Arsip:

article

Kumpulan Artikel Pemenang Critical Review Seri Buku Kapita Selekta Pelabuhan Kategori Umum dan Profesional

JUARA I: Critical Review Modernisasi Pelabuhan dalam Konteks Dekarbonisasi 

dan Ekonomi Sirkular

Oleh: Arrida Hamzah

 Tulisan ini berfokus pada analisis terhadap edisi buku “Perspektif Kebijakan Pengembangan Pelabuhan di Indonesia”. Catatan terhadap buku ini di antaranya mengenai upaya keberlanjutan, ESG compliance, dan green financing. Catatan terkait hal ini setidaknya dibahas dalam salah satu chapter buku ini, yakni chapter 7 (dekarbonisasi dan ekonomi sirkular). Chapter ini mengupas dua isu sentral: dekarbonisasi, yaitu upaya pengurangan jejak karbon melalui teknologi dan pemanfaatan energi terbarukan atau ekonomi sirkular yang berfokus pada pengelolaan limbah dan optimalisasi penggunaan kembali sumber daya.

Dalam bab ini, penulis menunjukkan bahwa inovasi teknis harus bersamaan dengan perubahan paradigma pengelolaan. Hal ini setidaknya ditunjukkan pada tiga poin utama, yakni: pertama, pendekatan sirkular, di mana dipaparkan sebagai peluang bagi operator pelabuhan untuk meminimalkan limbah sehingga berdampak positif pada efisiensi biaya, misalnya dengan memanfaatkan kembali scrap metal atau sisa bahan bakar kapal. Terdapat pula solusi teknis seperti cold ironing, yakni penyediaan listrik darat untuk kapal guna mengurangi emisi. Kedua, pentingnya skema pembiayaan hijau, penulis menekankan  peran instrumen pembiayaan seperti green bonds dan skema KPBU sebagai mekanisme pendanaan strategis untuk mendukung investasi teknologi rendah karbon. Hal ini semakin relevan mengingat perkembangan Green Sukuk Indonesia yang telah berhasil mengumpulkan dana signifikan (OJK, 2023). Ketiga, kesesuaian dengan kebijakan, di mana policy framework yang diusulkan relevan dengan target nasional Indonesia untuk menurunkan emisi sebesar 29% pada tahun 2030 (NDC Indonesia, 2022).

Bab ini juga memiliki beberapa kekurangan yang perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut: pertama, chapter ini kurang menyertakan analisis biaya-manfaat (cost- benefit analysis) yang mendalam. Hal ini menyulitkan investor dan pembuat kebijakan untuk menilai kelayakan serta dampak ekonomis dari penerapan teknologi tersebut. Kedua, beberapa tantangan utama belum diuraikan secara mendalam. Chapter ini menyoroti skema KPBU dan green bonds sebagai instrumen pendanaan, namun peluang dan tantangannya belum dianalisis secara komprehensif. Semisal Green Sukuk Indonesia telah mengumpulkan USD 6,9 miliar selama 2018-2023, namun hanya 15% dialokasikan untuk sektor transportasi (OJK, 2023). Terdapat pula regulasi yang tumpang tindih, seperti Perpres No. 109/2023 tentang proyek strategis nasional yang belum mengikat target dekarbonisasi pelabuhan secara spesifik. Ketiga, chapter ini juga belum menyediakan peta jalan komprehensif untuk mewujudkan kolaborasi lintas sektor yang diperlukan untuk mengoptimalkan potensi pengelolaan limbah dan penggunaan kembali sumber daya secara efektif.

Literatur yang membahas terkait kepelabuhanan dari aspek kebijakan masih begitu minim. Jika dibandingkan dengan beberapa literatur internasional, seperti buku Port Economics, Management, and Policy atau artikel di Maritime Policy & Management dan Port of Rotterdam, chapter ini kurang menyertakan studi kasus empiris yang komprehensif. Misalnya, pelabuhan-pelabuhan di Rotterdam dan Singapura telah menunjukkan implementasi nyata konsep green port dan ekonomi sirkular melalui fasilitas pengolahan limbah dan integrasi digital.

Buku ini membuka wacana dekarbonisasi pelabuhan yang masih minim di Indonesia serta memberikan kontribusi signifikan dalam menyusun visi pelabuhan berkelanjutan melalui dekarbonisasi dan ekonomi sirkular. Namun, untuk menjadikan usulan ini lebih aplikatif, diperlukan penambahan studi kasus lokal, cost-benefit analysis yang mendalam, dan peta jalan kolaboratif lintas sektor. Upaya ini diperlukan untuk mewujudkan pelabuhan Indonesia dengan visi berkelanjutan yang sejati.

 

Referensi

 International Maritime Organization. (2021). Maritime environment: Greenhouse gas emissions from ships. International Maritime Organization

Kementerian Perhubungan Republik Indonesia. (2023). Laporan Dekarbonisasi Sektor Transportasi. Jakarta: Kemenhub.

NDC Indonesia. (2022). Nationally Determined Contributions to the Paris Agreement. Jakarta: Government of Indonesia. Otoritas Jasa Keuangan. (2023). Statistik Green Sukuk Indonesia. Jakarta: OJK.

Port of Rotterdam. (2023). Sustainability in Port Operations: Cold Ironing and Emissions Reduction. Rotterdam: Port of Rotterdam Authority.

 

JUARA II: CRITICAL REVIEW Buku Perspektif Kebijakan Pengembangan Pelabuhan di Indonesia Penulis : Raja O.S Gurning, dkk. Penerbit : Buku Kompas Tahun Terbit 2024;Jumlah Halaman : xxxiii + 264 halaman ISBN : 978-623-523-368-0

Oleh: Donnie Trisfian

 

Bagaimana masa depan pelabuhan Indonesia di era digital dan keberlanjutan? Buku Perspektif Kebijakan Pengembangan Pelabuhan di Indonesia bagian dari seri Kapita Selekta Pengembangan Pelabuhan di Indonesia mengupas tuntas strategi dan kebijakan yang dibutuhkan untuk menjawab tantangan tersebut. Buku ini membahas berbagai aspek strategis, termasuk rantai pasok global, kinerja pelabuhan, dampak ekonomi regional, tata kelola, serta kebijakan pendanaan yang selaras dengan RPJPN dan RPJMN. Dua isu utama yang diangkat adalah transformasi digital dan keberlanjutan, termasuk smart port, big data, blockchain, dan green logistics. Buku ini juga menyoroti strategi pembiayaan seperti skema KPBU untuk percepatan pembangunan infrastruktur maritim.

Buku ini memiliki cakupan luas dan relevan dengan tantangan global serta nasional. Pembahasannya mencakup ketahanan rantai pasok, deregulasi investasi, dan daya saing pelabuhan Indonesia dalam persaingan internasional. Kajian berbasis data dan studi kasus memperkuat analisis kebijakan, termasuk indeks kinerja pelabuhan yang mengacu pada standar global. Analisis peran pelabuhan pengumpan dalam pertumbuhan ekonomi daerah juga menjadi nilai tambah, karena menunjukkan bagaimana infrastruktur maritim dapat mendorong pembangunan yang lebih merata.

Namun, buku ini memiliki beberapa kekurangan. Pembahasan mengenai implementasi teknologi baru, seperti digitalisasi, smart port, dan blockchain, kurang mendalam, terutama dalam hal tantangan serta solusi penerapannya di Indonesia. Evaluasi terhadap efektivitas kebijakan yang telah berjalan juga belum tergambar jelas, sehingga dampak nyata dari regulasi sebelumnya sulit diukur. Perspektif pemangku kepentingan lokal, seperti operator pelabuhan dan pengguna jasa, masih minim karena pendekatannya lebih bersifat makro. Isu keamanan siber dalam digitalisasi pelabuhan hanya disinggung secara terbatas. Selain itu, beberapa gambar dan tabel kurang jelas, mengurangi efektivitas penyampaian data dan informasi.

Buku ini memiliki cakupan nasional yang lebih spesifik dibandingkan dengan buku Port Economics, Management and Policy yang membahas pengelolaan pelabuhan dari perspektif global. Buku tersebut menggunakan pendekatan multidisipliner dengan membahas ekonomi, geografi, manajemen, dan teknik pelabuhan secara luas. Sementara itu, buku Pengembangan Pelabuhan Berkelanjutan: Investasi Swasta dan Peningkatan Daya Saing lebih fokus pada investasi dan keterlibatan sektor swasta dalam pengelolaan pelabuhan di Indonesia, dengan penekanan pada model kerja sama pemerintah-swasta (PPP/KPBU). Dibandingkan dengan kedua buku ini, Perspektif Kebijakan Pengembangan Pelabuhan di Indonesia lebih menitikberatkan pada strategi kebijakan nasional dalam konteks modernisasi dan keberlanjutan.

Buku ini memberikan wawasan komprehensif mengenai pengembangan pelabuhan dalam konteks kebijakan nasional. Pembahasannya yang luas dan berbasis data menjadikannya sumber rujukan penting bagi akademisi dan praktisi di bidang maritim. Namun, agar lebih aplikatif bagi berbagai kalangan, buku ini dapat diperkaya dengan memperdalam mengenai implementasi teknologi baru dan evaluasi kebijakan yang telah berjalan. Selain itu, penambahan kajian mengenai pelabuhan kecil dan daerah terpencil akan meningkatkan relevansi buku ini dalam konteks pembangunan maritim yang inklusif. Dengan demikian, buku ini dapat menjadi referensi yang lebih lengkap dan relevan bagi pengembangan pelabuhan di Indonesia.

