Pos oleh :

Admin

Mengamati Pola Perubahan Ruang di Yogyakarta

Penulis: Dwi Ardianta Kurniawan, ST., M. Sc.

Pengantar

Ada yang menarik mengamati perubahan pola usaha di Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Fenomena paling jelas dapat dilihat pada beberapa ruas jalan utama, dengan berubahnya usaha dari skala mikro dan kecil menjadi usaha menengah dan besar. Hal ini dapat dilihat misalnya di sepanjang Jalan Kaliurang ‘bawah’, atau ruas yang berada di dalam ring road. Dahulu pada awal tahun 2000an, masih banyak dapat dijumpai warung-warung kecil maupun toko untuk menjual makanan dan barang kebutuhan sehari-hari lainnya. Selain itu juga tempat usaha seperti persewaan komputer, warnet, foto copy dan sebagainya. Keseluruhan ruang usaha tersebut memiliki karakteristik usaha dengan ruang dan kebutuhan modal yang relatif kecil.

Seiring berjalannya waktu, karakteristik usaha tersebut berubah. Saat ini, dengan mudah dijumpai tempat usaha besar, misalnya dalam bentuk hotel, apartemen, juga toko berjejaring. Kalaupun tempat tersebut berupa tempat makan, maka tampilannya sangat sophisticated, yang tentunya membutuhkan modal besar untuk pengadaannya. Memang di sela-sela tempat usaha semacam itu, masih ada pula warung makan lesehan yang biasanya ramai di pagi maupun malam hari. Namun jenis usaha ini biasanya tidak memiliki tempat yang menetap dan hanya menggunakan ruang yang sudah ada milik pihak lain. Walaupun ada pula yang dimiliki oleh rumah makan yang memiliki banyak franchise, namun sebagian besar dapat diprediksi merupakan usaha mikro dan kecil.

Fenomena ini terjadi bukan hanya di Jalan Kaliurang, namun juga dapat ditemui di ruas jalan lain, misalnya Jalan Palagan Tentara Pelajar, Jalan Magelang, serta banyak ruas jalan lainnya di Yogyakarta dan wilayah sekitarnya. Perubahan fungsi usaha tersebut sepertinya masih akan terus terjadi, dengan indikasi adanya pengempuran bangunan-bangunan lama dan berganti dengan lahan yang siap bangun. Nilai lahan tersebut dapat dipastikan telah meningkat beberapa kali lipat dibanding saat perolehan dahulu.

Sebenarnya fenomena apakah yang tengah terjadi, dan apa dampak dari fenomena tersebut?

Fenomena Apa?

Menurut hemat penulis, fenomena tersebut menunjukkan beberapa hal. Pertama, lokasi tersebut menarik sebagai pusat aktifitas bisnis, yang didukung oleh aksesibilitas jalan yang baik beserta fasilitas pendukungnya, terutama ruang parkir baik di dalam maupun luar ruang. Lokasi tersebut juga menarik karena kedekatan dengan berbagai fasilitas publik, seperti kampus, rumah sakit, apartemen, hotel serta mall/pusat perbelanjaan. Hal ini menyebabkan konsumen memiliki variasi pilihan aktifitas pada wilayah yang berdekatan, sehingga efisien secara biaya maupun waktu.

Kedua, wilayah tersebut memiliki tingkat permintaan yang tinggi, berdasar karakteristik penduduk yang tinggal pada wilayah tersebut. Wilayah sepanjang Jalan Kaliurang misalnya, merupakan wilayah elit yang ditandai dengan perumahan-perumahan mewah dengan penghuni berdayabeli tinggi. Hal ini tentu berpengaruh juga pada style dan gaya hidup termasuk selera, sehingga mendorong perubahan pola bisnis dari level bawah menjadi menengah atas.

Ketiga, secara makro terjadi pertumbuhan ekonomi di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya yang mendorong peningkatan daya beli masyarakat pada konsumsi barang dan layanan dengan kualitas tinggi. Walaupun secara umum tingkat penghasilan pekerja di Yogyakarta termasuk terrendah di Indonesia, namun tetap ada ceruk pasar masyarakat berpenghasilan tinggi, apalagi banyak mahasiswa/pendatang dari luar yang memiliki daya beli yang lebih tinggi.

Dampak

Lalu dampak apa yang dapat muncul dengan fenomena tersebut, dan apa yang seharusnya dilakukan? Fenomena ini dapat berdampak positif maupun negatif. Kajian dari Persky and Wiewel (2000), menyatakan dampak positif dan negatif perubahan tata guna lahan dapat mencakup eksternalitas (kemacetan, biaya kecelakaan, polusi udara, berkurangnya ruang terbuka), biaya sektor publik yang dikeluarkan pemerintah (penganggaran fasilitas umum dan subdidi), serta dampak yang diterima oleh pribadi (penduduk, pemilih lahan dan pelaku bisnis).

