yogyakarta, serta pembiayaan untuk keberlanjutan lingkungan di Samoa untuk Alaoa Multipurpose Dam Project; juga Green Investment E-Mobility Program yang didanai pula oleh Green Climate Fund.

Webinar dihadiri oleh lebih dari 1.600 peserta dari berbagai kalangan. Sesi diskusi dipandu oleh M. R. Narotama, S.T., M.Sc., Ph.D., selaku Tenaga Ahli Pustral UGM dan dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM. Tiga penanya terpilih mendapatkan door prize berupa voucher dan buku karya Pustral UGM, sedangkan tujuh penanya lainnya mendapatkan voucher. (DAK)