 

Referensi:

 

Notteboom, T. dkk (2022). Port Economics, Management and Policy. London: Routledge. https://doi.org/10.4324/9780429318184

Hariyadi, dkk. (2020). Pengembangan Pelabuhan Berkelanjutan: Investasi Swasta dan Peningkatan Daya Saing. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

 

JUARA III: Critical review terhadap bab buku “Telaah Sistem dan Tata Kelola Kepelabuhan di Indonesia Serta Peran Pemangku Kepentingan Dalam Pengelolaan Pelabuhan Komersial” yang ditulis oleh Wihana Kirana Jaya & Hengki Purwoto

Oleh: Chairul Fajar

Pendahuluan

 Melalui Bab buku ini, penulis berupaya mengurai sistem dan tata kelola kepelabuhanan di Indonesia dengan menyoroti keragaman karakteristik pelabuhan di Indonesia, dari pelabuhan besar dengan fasilitas lengkap hingga pelabuhan kecil dengan keterbatasan sumber daya. Penulis juga berupaya melakukan analisis terkait peran pemangku kepentingan dalam pengelolaan pelabuhan di Indonesia.

Secara keseluruhan, tulisan ini adalah upaya penulis untuk memberikan pembaca gambaran terkait bagaimana tata kelola pelabuhan di Indonesia saat ini serta bagaimana pengelolaannya berlangsung. Penulis juga memberikan rekomendasi untuk mencapai pengelolaan yang optimal. Dengan membaca bab ini, kita sebagai pembaca akan memiliki gambaran tentang bagaimana seharusnya sebuah pelabuhan dikelola dan bagaimana seharusnya pemangku kepentingan berperan dalam pengelolaannya.

Kelebihan dan Kekurangan

 Kelebihan utama bab ini menurut saya adalah kemampuan penulis menyajikan informasi yang kompleks dengan bahasa yang relatif mudah dipahami. Saya sebagai awam yang tidak bersinggungan langsung dengan topik kepelabuhan merasa dapat memahami teks dengan mudah. Selain itu, penulis juga berhasil mengaitkan konsep-konsep teoritis seperti New Institutional Economics dengan kondisi riil kepelabuhanan di Indonesia.

Namun, bab ini menurut saya juga memiliki beberapa kekurangan. Meskipun penulis menyebutkan tantangan-tantangan yang dihadapi dalam pengembangan pelabuhan, pembahasan mengenai solusi atau rekomendasi yang lebih konkret masih terbatas. Misalnya, tantangan terkait ketimpangan aksesibilitas dan efisiensi logistik antar wilayah kurang dieksplorasi lebih jauh. Selain itu, meskipun konsep ekosistem pelabuhan diperkenalkan, interaksi antar aktor dalam ekosistem tersebut dapat diuraikan lebih detail untuk memberikan gambaran yang lebih komprehensif. Terkait paparan pengelolaan pelabuhan oleh pemangku kepentingan yang tumpang tindih, menurut saya pemaparannya terlalu singkat dan kurang menggambarkan kondisi dengan begitu jelas.

Komparasi dengan Artikel Sejenis

Jika dibandingkan dengan jurnal transportasi laut oleh Sujarwanto. S yang berjudul “Peningkatan Sistim Manajemen Kepelabuhan di Indonesia”, bab buku ini memberikan konteks yang lebih luas dan pemahaman konseptual, sementara jurnal memberikan analisis yang lebih mendalam dan rekomendasi kebijakan yang lebih spesifik. Jurnal tersebut cenderung menyajikan analisis masalah dan solusi yang lebih mendalam, didukung oleh metodologi penelitian yang lebih terstruktur, sementara bab buku memberikan tinjauan yang lebih luas namun dengan kedalaman analisis yang mungkin tidak sedalam jurnal. Terakhir, bab buku ini sepertinya bertujuan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif kepada pembaca umum, sementara jurnal tersebut bertujuan untuk memberikan kontribusi akademik dan rekomendasi kebijakan yang lebih spesifik.

Kesimpulan dan Saran

 Secara keseluruhan, bab ini telah memberikan kontribusi dalam memahami sistem dan tata kelola kepelabuhanan di Indonesia. Penulis berhasil menyajikan gambaran yang komprehensif tentang tantangan dan peluang dalam pengembangan pelabuhan. Bab ini sangat bermanfaat bagi para pemangku kepentingan di sektor kepelabuhanan, akademisi, dan masyarakat umum yang tertarik dengan isu logistik dan transportasi. Sebagai masukan, penulis dapat menambahkan pembahasan yang lebih mendalam mengenai solusi konkret untuk mengatasi tantangan-tantangan yang dihadapi. Misalnya, pembahasan mengenai pemanfaatan teknologi digital dalam meningkatkan efisiensi pelabuhan atau strategi untuk meningkatkan konektivitas antar pelabuhan di wilayah yang berbeda. Dengan demikian, bab ini akan menjadi sumber informasi yang lebih lengkap dan relevan dalam pengembangan kepelabuhanan di Indonesia.

Referensi

 Sujarwanto, S. 2020. Peningkatan Sistim Manajemen Kepelabuhan di Indonesia. Jurnal Penelitian Transportasi Laut,. Jakarta. Puslitbang Transportasi Laut, Sungai, Danau dan Penyeberangan Badan Litbang Perhubungan. Diakses dari https://www.researchgate.net/publication/339910599_Peningkatan_Sistim_Manajemen_Kepe labuhanan_di_Indonesia/fulltext/5e6b8027a6fdccf321d993b1/Peningkatan-Sistim-Manajeme n-Kepelabuhanan-di-Indonesia.pdf

Jaya, W. H. & Purwoto, H. 2024. “Telaah Sistem dan Tata Kelola Kepelabuhan di Indonesia Serta Peran Pemangku Kepentingan Dalam Pengelolaan Pelabuhan Komersial”, dalam S., Gurning R. O. S., & Parikesit, D. (Eds.). Seri Buku Kapita Selekta Pengembangan Pelabuhan di Indonesia: Perspektif Kebijakan Pengembangan Pelabuhan di Indonesia (hlm. 67-103). Jakarta: PEnerbit Buku Kompas.

Critical Review ini dibuat oleh Donnie Trisfian untuk diikutkan sebagai entri dalam lomba Critical Review Buku Seri Kapita Selekta Pengembangan Pelabuhan di Indonesia  yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM dan PT Pelabuhan Indonesia (Persero).

Kumpulan Artikel Pemenang Critical Review Seri Buku Kapita Selekta Pelabuhan Kategori Pelajar dan Mahasiswa

JUARA I: Critical Review: Transformasi Korporasi dan Ekosistem Bisnis Pengelolaan Pelabuhan di
Indonesia

Oleh: Chaerunnisa

Universitas Negeri Yogyakarta

 

Bab dalam buku Pengelolaan Pelabuhan Berkelanjutan yang disunting oleh Prof. Sari Wahyuni menghadirkan analisis mendalam mengenai transformasi korporasi dan pembentukan ekosistem bisnis dalam konteks pengelolaan pelabuhan di Indonesia. Bab ini menyajikan sebuah kerangka teoretis yang mengintegrasikan konsep ambidexterity, yaitu kemampuan organisasi untuk secara simultan mengoptimalkan efisiensi operasional dan mengeksplorasi inovasi transformatif guna merespons dinamika global dan tantangan digitalisasi. Penekanan pada penerapan teknologi digital—seperti smart port, kecerdasan buatan (AI), dan keamanan siber—serta pentingnya kemitraan strategis antara pemerintah, operator, dan penyedia teknologi menjadi inti pemikiran.

Secara konseptual, bab ini memiliki sejumlah kelebihan yang patut diapresiasi. Pertama, integrasi konsep ambidexterity memberikan landasan yang kokoh untuk memahami bagaimana pelabuhan dapat mengelola dualisme antara inovasi efisiensi dan inovasi transformatif. Pendekatan ini sejalan dengan temuan Zhechen, Zhang et al. (2024) yang menggarisbawahi peran digitalisasi dalam meningkatkan daya saing pelabuhan di era global. Selain itu, penekanan pada kolaborasi lintas sektor—melalui kemitraan strategis—menunjukkan kesadaran penulis terhadap pentingnya sinergi antara berbagai pemangku kepentingan untuk mengatasi hambatan seperti birokrasi dan disparitas infrastruktur (Kearney, Harrington, & Kelliher, 2018). Namun demikian, terdapat beberapa keterbatasan yang mendasar. Meskipun kerangka teoretis yang dikemukakan cukup komprehensif, bab ini kurang dilengkapi dengan data empiris yang konkret dan studi kasus yang mendukung. Ketidakcukupan data kuantitatif dan analisis lapangan mengaburkan sejauh mana strategi transformasi yang diusulkan telah atau dapat diimplementasikan secara efektif. Data yang diungkap oleh Maritime Shipping Challenge (2024) menunjukkan bahwa pelabuhan-pelabuhan di Indonesia masih menghadapi kendala serius, seperti keterbatasan infrastruktur,kekurangan sumber daya manusia yang terlatih, serta hambatan regulasi yang signifikan. Kecenderungan idealisme dalam menyajikan transformasi digital—di mana kesiapan teknologi dan adaptasi budaya organisasi diasumsikan tanpa uji coba lapangan yang memadai—menjadi titik lemah tersendiri dalam argumen yang disampaikan. Dengan demikian, meskipun pendekatan konseptual menawarkan potensi inovasi, kurangnya validasi empiris membuat penerapannya di lapangan masih diragukan.

Jika dibandingkan dengan literatur lain, misalnya literatur oleh Henríquez, Martínez de Osés, & Martínez Marín (2022) yang mengupas secara mendalam mengenai pengaruh teknologi terhadap inovasi model bisnis pelabuhan, bab ini menawarkan pendekatan yang lebih holistik dengan menekankan aspek strategis dan kolaboratif. Sementara buku lain cenderung mengedepankan data empiris dan studi kasus untuk memperkuat argumen, bab ini lebih banyak mengandalkan kerangka teoretis yang bersifat idealis. Dengan demikian, meskipun keunggulan konseptualnya cukup inovatif, integrasi data lapangan yang lebih menyeluruh akan meningkatkan kredibilitas dan aplikabilitas strategi yang diusulkan.