Mitigasi dampak negatif perlu disiapkan, diantaranya dalam bentuk antisipasi peraturan yang secara jelas mengatur ketentuan mengenai peruntukan lahan, termasuk mengenai lahan parkir dan ijin usaha. Hal ini akan meminimalisir dampak negatif yang mungkin timbul dari berubahnya tata ruang tersebut. Tarik menarik kepentingan antar berbagai pihak pasti akan muncul dengan adanya pengaturan, namun hal tersebut merupakan keniscayaan yang tidak dapat ditinggalkan.

(Artikel ini telah dimuat di koran Kedaulatan Rakyat, 5 Februari 2022).

Sumber gambar: http://bappeda.jogjaprov.go.id/produk/detail/Sistem-Informasi-Penataan-Ruang

LAMPU LALU-LINTAS YANG BIKIN WAS-WAS

Penulis: Sulistyo Arintono

Saya sudah enam bulan lebih tinggal (lagi) di Yogyakarta, kota kelahiran saya, setelah lebih dari 20 tahun belajar dan bekerja di negara lain (Thailand, Inggris, Malaysia, Arab Saudi). Selama ini saya terbiasa mengemudi mobil mengikuti aturan berlalu-lintas di negara yang bersangkutan. Tentu ada kelebihan dan kekurangan masing-masing, dibandingkan dengan kondisi berlalu-lintas di Indonesia, yang akan kita bahas dalam tulisan berikut ini.

Urutan Giliran Hijau di Persimpangan

Saya mengenal istilah APILL kali pertama di kota Yogya. Belum pernah mendengar istilah itu sebelumnya, bahkan juga di kota lain. Saya hanya bisa menebak, bahwa APILL merupakan kependekan dari Alat Pengatur Isyarat Lalu-Lintas, dalam Bahasa Inggris biasa disebut ‘traffic light’ atau istilah singkatnya dalam bahasa kita ‘lampu lalu-lintas’. Ada beberapa hal terkait APILL ini yang perlu dibenahi, tidak hanya di Yogya, tapi juga di kota-kota lain, untuk meningkatkan keamanan, kenyamanan dan keselamatan berkendara.

Urutan giliran mendapatkan lampu hijau dapat diatur bervariasi, misalnya: searah dengan putaran jarum jam (Utara-Timur-Selatan-Barat), berlawanan arah dengan putaran jarum jam (Utara-Barat-Selatan-Timur), atau kombinasi keduanya (Utara-Selatan-Timur-Barat atau Utara-Selatan-Barat-Timur). Tidak ada aturan yang mengatakan bahwa pilihan yang satu lebih baik dari yang lain. Semua pilihan sama baiknya, asalkan diterapkan secara konsisten.

Yang saya perhatikan di kota ini, kebanyakan APILL diatur mengikuti arah putaran jarum jam (contohnya pada pertemuan antara Jalan Kaliurang dengan Ring Road Utara), beberapa diatur berlawanan dengan arah putaran jarum jam (pertemuan Jalan Palagan Tentara Pelajar dengan Ring Road Utara). Kedua persimpangan ini lokasinya hanya bersebelahan saja. Meskipun jarang ada juga yang diatur mengikuti pola kombinasi, Timur-Barat-Selatan-Utara (pertemuan Jalan Wates dengan Ring Road Barat). Karena perbedaan pola ini saya kadang ‘salah hitung’. Saya pikir giliran hijau untuk saya masih lama, sehingga isteri menyempatkan diri membeli ‘Tahu Sumedang’ misalnya, ternyata tiba-tiba sudah dapat giliran hijau, sementara urusan kembalian uang tahu sumedang tadi belum beres. Bisa dibayangkan suasana menjadi sedikit kacau dan bising dengan bunyi klakson, mungkin juga ada sumpah serapah dari mereka yang tidak sabar menunggu.

Pengemudi mobil dan motor kadang tidak berpedoman pada ‘jatah’ lampu hijau untuk posisinya, terutama mereka yang berada di bagian paling depan. Misalnya kendaraan yang datang dari arah Selatan untuk aturan ‘searah jarum jam’, saat kendaraan yang datang dari arah Timur mulai mengurangi kecepatan (giliran lampu merah untuk arah Timur), mereka sudah mulai berjalan. Padahal pada saat itu lampu untuk arah Selatan masih menyala merah, belum hijau. Kalau ada pengendara yang ‘salah hitung’ (urutan giliran lampu hijau ternyata diluar perkiraan) kemungkinan terjadi ‘crash’ (benturan antar kendaraan) cukup besar. Oleh karena itu urutan giliran lampu hijau harus diseragamkan untuk semua APILL (searah atau berlawanan arah dengan putaran jarum jam, pilih salah satu saja).

