
Oleh: Dwi Ardianta Kurniawan, S.T, M.Sc
Beberapa bulan terakhir jalanan kota Yogya dan sekitarnya diramaikan dengan keberadaan ‘angkutan umum’ baru, yaitu berupa kendaraan beroda tiga yang sekilas mirip bajaj di Jakarta. Kendaraan itu menamakan dirinya ‘Maxride’, yang digadang-gadang oleh pengelolanya sebagai ‘moda transportasi umum non-subsidi, khususnya sebagai transportasi pengumpan (feeder) berbasis aplikasi’.
Angkutan ini juga mengklaim sebagai angkutan yang inovatif dan berkelanjutan, karena selain berbasis aplikasi juga menggunakan energi listrik sehingga tidak menimbulkan polusi udara maupun suara sebagaimana bajaj konvensional. Sahihkah pernyataan tersebut? Artikel ini akan mencoba membedah bagaimana sebenarnya posisi Maxride dalam transportasi umum dan bagaimana seharusnya kita menyikapinya. Telaah setidaknya akan mencakup 3 aspek, yaitu aspek legal perizinan, aspek transportasi, dan aspek lingkungan.
Dari sisi legal, keberadaan angkutan umum berbasis kendaraan roda 2 dan 3 secara implisit diakomodasi dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 tahun 2019 tentang Pelindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Dipergunakan untuk Kepentingan Masyarakat. Peraturan tersebut memang tidak menyebutkan penggunaan sepeda motor sebagai angkutan umum, namun penggunaan sepeda motor untuk kepentingan masyarakat dengan dukungan aplikasi.
Dalam peraturan tersebut diatur mengenai jenis sepeda motor yang dipergunakan adalah roda 2 baik dengan rumah-rumah maupun tidak, roda 2 dengan kereta samping atau tidak, dan roda 3 tanpa rumah-rumah. Peraturan tersebut justru tidak mengatur mengenai sepeda motor roda 3 yang menggunakan rumah-rumah, sebagaimana dimiliki oleh Maxride.
Peraturan Menteri Perhubungan nomor PM 117 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Tidak dalam Trayek mengatur kendaraan roda 3 sebagai Pelayanan Angkutan Orang di Kawasan Tertentu yang berarti terdapat batasan wilayah yang dapat dilayani oleh moda transportasi tersebut. Hal ini secara implisit menunjukkan adanya kebutuhan pengaturan lebih lanjut mengenai keberadaan kendaraan roda 3 dengan rumah-rumah yang menggunakan aplikasi.
Permasalahan kedua dari sisi legal terletak belum turunnya perizinan operasi bagi Maxride sebagaimana disampaikan pejabat yang berwenang di Dinas Perhubungan Provinsi. Hal ini tentu perlu ditindaklanjuti oleh operator agar keberadaan moda angkutan tersebut memiliki dasar operasi yang kuat.
Keberadaan sepeda motor untuk dipergunakan sebagai ‘angkutan umum’ sesungguhnya mencerminkan kompromi yang didasarkan oleh pertimbangan-pertimbangan praktis. Memang tidak dapat dimungkiri, keberadaan transportasi online termasuk Maxride sangat dibutuhkan oleh masyarakat, khususnya ketika transportasi umum tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat akan transportasi yang terjangkau, cepat dan nyaman.
Secara ideal, keberadaan transportasi berbasis aplikasi, termasuk Maxride, dapat bersinergi dengan angkutan umum melalui fasilitasi pada first mile (perjalanan rumah ke halte) dan last mile (perjalanan halte ke tujuan akhir). Sinergi semacam itu memang belum terlihat secara massif di Yogya dengan sebagian besar penggunaan transportasi online diindikasikan untuk perjalanan end to end. Keberadaan transportasi online sebagai support angkutan umum sudah mulai terlihat misalnya di Jakarta dengan diakomodasinya moda tersebut dalam sistem transportasi terintegrasi melalui aplikasi Jaklingko. Harapannya, sistem tersebut dapat dikembangkan dan direplikasi di berbagai wilayah di Indonesia.
Keberadaan Maxride sesungguhnya juga memiliki nilai plus dari sisi lingkungan, yaitu dengan dipergunakannya energi berbasis listrik. Sumber bahan bakar ini secara signifikan dapat menurunkan emisi gas rumah kaca, khususnya jenis CO2. Kegiatan transportasi memang memberikan sumbangan cukup besar pada emisi gas rumah kaca sebesar 28% dari total emisi menurut berbagai sumber. Dari besaran tersebut, transportasi darat menyumbang emisi sebesar 90%, sehingga penurunan emisi pada sektor transportasi darat akan memberikan sumbangan penurunan emisi yang signifikan.
Berbagai plus dan minus dari keberadaan Maxride tersebut tentu perlu menjadi pertimbangan dalam menyikapi keberadaan moda angkutan ‘baru’ tersebut di jalanan Yogyakarta.
Foto: Freepik
Artikel ini telah dimuat dalam Opini Kedaulatan Rakyat, edisi Kamis, 21 Agustus 2025