Bab mengenai transformasi korporasi dan ekosistem bisnis ini memberikan kontribusi penting dalam menggagas paradigma baru pengelolaan pelabuhan yang adaptif di era digital. Kerangka ambidexterity dan penekanan pada kemitraan strategis merupakan nilai tambah yang signifikan. Namun, untuk meningkatkan relevansi praktis dan validitas argumen, disarankan agar penulis menambahkan data empiris serta studi kasus lokal yang mendalam. kasus  lokal  yang  mendalam. Upaya  pengukuran  kinerja  dan  evaluasi  dampak implementasi strategi digital di lapangan akan memperkaya analisis dan memberikan gambaran yang lebih realistis terhadap tantangan serta peluang di sektor pelabuhan Indonesia. Integrasi antara teori dan praktik seperti ini tidak hanya akan memperkuat kontribusi akademis, tetapi juga memberikan pedoman yang aplikatif bagi para pemangku kepentingan dalam menghadapi dinamika global dan regional.

Referensi

 Henríquez, Martínez de Osés, & Martínez Marín (2022). Technological Drivers of Seaports’ Business Model Innovation.

Kearney, Harrington, & Kelliher (2018). Executive Capability for Innovation: The Irish Seaports Sector.

Maritime Shipping Challenge (2024). Data Tantangan Operasional Pelabuhan Global.

Zhechen, Zhang et al. (2024). Digitalization and Innovation in Green Ports: A Review of Current Issues.

 

 

CRITICAL REVIEW BOOK BAGIAN

PENGELOLAAN PELABUHAN BERKELANJUTAN

BAB 4 Tata Kelola Risiko dan Kepatuhan dalam Pengelolaan SDM di Industri Kepelabuhanan: Strategi Pembelajaran dan Pengembangan Berkelanjutan serta Manajemen Talenta

Oleh :

Trisnowati Rahayu, Politeknik Pelayaran Surabaya

Wisnu Handoko, Sekretariat Badan Pengembangan SDM Perhubungan Kementrian Perhubungan Faris Novandi, Politeknik Pelayaran Surabaya

 

Penulis Critical Review Book Bagian :

Zellinia Ristanti

Magister Geografi Universitas Gadjah Mada zelliniaristanti@gmail.com / 085832772042

 

Buku ini mengangkat topik penting dalam industri kepelabuhanan, yaitu pengelolaan sumber daya manusia (SDM) yang efektif melalui penerapan tata kelola risiko, kepatuhan, dan pengembangan berkelanjutan. Fokus utama buku ini adalah penggunaan model pembelajaran 70-20-10 yang menggabungkan pengalaman kerja, interaksi sosial, dan pendidikan formal dalam pengembangan SDM. Konteks industri kepelabuhanan yang terus berkembang membuat topik ini sangat relevan karena berkaitan langsung dengan efisiensi operasional pelabuhan.

Salah satu kelebihan buku ini adalah pendekatan komprehensif yang menghubungkan teori manajemen talenta dengan praktik pengembangan SDM di pelabuhan. Penulis mengaplikasikan model pembelajaran 70-20-10 dalam konteks industri kepelabuhanan, memberikan gambaran praktis tentang bagaimana pengembangan berkelanjutan dapat dijalankan. Selain itu, buku ini menggunakan contoh konkret dari Terminal Teluk Lamong, yang memperkaya pembahasan dan memberikan insight aplikatif. Namun, meskipun teori yang disajikan cukup jelas, buku ini kurang membahas tantangan praktis dalam mengimplementasikan strategi-strategi tersebut di lapangan. Akan lebih baik jika lebih banyak contoh konkret tentang hambatan yang dihadapi dalam penerapan model ini, terutama dalam sektor yang sangat teknis dan kompleks seperti kepelabuhanan bagi pembaca. Buku ini juga kurang membahas kondisi spesifik yang dihadapi industri kepelabuhanan yang sangat bergantung pada regulasi.

Jika dibandingkan dengan buku “The Talent Management Handbook” karya Lyle M. Spencer, buku ini lebih terfokus pada pengelolaan SDM di sektor kepelabuhanan, sementara buku Spencer menawarkan wawasan yang lebih luas mengenai manajemen talenta di berbagai jenis organisasi. Buku Spencer lebih umum, memberikan gambaran tentang teori manajemen talenta yang dapat diterapkan di banyak industri. Sementara itu, buku ini lebih praktis dan relevan bagi industri pelabuhan yang menghadapi tantangan operasional yang spesifik (Spencer et al., 2008). Berkaitan dengan SDM, jika dibandingkan dengan buku Manajemen Sumber Daya Manusia Era Digital oleh Dr. Didit Darmawan dan kolega membahas transformasi manajemen SDM dalam menghadapi tantangan era digital yang semakin berkembang yang mencakup berbagai aspek yang relevan dalam pengelolaan SDM, dari pemanfaatan teknologi dalam rekrutmen hingga pengembangan kompetensi yang berbasis digital dan juga relevan di tengah perubahan cepat dunia kerja yang mengharuskan adaptasi terhadap teknologi baru (Darmawan et al., 2023).

Selain itu, jika dibandingkan dengan “Talent Management: A Focus on Organizational and Individual Development” karya Perkins dan White, buku ini lebih terfokus pada pengembangan SDM dalam konteks operasional yang cepat berubah. Buku Perkins dan White menawarkan pendekatan yang lebih teoritis dan mengintegrasikan pengembangan individu dengan strategi organisasi secara keseluruhan. Meskipun demikian, untuk industri seperti kepelabuhanan, buku ini menawarkan pendekatan yang lebih aplikatif dan langsung berorientasi pada kebutuhan operasional (Perkins et al., 2011).

Kesimpulanya, pada chapter 4 buku ini memberikan wawasan yang penting mengenai pengelolaan SDM di industri kepelabuhanan, dengan menyoroti pentingnya pembelajaran berkelanjutan melalui model 70-20-10. Penerapan model ini dapat meningkatkan keterampilan dan kinerja pegawai dengan menggabungkan pengalaman kerja, interaksi sosial, dan pendidikan formal. Namun, untuk meningkatkan nilai praktis buku ini, disarankan untuk menambahkan lebih banyak studi kasus dan data yang menunjukkan hasil konkret dari penerapan strategi ini di pelabuhan lain. Secara keseluruhan, buku ini sangat bermanfaat bagi mereka yang bekerja di sektor kepelabuhanan, namun perlu ada pembahasan lebih lanjut mengenai tantangan praktis dalam implementasi strategi ini.

Referensi

Darmawan, D., Anitha, M. M., Tinambunan, P., Si, M., Choliq, A., Sriharyati, S., Sos, S., Hamid, H., Estiana, R., Pt, S., Zulkifli, M. M., Mohammad, I., Sono, G., Ramli, A., Pd, M., Sondeng, S., Sigit Mareta, M. M., Ak, M., Marjani, S. P., … Utami, R. T. (2023). Manajemen Sumber Daya Manusia Era Digital. www.sonpedia.com

Spencer, L. M. (2008). The Talent Management Handbook: Creating a Sustainable Competitive Advantage by Selecting, Developing, and Promoting the Best People. McGraw-Hill Education.

Perkins, S. J., & White, G. (2011). Talent Management: A Focus on Organizational and Individual Development. Routledge.

 

JUARA III: Critical Review

“Judul 2 Buku : 1. Pengelolaan Pelabuhan Berkelanjutan 2. Aspek Teknis dalam Pengembangan Pelabuhan ”

Oleh: Fajar Dysna Kurniawan – Finance – Magister Sains Manajemen FEB UGM

 

Kelebihan dan Kekurangan Buku

Kelebihan utama dari kedua buku ini terletak pada pendekatan multidisiplin yang digunakan dalam menganalisis pengelolaan pelabuhan. Kedua buku ini tidak hanya membahas aspek bisnis, tetapi juga tata kelola, digitalisasi, manajemen risiko serta pengembangan sumber daya manusia, yang semuanya krusial bagi keberlanjutan pelabuhan di Indonesia. Pemaparan mengenai merger PT Pelindo menjadi satu entitas juga memberikan wawasan strategis mengenai daya saing pelabuhan nasional dalam skala global. Namun, buku ini memiliki beberapa kekurangan. Salah satu yang perku ditinjau adalah kurangnya analisis mendalam mengenai tantangan dan peluang implementasi konsep smart port (pelabuhan pintar) di masa mendatang. Penambahan bab khusus mengenai implementasi teknologi pelabuhan pintar, tantangan adopsinya, serta dampaknya terhadap efisiensi dan keberlanjutan akan semakin memperkaya perspektif yang ditawarkan dalam buku ini. Pelabuhan pintar mengintegrasikan teknologi seperti Internet of Things (IoT), blockchain, dan kecerdasan buatan untuk meningkatkan efisiensi  operasional dan daya saing global (Molavi dkk., 2020; Russo dan Musolino, 2023; Yau dkk., 2020). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pelabuhan pintar dapat meningkatkan produktivitas, mengurangi biaya operasional, serta memperkuat dampak ekonomi melalui efek keterkaitan dengan industri lain (Jun dkk., 2018; Zhou dan Suh, 2024). Sayangnya, aspek ini belum digarap secara komprehensif dalam buku ini.

Dampak ekonomi dari pelabuhan pintar juga belum dibahas secara detail, padahal sektor ini memiliki efek keterkaitan ke depan yang substansial dalam industri lain (Jun dkk., 2018). Selain itu, pelabuhan pintar berperan penting dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals /SDGs), seperti SDG 8 (pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi) serta SDG 9 (industri, inovasi, dan infrastruktur) (Basulo-Ribeiro dkk., 2024; Caldero dkk., 2023). Studi kasus pelabuhan di negara lain seperti Ulsan dan Busan di Korea menunjukkan bahwa digitalisasi pelabuhan meningkatkan efisiensi operasional secara signifikan (Zhou dan Suh, 2024) dan rancangan konsep smart port dinegara Thailand (Makkawan dan Muangpan, 2021). Sayangnya, buku ini belum memberikan analisis tentang kesiapan Indonesia dalam menerapkan model serupa.

