Fasilitas pendidikan merupakan salah satu fasilitas publik yang harus direncanakan dengan matang, karena sebagai konsekuensi kegiatan belajar mengajar yang dilakukan, fasilitas pendidikan menjadi titik simpul kegiatan yang dapat memberikan dampak positif dan negatif pada wilayah sekitarnya. Dampak positif misalnya ditunjukkan dengan munculnya tempat-tempat makan, toko alat-alat tulis dan perlengkapan sekolah, kos-kosan, laundry, serta berbagai kegiatan pendukung lainnya. Tumbuhnya aktifitas tersebut akan berdampak pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat secara luas.
article
Gambaran Kinerja Infrastruktur
Presiden Jokowi dalam pertemuan beberapa waktu yang lalu menunjukkan keprihatinannya terhadap kondisi infrastruktur yang kita miliki. Fakta yang ada memang menunjukkan bahwa kondisi infrastruktur Indonesia masih kalah dibandingkan dengan negara lain. Salah satu indikatornya adalah besaran Logistics Performance Index (LPI) yang dikeluarkan oleh Bank Dunia. Beberapa aspek yang dinilai dalam pengukuran kinerja berbasis perdagangan antar negara tersebut adalah kinerja kepebeanan, infrastruktur, pengiriman internasional, kualitas dan kompetensi pekerja logistik, penelusuran pengiriman (tracking and tracing) dan waktu pengiriman.
Tanpa disadari, kondisi anak sekolah jaman sekarang berbeda jauh dengan beberapa dekade lalu. Tahun 80an, banyak anak-anak SD (termasuk penulis) yang sejak kelas satu sudah berangkat dan pulang sendiri, tanpa orang tua harus mengantar jemput setiap hari. Hal ini karena lokasi sekolah dekat, tidak sampai 500 meter dari rumah. Apalagi banyak teman yang searah, sehingga dapat berangkat dan pulang bersama-sama, baik dengan jalan kaki maupun bersepeda.
Saat ini, kondisi semacam itu terasa musykil dilakukan, terutama pada anak-anak yang bersekolah jauh dari tempat tinggalnya, sehingga harus diantar jemput setiap hari baik oleh orang tua, atau orang lain yang diberi tugas untuk itu. Pola semacam ini menimbulkan peningkatan arus lalu lintas menuju dan dari sekolah anak, terutama pada jam-jam berangkat dan pulang sekolah. Seringkali muncul dampak ikutan berikutnya, yaitu kemacetan pada ruas jalan akses ke sekolah tersebut. Kemacetan dapat semakin parah apabila sebagian besar pengantar menggunakan kendaraan roda empat. Kita dapat menyimaknya misalnya di sebuah sekolah dasar di seputar Seturan, Babarsari dan juga Sapen, sekitar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Pengantar
Adaptasi dalam literatur didefinisikan sebagai penyesuaian perilaku yang dapat meningkatkan kemampuannya untuk mengatasi tekanan eksternal (Brooks, 2003). Adaptasi seringkali dikaitkan dengan ketidakmampuan individu untuk mengurangi tekanan eksternal, sehingga memilih merubah perilaku agar tetap eksis dengan kondisi yang ada.
Kemacetan yang dialami oleh banyak kota besar di Indonesia, termasuk Yogyakarta merupakan tekanan eksternal yang sulit dihindari oleh penduduk kota. Dengan keterbatasan yang dimiliki, penduduk secara individu tidak akan mampu mengurangi tekanan tersebut. Alih-alih mengurangi, tambahan perjalanan yang dilakukan seorang individu mungkin justru menambah kemacetan di sebuah ruas yang dampaknya dapat meluas ke lingkup kawasan. Untuk berdamai dengan kondisi tersebut, penduduk kota akhirnya merubah perilaku dalam bentuk adaptasi.
Tepat senin, 4 April 2016, Wali Kota Jogja resmi memberlakukan pengosongan parkir sepeda motor sisi timur Malioboro dan memindahkan di parkir portabel Abu Bakar Ali (ABA). Beberapa media telah memberitakan bahwa pengosongan area parkir sisi timur Malioboro ini telah memberikan suasana nyaman bagi pengunjung.
Langkah walikota dalam Proses pemindahan lokasi parkir yang cukup sulit karena ada beberapa penolakan dari beberapa pihak dan akhirnya mampu terselaikan juga demi mewujudkan Malioboro menjadi pusat pedestrian, patut kita berikan apresiasi.
Akhir-akhir ini sering kita membaca polemik tentang penyelenggaraan transjogja. Banyak pihak telah mengeluarkan pendapat mengenai transjogja dari sudut pandang masing-masing. Tetapi fokus atau muara dari pembahasan transjogja akhir-akhir ini mengerucut pada rencana perubahan pengelolaan transjogja yang selama ini di dilakukan oleh PT. Jogja Tugu Trans sebagai pihak ketiga kepada BLUD ataupun BUMD (PT. AMI). Pendapat ini didorong oleh beberapa pendapat yang menganggap bahwa penyelenggaraan transjogja tidak berhasil khususnya dilihat dari subsidi yang terus dikucurkan oleh pemerintah daerah kepada angkutan massal ini. Sehingga disimpulankan adanya permasalahan dalam pengelolaan (keuangan) transjogja. Pertanyaan yang muncul dibenak penulis adalah, apakah dengan perubahan pengelolaan ini kelak penyelenggaraan transjogja dapat berjalan dengan baik (berhasil)? Atau mereka yang sepakat dengan pendapat ini menganggap akar masalah dari transjogja adalah dari sisi pengelolaannya, bukan dari sisi yang lain.
Pengantar
Di jalanan, saat ini dengan mudah dapat dijumpai para pengendara yang tidak mengenakan helm. Hal itu bukan hanya dilakukan oleh para pembonceng atau anak-anak kecil yang biasanya seperti dimaafkan bila melanggar, namun juga oleh para pengendara dewasa yang memegang kemudi. Yang memprihatinkan lagi, perilaku itu tidak lagi dilakukan di jalan-jalan kecil yang relatif sepi, namun juga di jalan-jalan utama bahkan jalan arteri seperti Jalan Lingkar Utara Yogya, yang penuh dengan kendaraan berat. Perilaku ini tentu sangat berresiko, karena trauma kepala akibat kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab utama disabilitas (kecacatan) dan mortalitas (kematian) di negara berkembang. Keadaan ini umumnya terjadi pada pengemudi motor tanpa helm atau memakai helm yang kurang tepat dan yang tidak memenuhi standar (Kementerian Kesehatan RI, 2009).
Lalu mengapa fenomena ini terjadi? Bukankah kita pernah sukses mengubah perilaku pengendara dari helm ‘ciduk’ yang berbahan tipis dan tidak mampu melindungi kepala menjadi helm standar yang layak dipergunakan untuk berkendara walaupun harganya cukup mahal? Mengapa perilaku itu seolah perlahan luntur dan hilang? Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi perubahan perilaku tersebut?