Dari sisi manfaat finansial, buku ini juga tidak menyoroti efisiensi biaya yang dapat dihasilkan dari otomatisasi di pelabuhan pintar. Teknologi seperti gantry cranes otomatis dan sistem transportasi cerdas dapat mengurangi biaya tenaga kerja dan meningkatkan kinerja keseluruhan, gantry crane canggih di pelabuhan pintar biasanya menggabungkan teknologi otomatisasi, konektivitas 5G, dan kapasitas angkat yang besar untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas operasional (Al-Fatlawi dan Jassim Motlak, 2023). Selain itu, pelabuhan pintar memiliki potensi besar dalam menarik investasi global dengan meningkatkan daya saing dan efisiensi operasional (Cuong dkk., 2024). Hal ini menjadi aspek yang penting untuk diperhatikan dalam pengelolaan pelabuhan di Indonesia, tetapi kurang dibahas dalam buku ini. Misalnya, sebagai rujukan dan contoh penerapan teknologi canggih di terminal otomatis di Qingdao, Provinsi Shandong, China .

Meskipun dalam sesi bedah buku (24/2/2025) bertempat di MM UGM disampaikan bahwa Indonesia masih membutuhkan waktu panjang serta persiapan yang matang untuk mengimplementasikan konsep smart port, namun tidak ada salahnya jika PT Pelindo turut membahasnya dalam buku ini. Dengan adanya analisis mengenai tantangan dan strategi penerapan pelabuhan pintar, buku ini dapat memberikan wawasan lebih luas mengenai masa depan pengelolaan pelabuhan di Indonesia. Lebih dari itu, sebagai negara strategis yang menjadi jalur perdagangan internasional, Indonesia harus mulai merancang strategi pengembangan smart port dari sekarang agar tidak tertinggal dalam persaingan global. Transformasi ini bukan hanya sekadar opsi, tetapi sebuah keharusan bagi daya saing ekonomi nasional di masa depan. Meskipun smart port masih merupakan rancangan ide, setidaknya pembaca harus memahami urgensi penerapannya, termasuk konsep, perencanaan, investasi, serta risiko yang menyertainya. Hal ini akan membantu pemangku kepentingan dalam mempersiapkan langkah strategis yang lebih matang untuk menghadapi perubahan industri kepelabuhanan global.

Komparasi dengan Buku Sejenis

Dibandingkan dengan buku Smart Port Management and Strategy oleh Park (2022), yang lebih berfokus pada strategi implementasi pelabuhan pintar secara global, Pengelolaan Pelabuhan Berkelanjutan masih terbatas dalam membahas aspek digitalisasi dan penerapan teknologi canggih di pelabuhan Indonesia. Park menyoroti bagaimana smart port mengintegrasikan sistem digital untuk meningkatkan efisiensi operasional, keamanan, dan konektivitas global. Dalam buku Park, terdapat analisis mendalam mengenai tantangan regulasi, kesiapan infrastruktur, serta strategi kolaborasi antara sektor publik dan swasta dalam mengadopsi konsep smart port. Sayangnya, dalam buku (1) Pengelolaan Pelabuhan Berkelanjutan dan (2) Aspek Teknis dalam Pengembangan Pelabuhan belum mengakomodasi aspek-aspek tersebut secara memadai. Di bandingkan dengan penelitian Zhou dan Suh (2024) yang membahas efisiensi operasional terminal peti kemas dalam konteks smart port, buku ini masih kurang membahas indikator kinerja dan model optimalisasi teknologi pelabuhan berbasis digital (Makkawan dan Muangpan, 2021). Oleh karena itu, buku ini masih memiliki ruang untuk eksplorasi lebih lanjut dalam aspek tersebut.

Kesimpulan dan Saran

Meskipun buku ini memberikan wawasan mengenai pengelolaan pelabuhan berkelanjutan di Indonesia, terdapat kekurangan signifikan dalam membahas tantangan implementasi smart port. Dalam edisi mendatang, buku ini sebaiknya lebih mendalam dalam mengeksplorasi kesiapan Indonesia dalam menerapkan smart port, termasuk aspek regulasi, teknologi, dan investasi.

Referensi dari literatur global seperti buku Park (2022) dapat menjadi rujukan dalam memperkaya analisis terkait teknologi pelabuhan pintar dan strategi implementasinya. Selain itu, eksplorasi lebih lanjut mengenai strategi pelabuhan pintar yang telah sukses diterapkan di negara lain akan memberikan nilai tambah bagi pembaca. Mengingat posisi strategis Indonesia sebagai negara kepulauan dan jalur perdagangan dunia, kesiapan dalam merancang smart port harus menjadi prioritas , dan buku ini dapat menjadi media untuk memulai diskusi lebih dalam mengenai hal tersebut.

Daftar Pustaka

 Al-Fatlawi, H. A., & Jassim Motlak, H. (2023). Smart ports: towards a high performance, increased productivity, and a better environment. International Journal of Electrical and Computer Engineering (IJECE), 13(2), 1472. https://doi.org/10.11591/ijece.v13i2.pp1472-1482

Basulo-Ribeiro, J., Pimentel, C., & Teixeira, L. (2024). What is known about smart ports around the world? A benchmarking study. Procedia Computer Science, 232, 1748–1758. https://doi.org/10.1016/j.procs.2024.01.173

Calderon Fernandez, L. Z., Gala Shinzato, L. H., Quispe Fernandez, P. A., Sanchez Gomez, J. E., Torres Veliz, L. A., Urteaga Condori, G., & Vasquez Holgado, E. M. (2023). A systematic review of the impact of smart ports in relation to SDG 9 in the period 2015 – 2023. Proceedings of the 3rd LACCEI International Multiconference on Entrepreneurship, Innovation and Regional Development (LEIRD 2023): “Igniting the Spark of Innovation: Emerging Trends, Disruptive Technologies, and Innovative Models for Business Success.” https://doi.org/10.18687/LEIRD2023.1.1.369

Cuong, T. N., Kim, H.-S., Long, L. N. B., & You, S.-S. (2024). Seaport profit analysis and efficient management strategies under stochastic disruptions. Maritime Economics & Logistics, 26(2), 212–240. https://doi.org/10.1057/s41278-023-00271-z

Jun, W. K., Lee, M.-K., & Choi, J. Y. (2018). Impact of the smart port industry on the Korean national economy using input-output analysis. Transportation Research Part A: Policy and Practice118, 480–493. https://doi.org/10.1016/j.tra.2018.10.004

Makkawan, K., & Muangpan, T. (2021). A Conceptual Model of Smart Port Performance and Smart Port Indicators in Thailand. Journal of International Logistics and Trade, 19(3), 133–146. https://doi.org/10.24006/jilt.2021.19.3.133

Molavi, A., Lim, G. J., & Race, B. (2020). A framework for building a smart port and smart port index. International Journal of Sustainable Transportation, 14(9), 686–700. https://doi.org/10.1080/15568318.2019.1610919

Park, N. Kyu. (2022). Smart Port Management and Strategy. Bentham Science Publishers.

Russo, F., & Musolino, G. (2023). Methodologies for Sustainable Development of TEN-T/RFC Corridors and Core Ports: Economic Impacts Generated in Port-Related Areas (pp. 515–526). https://doi.org/10.1007/978-3-031-37123-3_35

Yau, K.-L. A., Peng, S., Qadir, J., Low, Y.-C., & Ling, M. H. (2020). Towards Smart Port Infrastructures: Enhancing Port Activities Using Information and Communications Technology. IEEE Access, 8, 83387–83404. https://doi.org/10.1109/ACCESS.2020.2990961

Zhou, L., & Suh, W. (2024). A Comprehensive Study on Static and Dynamic Operational Efficiency in Major Korean Container Terminals Amid the Smart Port Development Context. Sustainability, 16(13), 5288. https://doi.org/10.3390/su16135288

Menyiapkan Transportasi Lebaran

Penulis: Dwi Ardianta Kurniawan, S.T, M.Sc

Sebentar lagi kita akan menghadapi hajatan besar, yaitu momen lebaran 2025. Seperti tahun-tahun sebelumnya, salah satu kebutuhan penting dalam lebaran adalah penyediaan fasilitas transportasi, baik darat, laut, maupun udara. Tahun ini, perjalanan lebaran diperkirakan sebesar 146,48 juta orang atau sekitar 52 persen dari penduduk Indonesia, turun 24 persen dibandingkan tahun lalu yang mencapai 193,6 juta pemudik sesuai prediksi Badan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan. Puncak arus mudik diperkirakan tanggal 26-28 Maret dan arus balik diperkirakan tanggal 6-7 April 2025.

Berbagai program Pemerintah melalui kementerian terkait telah disiapkan untuk mengantisipasi momen lebaran, yang secara umum berupa penyiapan sarana, prasarana dan manajemen. Penyiapan sarana berupa penambahan armada angkutan umum baik moda jalan/bus, laut/kapal, udara/pesawat, maupun kereta api. Penyiapan prasarana berupa kondisi jalan, lintasan kereta, bandara, pelabuhan, termasuk penyiapan kantong-kantor parkir, rest area dan sebagainya. Manajemen transportasi diantaranya melalui penetapan diskon tarif angkutan umum untuk masyarakat, angkutan mudik gratis, pembatasan angkutan barang, maupun program work from anywhere (WFA) yang diinisiasi bersama kementerian lain untuk mengurangi penumpukan pergerakan.

Pertanyaannya, apakah program-program yang disiapkan tersebut akan mampu menjadikan momen lebaran tahun ini dapat berjalan dengan selamat, aman, dan lancar sebagaimana yang diharapkan Pemerintah dan masyarakat? Belajar dari lebaran tahun-tahun sebelumnya, meskipun setidaknya ada 2 isu penting yang harus diantisipasi oleh pemerintah dan jajaran terkait. Pertama adalah kecelakaan, terutama jalan raya. Data Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri mengungkapkan bahwa secara nasional kecelakaan lalu lintas pada musim lebaran tahun 2024 adalah 1.835 dengan jumlah korban jiwa 281 orang dan luka berat 317 orang. Angka kecelakaan tersebut sesungguhnya sudah mengalami penurunan sekitar 15% dibandingkan tahun 2023. Hal ini tentu menggembirakan, walaupun harus terus dilakukan upaya agar tingkat kecelakaan dapat ditekan hingga seminimal mungkin. Yang perlu diwaspadai adalah kecelakaan pada ruas jalan tol yang terindikasi memiliki tingkat fatalitas tinggi sebagaimana yang terjadi pada Jalan Tol Jakarta – Cikampek tahun lalu.

Kedua adalah kemacetan, terutama pada simpul-simpul transportasi seperti pelabuhan penyeberangan. Tahun lalu, di Pelabuhan Merak terjadi kemacetan panjang karena tingginya arus kendaraan yang akan melakukan perjalanan dari Jawa ke Sumatera. Penulis sebagai salah satu pelaku mudik mengalami kemacetan hingga sekitar 20 jam dihitung dari masuk tol hingga naik kapal penyeberangan. Sumber dari PT ASDP menyebutkan permasalahan yang terjadi cukup rumit karena besarnya jumlah kendaraan yang akan lewat, yaitu sekitar 20.000 pada waktu yang sama, hampir menyamai kapasitas harian yang dimiliki sebesar sekitar 25.000 kendaraan. Selain itu, cuaca buruk juga mempengaruhi frekuensi perjalanan ferry sehingga volume yang dapat diangkut menurun.

Kedua isu tersebut memang memerlukan penanganan yang serius, baik dalam jangka pendek, menengah maupun panjang. Berbagai program yang disiapkan pemerintah dalam masa lebaran sesungguhnya adalah program jangka pendek yang disiapkan untuk mengatasi permasalahan sesaat yang mungkin tidak mampu mengatasi akar permasalahan yang terjadi. Dalam jangka menengah dan panjang diperlukan upaya perubahan perilaku pengemudi agar tingkat kecelakaan dapat menurun. Hal ini diperlukan karena faktor pengemudi adalah faktor utama penyebab kecelakaan, sebagaimana disampaikan oleh Kementerian Perhubungan tahun 2022, yaitu sebesar 28 persen.

Kemudian terkait kemacetan di simpul, memang perlu melihat apakah kapasitas layanan sarana dan prasarana yang disediakan sudah optimal atau belum. Karena kapasitas dermaga memiliki keterbatasan dari sisi kemampuan menampung kapal yang akan bersandar. Penambahan kapasitas dari sisi infrastruktur memerlukan kajian matang dengan memperhatikan tingkat kelayakan berdasar demand di masa mendatang. Pengaturan operasional adalah hal yang paling memungkinkan dalam jangka pendek dan menengah, dikombinasikan dengan program WFA sehingga volume puncak penumpang dapat diturunkan.

Harapannya memang, pergerakan pada masa lebaran dapat diantisipasi dengan berbagai program yang telah disiapkan, dengan tidak lupa menyiapkan mitigasi pada jangka menengah maupun panjang.

 

Foto: JawaPos

Artikel ini telah dimuat dalam Opini Jawa Pos, edisi Selasa, 25 Maret 2025

Karut Marut di Lempuyangan

Penulis: Dwi Ardianta Kurniawan, S.T, M.Sc[1]

[1] Peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM

Kereta api merupakan jenis sarana transportasi yang sedang naik daun. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa jumlah penumpang kereta api di beberapa stasiun di DIY (Wates, Yogyakarta, Lempuyangan, Maguwo dan Yogyakarta International Airport) pada tahun 2023 secara total adalah sebesar 9.880.950 orang, yang terdiri dari 3.325.510 penumpang KRL/KRD dan 6.555.440 orang non KRL/KRD atau penumpang KA Jarak Jauh termasuk KA Bandara. Jumlah tersebut meningkat tajam dari penumpang tahun 2022 sebesar 6.805.370 orang atau terjadi peningkatan sekitar 45,2%.

Terlepas dari kondisi pasar yang sedang recovery setelah pandemi, profil tersebut menunjukkan bahwa moda KA telah menjadi salah satu pilihan utama dalam perjalanan baik dalam kota maupun antar kota di Jawa. Hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa para pelaku perjalanan cukup puas dengan layanan yang telah diberikan oleh moda kereta api.

Namun demikian, masih terdapat pekerjaan rumah yang cukup penting untuk diperhatikan, salah satunya pengaturan di stasiun, khususnya Stasiun Lempuyangan Yogyakarta. Stasiun ini adalah stasiun kedua terbesar setelah Stasiun Yogyakarta (lebih dikenal dengan Stasiun Tugu), dengan volume penumpang pada tahun 2023 sebesar 2.136.690 yang terdiri dari 800.600 penumpang KRL/KRD dan 1.336.090 penumpang non KRL/KRD.

Peruntukan stasiun ini sebagian besar adalah untuk stasiun penumpang kelas ekonomi, KRL/KRD dan angkutan barang. Hal ini menunjukkan bahwa Stasiun Lempuyangan adalah stasiun yang sangat penting untuk mendukung pergerakan penumpang dan barang di Yogyakarta dan sekitarnya. Meskipun demikian, pengalaman menggunakan kereta api dari Stasiun Lempuyangan memunculkan kesan adanya karut marut yang memerlukan penanganan serius.

Kebutuhan pengaturan di stasiun ini paling tidak mencakup 3 hal. Pertama, akses menuju stasiun. Saat ini akses menuju stasiun hanya ada satu baik untuk keberangkatan maupun kedatangan yang berada pada satu garis lurus. Hal ini menjadikan ruas tersebut rawan mengalami kemacetan pada saat-saat keberangkatan dan kedatangan kereta yang berdekatan. Hal ini diperparah dengan adanya perlintasan kereta api sebidang yang berada di salah satu pintu masuk dari arah barat/utara. Bagi para calon penumpang naik, hal ini tentu menjadi permasalahan ketika waktu keberangkatan sudah dekat sehingga berpotensi ketinggalan kereta.

Kedua, parkir yang kurang tertata. Ruas jalan yang tidak terlalu lebar di depan stasiun masih ditambah beban dengan parkir kendaraan roda 4 di sisi utara dan roda 2 di sisi selatan. Hal ini menambah kemacetan untuk menuju pintu masuk maupun pintu keluar yang mengurangi kenyamanan baik bagi para pelaku perjalanan, pengantar, maupun penjemput. Sisi pintu masuk keberangkatan yang berada pada posisi ujung ruas jalan juga menjadi permasalahan tersendiri bagi para penumpang yang akan berangkat terutama ketika waktu keberangkatan sudah hampir tiba.

Ketiga, banyaknya pelanggaran oleh pengendara roda dua yang melawan arah. Ruas jalan depan stasiun adalah jalan searah dari barat ke timur, namun seringkali ditemui banyak pengendara roda 2 yang melawan arus. Hal ini kerapkali dilakukan secara bersama-sama, sehingga menjadikan pihak yang benar seringkali sungkan atau takut untuk menegur.

Permasalahan-permasalahaan tersebut memperlihatkan adanya kompleksitas pengaturan yang memerlukan kerjasama dengan berbagai pihak. Hal ini dikarenakan sebagian masalah tersebut sesungguhnya tidak berada pada wilayah stasiun, namun pada kawasan sekitar stasiun yang bukan merupakan kewenangan PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) sebagai pengelola. Pengaturan jalan akses dan parkir badan jalan menjadi kewenangan Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta, sementara penegakan hukum bagi para pelanggar lalulintas merupakan kewenangan Polri.

Tentu para pihak terkait bukan tidak mengetahui mengenai permasalahan tersebut, hanya saja tingkat kompleksitas masalah memang cukup rumit sehingga belum memberikan hasil yang optimal. Terobosan mungkin dapat dilakukan oleh PT KAI melalui manajemen aset yang dimiliki, misalnya perluasan lahan parkir maupun pemindahan angkutan barang ke stasiun di luar daerah. Selain mengoptimalkan angkutan penumpang, hal ini dapat memberi peluang penambahan akses menuju stasiun apabila dimungkinkan. Tentu semua terpulang kepada para stakeholders yang terkait untuk memberikan layanan yang terbaik bagi pengguna.

Artikel ini telah tayang di Opini Kedaulatan Rakyat, 23 Desember 2024

Sumber gambar: radarjogja

Pita Penggaduh di Jalan Raya: Berkah atau Musibah?

Penulis: Dwi Ardianta Kurniawan, S.T, M.Sc[1]

[1] Peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM

Beberapa waktu yang lalu di media sosial beredar video dua motor yang bertabrakan pada dini hari. Keterangan video tersebut menyebutkan bahwa terdapat korban yang meninggal dunia pada kecelakaan tersebut. Beberapa waktu kemudian juga beredar video seseorang yang tengah tergeletak di jalan, sepertinya kejadian pada sore hari ketika lalulintas tengah ramai. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai korban pada kejadian tersebut.

Yang menarik perhatian adalah, kedua kejadian tersebut terjadi pada lokasi yang sama, yaitu Jalan Kaliurang, tepatnya samping Gedung Pusat Universitas Gadjah Mada. Penyebab kecelakaan diperkirakan juga sama, yaitu menghindari polisi tidur kecil-kecil yang berjejer selang-seling pada separuh badan jalan di sepanjang ruas jalan tersebut. Kejadian tersebut wajar menimbulkan pertanyaan, sudah tepatkan pemasangan alat pengatur lalulintas semacam itu?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu harus didefinisikan apa jenis alat pengatur lalulintas yang dimaksud. Apabila mencermati Peraturan Menteri Perhubungan (PM) Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2018 tentang Alat Pengendali dan Pengaman Pengguna Jalan yang diperbaharui melalui PM 14/2021, alat pengatur tersebut adalah pita penggaduh yang bernama rumble strip yang merupakan bagian dari alat pengaman pengguna jalan.

Pita penggaduh sebagaimana disebutkan pada Pasal 33 PM 82/2018 memiliki beberapa fungsi, yaitu mengurangi kecepatan kendaraan, mengingatkan pengemudi tentang objek di depan yang harus diwaspadai, melindungi penyeberang jalan, dan mengingatkan pengemudi akan lokasi rawan kecelakaan. Memperhatikan fungsi tersebut, tentu keseluruhannya bertujuan untuk meningkatkan keselamatan baik pengendara maupun para pengguna jalan lainnya. Lalu mengapa fungsi yang ideal tersebut justru menimbulkan ekses negatif yang tidak diharapkan?

Beberapa hal dapat diperkirakan sebagai penyebab. Pertama, desain dari pita penggaduh tidak sesuai dengan ketentuan. Dalam peraturan menteri telah diatur dengan jelas bagaimana desain untuk pemasangan pita penggaduh, baik dari bahan, dimensi dan sebagainya. Aturan tersebut tentu sudah didasarkan pada kajian, sehingga dapat berfungsi dengan baik tanpa harus menimbulkan efek samping yang tidak diharapkan.

Dalam penerapannya, desain tersebut tidak selamanya diikuti, misalnya dalam bentuk ketinggian, panjang, maupun bahan yang digunakan. Penyimpangan tersebut dapat berimplikasi pada terjadinya dampak yang tidak diinginkan, misalnya kecelakaan maupun kerusakan pada kendaraan. Pada beberapa kasus, desain yang tidak sesuai standar juga dapat berpengaruh pada kondisi kesehatan pengemudi, misalnya terjadinya kerusahan syaraf tulang belakang karena goncangan.

Penyebab kedua, perilaku pengemudi yang tidak sesuai dengan ketentuan. Tujuan pemasangan pita penggaduh salah satunya adalah untuk menurunkan kecepatan pengemudi. Masalahnya, tidak semua pengemudi memahami atau memahami namun tidak mau melaksanakan tujuan tersebut. Akibatnya, pengemudi tetap menjalankan kendaraan pada kecepatan normal dengan cara menghindari pita penggaduh apabila dimungkinkan.

Pada kasus yang disebutkan pada awal tulisan, terjadinya kecelakaan disebabkan oleh kombinasi kedua hal tersebut. Desain pita penggaduh dibuat hanya pada separuh badan jalan secara berselang-seling, sehingga menyebabkan pengendara cenderung untuk bermanuver menghindar pada sisi jalan lainnya. Hal ini seringkali tidak hanya dilakukan oleh kendaraan roda dua, namun juga kendaraan roda empat, walaupun hanya sebagian roda yang dapat menikmati kondisi tanpa goncangan. Dapat dibayangkan apabila hal tersebut dilakukan bersamaan oleh kendaraan yang datang dari kedua arah, terjadinya kecelakaan hampir pasti akan terjadi, apalagi apabila kendaraan tersebut melaju dengan kecepatan tinggi.

Apa yang harus dilakukan agar kejadian tersebut tidak berulang kembali, tentu kembali ke penyebab terjadinya kecelakaan tersebut. Pada jangka pendek, harus dilakukan pemeriksaan desain pita penggaduh agar sesuai dengan standar, misalnya yang dipasang pada Jalan Kaliurang juga Jalan Ngampilan yang terindikasi kurang memenuhi standar. Yang kedua, yang memerlukan penanganan jangka panjang adalah perubahan perilaku pengemudi. Perlu dicamkan bahwa pita penggaduh tujuannya untuk alat pengaman dan meningkatkan keselamatan pelaku perjalanan, bukan untuk dihindari dan diakali keberadaannya.

Artikel ini telah tayang di Opini Kedaulatan Rakyat, 17 Maret 2025

Sumber gambar: rri.co.id

Transportasi Online dalam Keseimbangan Supply – Demand

Penulis: Dwi Ardianta Kurniawan, ST., M. Sc.

Struktur Industri

Transportasi online di Indonesia mulai muncul dengan beroperasinya Gojek pada tahun 2010, disusul dengan Uber dan Grab pada tahun 2014, Maxim pada tahun 2018, serta Shopeefood yang khusus melayani pengiriman makanan sejak 2020. Saat ini, operator-operator tersebut masih tetap eksis kecuali Uber yang telah berhenti sejak 2018. Dari beberapa operator tersebut, hanya Gojek yang berkantor pusat di Indonesia, serta memiliki wilayah layanan pada beberapa negara Asean, diantaranya Thailand, Vietnam, Singapura dan Filipina. Gojek sudah menjadi unicorn atau perusahaan yang memiliki valuasi minimal US$1 milyar pada tahun 2016 setelah mendapatkan suntikan modal dari berbagai investor internasional.

Selain operator-operator besar tersebut, terdapat juga beberapa operator kecil yang beroperasi di tingkat lokal, misalnya JogjaKita dan JogjaJek yang melayani sekitar Kota Yogya. Aplikasi juga digunakan oleh para pengusaha taksi konvensional yang telah beroperasi sejak lama. Langkah tersebut merupakan strategi untuk meningkatkan daya saing pengusaha taksi konvensional dengan pemanfaatan teknologi. Selain itu, strategi kerjasama juga dilakukan oleh pengusaha taksi konvensional misalnya BlueBird dengan memasukkan pilihan pada aplikasi GoCar sebagaimana sering kita lihat dalam aplikasi.

Meskipun demikian, dapat dilihat bahwa aplikasi-aplikasi lokal tersebut belum dimanfaatkan secara luas oleh pengguna. Secara umum di lapangan dapat dilihat bahwa struktur usaha dominan pada transportasi online dikuasai oleh 3 operator besar, yaitu Gojek, Grab dan Maxim. Hal ini selaras juga dengan data yang disediakan oleh Google Trend yang menunjukkan dominannya ketiga operator tersebut pada berbagai wilayah di Indonesia.

Perilaku

Para pengguna transportasi online mungkin masih mengingat betapa murahnya jasa transportasi online pada awal-awal dioperasikan. Tarif yang murah dan kemudahan mengakses melalui aplikasi merupakan dua hal utama yang membuat aplikasi ini digunakan secara luas oleh masyarakat. Keunggulan tersebut yang kemudian secara perlahan menggusur ojek pangkalan yang memang seringkali dirasa mahal dan tidak memiliki standar tarif yang jelas. Hal tersebut kemudian menyebabkan konflik antara pengemudi ojek dan taksi konvensional dengan pengemudi yang berbasis online. Pada akhirnya kita melihat, teknologilah yang menjadi pemenang.

Besarnya pengguna transportasi online akhirnya menarik para pengemudi, bukan hanya mereka yang berstatus belum bekerja maupun masih kuliah, namun mereka yang bekerja di sektor formal juga rela keluar untuk bekerja sebagai pengemudi transportasi online. Hal ini karena besarnya pendapatan yang diterima pada awal-awal transportasi online beroperasi. Namun seiring perkembangan waktu, banyaknya pengemudi online menyebabkan munculnya persaingan antar pengemudi yang kemudian menurunkan pendapatan yang diterima. Hal ini menyebabkan banyak pengemudi yang merasa bahwa saat ini menjadi pengemudi transportasi online bukan lagi merupakan pilihan yang menarik.

 Masa Depan

Saat ini, transportasi online sepertinya sedang memasuki kematangan pasar, yang ditunjukkan dengan stabilnya tingkat permintaan penumpang dan penawaran pada tingkat yang efisien. Tidak ada tingkat tarif yang terlalu murah yang menyebabkan keuntungan besar bagi pengguna, di sisi lain juga tidak ada penambahan jumlah pengemudi karena pendapatan yang diterima tidak lagi menarik. Hal ini dapat pula dilihat dari data Google Trend yang menunjukkan puncak penggunaan transportasi online adalah sekitar tahun 2018-2019, yang kemudian perlahan menurun dan menuju tingkat kestabilan hingga saat ini. Pada akhirnya saat ini, transportasi online menjadi jasa layanan ‘biasa’ yang memberikan keuntungan ‘normal’ baik bagi konsumen sebagai pengguna maupun para pengemudi sebagai mitra operator.

Mengamati perkembangan layanan transportasi online ini sesungguhnya memberikan pelajaran menarik, bagaimana teknologi mengubah perilaku masyarakat, berdinamika, lalu akhirnya menuju keseimbangan. Ke depan tentu akan muncul lagi inovasi dan invensi baru lagi yang akan mengubah pola kita menjalani kehidupan. Kita hanya harus siap untuk menerima perubahan, beradaptasi dan menerima manfaat maupun dampak yang muncul kemudian. (DAK)

Sumber gambar: https://www.kominfo.go.id/content/detail/14581/fakta-batalnya-pembentukan-taksi-online-saingan-grab-cs/0/sorotan_media

Artikel ini telah dimuat di koran Kedaulatan Rakyat Rabu, 22 November 2023

Inefisiensi Penyediaan Infrastruktur

Penulis: Dwi Ardianta Kurniawan, ST., M. Sc.

Pada sebuah ruas jalan di Kabupaten Sleman berdiri beberapa tiang besi dalam posisi yang berdekatan. Apabila dihitung, ada sekitar 6 tiang yang terutama berasal dari tiang telekomunikasi di lokasi tersebut. Keberadaan tiang tersebut sesungguhnya cukup menganggu pemandangan karena menyita ruang publik yang cukup besar. Selain itu, keberadaan tiang yang sebagian besar berada di tepi jalan tersebut berpotensi menjadi hambatan samping bagi pengendara yang lewat yang berpotensi menyebabkan kecelakaan.

Di sisi lain, pembangunan tiang-tiang tersebut juga terindikasi merupakan hal yang tidak efisien. Dapat dibayangkan seberapa banyak sumber daya yang dihabiskan untuk pengadaan tiang, pemasangan dan penggunaan lahan yang merupakan milik publik tersebut, baik berupa waktu, biaya maupun tenaga kerja yang dialokasikan. Secara awam, tiang-tiang tersebut seharusnya dapat lebih diefisiensikan dengan adanya tiang yang dipergunakan bersama, alih-alih mendirikan tiang sendiri-sendiri.

Keberadaan tiang-tiang tersebut bukan hanya ada di satu ruas jalan, namun tersebar di berbagai ruas, juga di berbagai wilayah kabupaten yang berbeda. Mengapa terjadi pola pembangunan tiang yang terkesan tidak efisien tersebut, terdapat beberapa hal yang menjadi indikasi penyebab. Pertama, tidak adanya kendali pendirian tiang dari pemegang kebijakan. Secara aturan, izin penggunaan ruang di tepi jalan ada pada pemerintah sesuai status jalan. Artinya, jalan nasional berada pada kewenangan pemerintah pusat, jalan provinsi diatur oleh pemerintah provinsi, dan jalan kabupaten/kota berada pada kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Pengalaman penulis, penambahan tiang pada jalan kabupaten hanya memerlukan izin dari pejabat di lingkup padukuhan dan RT. Hal ini di satu sisi memang memudahkan dalam penyediaan layanan, namun di sisi lain menyebabkan tidak terkendalinya pembangunan tiang-tiang tersebut. Dapat dimaklumi mengapa terjadi pendirian tiang yang terkesan tidak terencana di berbagai wilayah.

Kedua, terdapat banyak provider telekomunikasi yang menyebabkan tidak adanya koordinasi diantaranya provider telekomunikasi tersebut. Masing-masing provider tentu memiliki rencana bisnis dan kebijakan yang berbeda-beda, sehingga tidak selamanya memiliki kesamaan wilayah pengembangan. Selain itu, persaingan antar provider juga menjadi hambatan dalam melakukan koordinasi tersebut karena penggunaan tiang bersama akan memberi jalan kepada provider lain untuk membuka pasar pada wilayah yang sama. Meskipun demikian, faktor efisiensi dalam pengadaan dan perawatan tiang dapat menjadi pintu masuk untuk melakukan koordinasi. Dapat dibayangkan seberapa besar efisiensi yang dapat dicapai apabila terdapat ribuan tiang yang dipergunakan bersama.

Ketiga, tidak adanya rencana jangka panjang penyediaan infrastruktur baik dari penyedia maupun dari pemegang kebijakan. Di wilayah yang relatif berkembang secara ekonomi, peran operator relatif lebih dominan dalam penyediaan infrastruktur karena besarnya potensi keuntungan yang dapat diperoleh. Dalam rencana bisnis, semestinya telah dapat diprediksi besaran demand dari wilayah layanan, sehingga dapat diprediksi kebutuhan tiang di masa mendatang. Dimensi pembangunan tiang diharapkan dapat mengikuti proyeksi demand tersebut, sehingga mencegah perlunya pendirian tiang baru dengan adanya pertumbuhan demand di masa mendatang.

Penggunaan tiang bersama pada provider telekomunikasi telah dipergunakan secara luas di berbagai negara. Penggunaan tiang maupun kanal kabel bersama telah dipergunakan secara luas sejak 2008 di Italia. Kajian Booz Allen Hamilton Inc tahun 2007 menunjukkan faktor sukses penerapan tersebut ditentukan oleh upaya bersama antara operator dan regulator. Operator perlu mengkalkulasi manfaat finansial dari berbagi infrastruktur yang dimiliki, sementara regulator perlu mengembangkan kebijakan berbasis insentif untuk mengembangkan perjanjian berbagi pada level permainan yang setara. Ada banyak kasus di mana operator dapat mengidentifikasi manfaat finansial sehingga mengadopsi perjanjian pembagian infrastruktur secara mandiri. Namun demikian, dalam kasus lain, intervensi peraturan diperlukan untuk mendorong penggunaan infrastruktur secara bersama. Peraturan tersebut mencakup empat dimensi, yaitu penetapan peraturan, penetapan harga, perlindungan terhadap penerapan peraturan (regulatory safeguards), dan penegakan kebijakan.

Referensi tersebut dapat menjadi acuan replikasi kisah sukses di berbagai negara mengenai penggunaan infrastruktur secara bersama.

(Artikel ini telah dimuat di koran Kedaulatan Rakyat Jumat, 24 Maret 2023).

Sumber gambar: https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2023/02/03/512/1125222/tiang-kabel-internet-semrawut-bertebaran-di-sleman

Menyoal Pemeliharaan Rutin Jalan

Penulis: Dwi Ardianta Kurniawan, ST., M. Sc.

Pengantar

Infrastruktur jalan memiliki peran penting dalam mendukung mobilitas masyarakat. Agar tetap mampu berperan dengan baik, infrastruktur jalan harus dijaga kualitasnya melalui pemeliharaan baik rutin maupun berkala. Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 13 /PRT/M/2011 tentang Tata Cara Pemeliharaan dan Penilikan Jalan, pemeliharaan rutin jalan adalah kegiatan merawat serta memperbaiki kerusakan-kerusakan yang terjadi pada ruas-ruas jalan dengan kondisi pelayanan mantap. Jalan dengan kondisi pelayanan mantap adalah ruas-ruas jalan dengan kondisi baik atau sedang sesuai umur rencana yang diperhitungkan serta mengikuti suatu standar tertentu. Selain pemeliharaan rutin, diperlukan juga pemeliharaan berkala untuk pencegahan terjadinya kerusakan yang lebih luas agar penurunan kondisi jalan dapat dikembalikan pada kondisi kemantapan sesuai dengan rencana. Pada kondisi yang lebih parah, diperlukan penanganan berupa rehabilitasi untuk menangani kerusakan yang tidak diperhitungkan dalam desain.

Tulisan ini akan terfokus pada kebutuhan pemeliharaan rutin infrastruktur jalan pada wilayah perkotaan yang relatif memiliki infrastruktur jalan dalam kondisi mantap. Hal ini penting untuk dibahas, karena secara visual dapat dengan mudah ditemui berbagai indikasi bahwa program pemeliharaan rutin tidak berjalan dengan baik.

Contoh Permasalahan

Contoh tidak berjalannya pemeliharaan rutin misalnya dapat dilihat dari tingginya rumput di berbagai ruas jalan, baik di tepi maupun devider jalan. Kondisi ini merata baik pada jalan nasional, provinsi maupun kabupaten/kota yang cukup mengganggu secara visual. Di Jembatan Layang Jombor malahan dapat ditemukan semacam pohon perdu yang tumbuh di badan jembatan. Di underpass Kentungan, dapat ditemui pelat penutup dindingnya mengalami kerusakan pada beberapa titik. Kondisi ini cukup memprihatinkan karena menunjukkan rendahnya kualitas material yang digunakan, mengingat underpass tersebut belum terlalu lama digunakan. Kondisi dinding pada underpass tersebut juga memprihatinkan, karena banyak coretan akibat perilaku vandalisme. Semestinya coretan-coretan tersebut dapat dibersihkan sebagai bagian dari kegiatan pemeliharaan rutin.

Akibat dari tidak dilakukannya pemeliharaan rutin memang tidak berpengaruh secara signifikan pada sisi kekuatan maupun kualitas layanan infrastruktur jalan, namun berdampak pada kenyamanan maupun juga keselamatan berkendara. Kenyamanan berkendara dapat terganggu pada kondisi jalan yang terkesan kotor dan tidak rapi. Hal ini terlebih pada Kota Yogyakarta yang memiliki predikat sebagai kota pariwisata yang tentunya harus menjaga citra sebagai kota yang bersih dan estetik. Dampak terhadap keselamatan misalnya kondisi rumput yang tinggi di bahu jalan menyebabkan gangguan dalam berkendara sehingga dapat memicu kecelakaan.

Indikasi Penyebab

Menurut penulis terdapat beberapa indikasi penyebab tidak berjalannya pemeliharaan rutin dengan baik. Pertama, tidak adanya prioritas penanganan pemeliharaan rutin karena pengaruh terhadap kinerja infrastruktur jalan tidak signifikan. Penilaian kinerja jalan biasanya diukur dari volume lalulintas yang dilayani dibandingkan kapasitas yang dimiliki (VC ratio), kecepatan perjalanan yang dapat ditempuh, maupun kerataan permukaan jalan yang diukur dalam nilai IRI (International Roughness Index). Pemeliharaan rutin tidak memiliki pengaruh langsung terhadap kinerja jalan sehingga program tersebut sangat berpotensi terabaikan. Kedua, kecilnya anggaran pemeliharaan jalan dibandingkan kebutuhan. Sebagai gambaran anggaran pemeliharaan rutin jalan di Provinsi DIY pada tahun 2021 sesuai Renja DPU-ESDM adalah Rp20,345 milyar. Dengan panjang jalan provinsi sebesar 760 km, maka anggaran pemeliharaan rutin per km adalah Rp26,77 juta. Besaran tersebut masih jauh dibandingkan standar biaya pemeliharaan jalan yang dikeluarkan oleh Kementerian PU untuk jalan diperkeras yang berdasarkan perhitungan penulis mencapai sekitar Rp66,67 juta per km. Pola penganggaran semacam sangat mungkin juga terjadi pada penanganan jalan nasional maupun kabupaten/kota.

Tindak lanjut

Agar permasalahan tersebut dapat diatasi, tentu perlu kepedulian semua pihak mengenai pentingnya pemeliharaan rutin jalan. Kebijakan penganggaran yang sesuai diperlukan, tentu dengan memperhatikan efektivitas dan efisiensi anggaran yang dimiliki. Indikator kenyamanan dan estetika mungkin juga perlu ditambahkan dalam penilaian kinerja jalan, sehingga pemeliharaan rutin mendapatkan perhatian yang serius dari pihak yang berwenang.

(Artikel ini telah dimuat di koran Kedaulatan Rakyat Sabtu, 28 Mei 2022).

Sumber gambar: https://www.krjogja.com

Mengamati Pola Perubahan Ruang di Yogyakarta

Penulis: Dwi Ardianta Kurniawan, ST., M. Sc.

Pengantar

Ada yang menarik mengamati perubahan pola usaha di Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Fenomena paling jelas dapat dilihat pada beberapa ruas jalan utama, dengan berubahnya usaha dari skala mikro dan kecil menjadi usaha menengah dan besar. Hal ini dapat dilihat misalnya di sepanjang Jalan Kaliurang ‘bawah’, atau ruas yang berada di dalam ring road. Dahulu pada awal tahun 2000an, masih banyak dapat dijumpai warung-warung kecil maupun toko untuk menjual makanan dan barang kebutuhan sehari-hari lainnya. Selain itu juga tempat usaha seperti persewaan komputer, warnet, foto copy dan sebagainya. Keseluruhan ruang usaha tersebut memiliki karakteristik usaha dengan ruang dan kebutuhan modal yang relatif kecil.

Seiring berjalannya waktu, karakteristik usaha tersebut berubah. Saat ini, dengan mudah dijumpai tempat usaha besar, misalnya dalam bentuk hotel, apartemen, juga toko berjejaring. Kalaupun tempat tersebut berupa tempat makan, maka tampilannya sangat sophisticated, yang tentunya membutuhkan modal besar untuk pengadaannya. Memang di sela-sela tempat usaha semacam itu, masih ada pula warung makan lesehan yang biasanya ramai di pagi maupun malam hari. Namun jenis usaha ini biasanya tidak memiliki tempat yang menetap dan hanya menggunakan ruang yang sudah ada milik pihak lain. Walaupun ada pula yang dimiliki oleh rumah makan yang memiliki banyak franchise, namun sebagian besar dapat diprediksi merupakan usaha mikro dan kecil.

Fenomena ini terjadi bukan hanya di Jalan Kaliurang, namun juga dapat ditemui di ruas jalan lain, misalnya Jalan Palagan Tentara Pelajar, Jalan Magelang, serta banyak ruas jalan lainnya di Yogyakarta dan wilayah sekitarnya. Perubahan fungsi usaha tersebut sepertinya masih akan terus terjadi, dengan indikasi adanya pengempuran bangunan-bangunan lama dan berganti dengan lahan yang siap bangun. Nilai lahan tersebut dapat dipastikan telah meningkat beberapa kali lipat dibanding saat perolehan dahulu.

Sebenarnya fenomena apakah yang tengah terjadi, dan apa dampak dari fenomena tersebut?

Fenomena Apa?

Menurut hemat penulis, fenomena tersebut menunjukkan beberapa hal. Pertama, lokasi tersebut menarik sebagai pusat aktifitas bisnis, yang didukung oleh aksesibilitas jalan yang baik beserta fasilitas pendukungnya, terutama ruang parkir baik di dalam maupun luar ruang. Lokasi tersebut juga menarik karena kedekatan dengan berbagai fasilitas publik, seperti kampus, rumah sakit, apartemen, hotel serta mall/pusat perbelanjaan. Hal ini menyebabkan konsumen memiliki variasi pilihan aktifitas pada wilayah yang berdekatan, sehingga efisien secara biaya maupun waktu.

Kedua, wilayah tersebut memiliki tingkat permintaan yang tinggi, berdasar karakteristik penduduk yang tinggal pada wilayah tersebut. Wilayah sepanjang Jalan Kaliurang misalnya, merupakan wilayah elit yang ditandai dengan perumahan-perumahan mewah dengan penghuni berdayabeli tinggi. Hal ini tentu berpengaruh juga pada style dan gaya hidup termasuk selera, sehingga mendorong perubahan pola bisnis dari level bawah menjadi menengah atas.

Ketiga, secara makro terjadi pertumbuhan ekonomi di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya yang mendorong peningkatan daya beli masyarakat pada konsumsi barang dan layanan dengan kualitas tinggi. Walaupun secara umum tingkat penghasilan pekerja di Yogyakarta termasuk terrendah di Indonesia, namun tetap ada ceruk pasar masyarakat berpenghasilan tinggi, apalagi banyak mahasiswa/pendatang dari luar yang memiliki daya beli yang lebih tinggi.

Dampak

Lalu dampak apa yang dapat muncul dengan fenomena tersebut, dan apa yang seharusnya dilakukan? Fenomena ini dapat berdampak positif maupun negatif. Kajian dari Persky and Wiewel (2000), menyatakan dampak positif dan negatif perubahan tata guna lahan dapat mencakup eksternalitas (kemacetan, biaya kecelakaan, polusi udara, berkurangnya ruang terbuka), biaya sektor publik yang dikeluarkan pemerintah (penganggaran fasilitas umum dan subdidi), serta dampak yang diterima oleh pribadi (penduduk, pemilih lahan dan pelaku bisnis).

Mitigasi dampak negatif perlu disiapkan, diantaranya dalam bentuk antisipasi peraturan yang secara jelas mengatur ketentuan mengenai peruntukan lahan, termasuk mengenai lahan parkir dan ijin usaha. Hal ini akan meminimalisir dampak negatif yang mungkin timbul dari berubahnya tata ruang tersebut. Tarik menarik kepentingan antar berbagai pihak pasti akan muncul dengan adanya pengaturan, namun hal tersebut merupakan keniscayaan yang tidak dapat ditinggalkan.

(Artikel ini telah dimuat di koran Kedaulatan Rakyat, 5 Februari 2022).

Sumber gambar: http://bappeda.jogjaprov.go.id/produk/detail/Sistem-Informasi-Penataan-Ruang

LAMPU LALU-LINTAS YANG BIKIN WAS-WAS

Penulis: Sulistyo Arintono

Saya sudah enam bulan lebih tinggal (lagi) di Yogyakarta, kota kelahiran saya, setelah lebih dari 20 tahun belajar dan bekerja di negara lain (Thailand, Inggris, Malaysia, Arab Saudi). Selama ini saya terbiasa mengemudi mobil mengikuti aturan berlalu-lintas di negara yang bersangkutan. Tentu ada kelebihan dan kekurangan masing-masing, dibandingkan dengan kondisi berlalu-lintas di Indonesia, yang akan kita bahas dalam tulisan berikut ini.

Urutan Giliran Hijau di Persimpangan

Saya mengenal istilah APILL kali pertama di kota Yogya. Belum pernah mendengar istilah itu sebelumnya, bahkan juga di kota lain. Saya hanya bisa menebak, bahwa APILL merupakan kependekan dari Alat Pengatur Isyarat Lalu-Lintas, dalam Bahasa Inggris biasa disebut ‘traffic light’ atau istilah singkatnya dalam bahasa kita ‘lampu lalu-lintas’. Ada beberapa hal terkait APILL ini yang perlu dibenahi, tidak hanya di Yogya, tapi juga di kota-kota lain, untuk meningkatkan keamanan, kenyamanan dan keselamatan berkendara.

Urutan giliran mendapatkan lampu hijau dapat diatur bervariasi, misalnya: searah dengan putaran jarum jam (Utara-Timur-Selatan-Barat), berlawanan arah dengan putaran jarum jam (Utara-Barat-Selatan-Timur), atau kombinasi keduanya (Utara-Selatan-Timur-Barat atau Utara-Selatan-Barat-Timur). Tidak ada aturan yang mengatakan bahwa pilihan yang satu lebih baik dari yang lain. Semua pilihan sama baiknya, asalkan diterapkan secara konsisten.

Yang saya perhatikan di kota ini, kebanyakan APILL diatur mengikuti arah putaran jarum jam (contohnya pada pertemuan antara Jalan Kaliurang dengan Ring Road Utara), beberapa diatur berlawanan dengan arah putaran jarum jam (pertemuan Jalan Palagan Tentara Pelajar dengan Ring Road Utara). Kedua persimpangan ini lokasinya hanya bersebelahan saja. Meskipun jarang ada juga yang diatur mengikuti pola kombinasi, Timur-Barat-Selatan-Utara (pertemuan Jalan Wates dengan Ring Road Barat). Karena perbedaan pola ini saya kadang ‘salah hitung’. Saya pikir giliran hijau untuk saya masih lama, sehingga isteri menyempatkan diri membeli ‘Tahu Sumedang’ misalnya, ternyata tiba-tiba sudah dapat giliran hijau, sementara urusan kembalian uang tahu sumedang tadi belum beres. Bisa dibayangkan suasana menjadi sedikit kacau dan bising dengan bunyi klakson, mungkin juga ada sumpah serapah dari mereka yang tidak sabar menunggu.

Pengemudi mobil dan motor kadang tidak berpedoman pada ‘jatah’ lampu hijau untuk posisinya, terutama mereka yang berada di bagian paling depan. Misalnya kendaraan yang datang dari arah Selatan untuk aturan ‘searah jarum jam’, saat kendaraan yang datang dari arah Timur mulai mengurangi kecepatan (giliran lampu merah untuk arah Timur), mereka sudah mulai berjalan. Padahal pada saat itu lampu untuk arah Selatan masih menyala merah, belum hijau. Kalau ada pengendara yang ‘salah hitung’ (urutan giliran lampu hijau ternyata diluar perkiraan) kemungkinan terjadi ‘crash’ (benturan antar kendaraan) cukup besar. Oleh karena itu urutan giliran lampu hijau harus diseragamkan untuk semua APILL (searah atau berlawanan arah dengan putaran jarum jam, pilih salah satu saja).

Penempatan lampu lalu-lintas (merah, kuning, hijau) juga perlu dibenahi untuk meningkatkan visibilitas (keterlihatan). Kebanyakan lampu lalu-lintas di Indonesia hanya dipasang di bagian kanan, kiri dan atas. Posisi ini cukup menyulitkan bagi pengendara yang ada di bagian depan antrian (harus menengok ke kiri, kanan atau mendongak). Itulah sebabnya pengendara di depan biasanya terlambat menyadari bahwa lampu sudah berubah dari merah manjadi hijau. Di negara lain yang sudah lebih maju dalam hal pengaturan lalu-lintas, selalu ada lampu tambahan di bagian depan (di seberang persimpangan), yang sangat membantu meningkatkan visibilitas secara keseluruhan. Dan terakhir, banyak lampu lalu-lintas yang sudah rusak sebagian (tidak dapat berfungsi penuh), sudah seharusnya mendapat prioritas untuk segera diperbaiki. (Artikel ini telah dimuat di koran Kedaulatan Rakyat, 23 April 2021).

Sumber gambar: http://www.dev.dishub.jogjaprov.go.id/