Penempatan lampu lalu-lintas (merah, kuning, hijau) juga perlu dibenahi untuk meningkatkan visibilitas (keterlihatan). Kebanyakan lampu lalu-lintas di Indonesia hanya dipasang di bagian kanan, kiri dan atas. Posisi ini cukup menyulitkan bagi pengendara yang ada di bagian depan antrian (harus menengok ke kiri, kanan atau mendongak). Itulah sebabnya pengendara di depan biasanya terlambat menyadari bahwa lampu sudah berubah dari merah manjadi hijau. Di negara lain yang sudah lebih maju dalam hal pengaturan lalu-lintas, selalu ada lampu tambahan di bagian depan (di seberang persimpangan), yang sangat membantu meningkatkan visibilitas secara keseluruhan. Dan terakhir, banyak lampu lalu-lintas yang sudah rusak sebagian (tidak dapat berfungsi penuh), sudah seharusnya mendapat prioritas untuk segera diperbaiki. (Artikel ini telah dimuat di koran Kedaulatan Rakyat, 23 April 2021).

Sumber gambar: http://www.dev.dishub.jogjaprov.go.id/

Regulasi dan Eksistensi Sepeda Sebagai Moda Transportasi

Penulis: Hafid Lastito

Pemerintah menerapkan berbagai kebijakan untuk meminimalisir kegiatan yang mengarah pada interaksi langsung dengan manusia dalam rangka mengurangi potensi penyebaran COVID-19. Salah satu bentuk kebijakan tersebut adalah penerapan kegiatan dari rumah, baik untuk bekerja maupun bersekolah. Kebijakan tersebut berimplikasi pada perubahan pola kebiasaan dan perilaku masyarakat salah satunya dalam berolahraga. Keterbatasan akses pada ruang tertutup seperti fitness centre dan alokasi waktu yang menyebabkan maraknya kegiatan berolahraga di ruang ruang. Masyarakat juga semakin menyadari pentingnya melakukan olah raga untuk menjaga kebugaran dan meningkatkan imunitas di masa pandemi COVID-19.

Salah satu olahraga favorit sebagian besar masyarakat saat ini adalah dengan bersepeda. Sebuah harian nasional edisi 6 Februari 2021 menyebutkan terjadinya peningkatan tren bersepeda selama pandemi. Strava, sebuah aplikasi untuk mengukur aktivitas fisik dan olahraga mencatat sepanjang 2020 terjadi aktivitas bersepeda di dunia sebesar 8,1 miliar mil, meningkat dibanding tahun sebelumnya sebesar 5,6 miliar mil. Dari sisi perdagangan, data Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) mencatat bahwa jumlah ekspor sepeda Indonesia pada Januari sampai November 2020 mencapai 103,37 juta dollar AS, atau setara 1,4 triliun rupiah. Jumlah ini meningkat sekitar 27,52 persen dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 81,06 juta US Dollar.

Aktifitas bersepeda belakangan semakin marak, bukan hanya untuk berolahraga, namun juga untuk mendukung aktifitas sehari-hari, seperti bekerja dan berbelanja. Semakin banyaknya masyarakat yang menggunakan moda sepeda semestinya dijadikan momentum untuk mendukung pengembangan transportasi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Di sisi lain, keberadaan pesepeda di jalan raya seringkali tidak terjamin keselamatannya karena belum adanya fasilitas bersepeda yang layak, misalnya banyaknya ruas jalan yang belum memiliki lajur sepeda.

Terkait hal tersebut, Pemerintah baru-baru ini menerbitkan regulasi yang sangat mengedepankan nilai keselamatan pesepeda dalam berlalulintas. Peraturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 59 Tahun 2020 Tentang Keselamatan Pesepeda di Jalan, yang mulai diberlakukan bulan Agustus 2020. Peraturan tersebut sangat positif bagi inovasi kebijakan di sektor transportasi, karena belum banyak kebijakan atau peraturan yang spesifik mengatur tentang sepeda. Sebelumnya peraturan yang ada lebih banyak mengatur mengenai kendaraan bermotor (mobil, sepeda motor) dan sangat sedikit mengatur kendaraan tidak bermotor termasuk sepeda. Dalam regulasi tersebut diatur bagaimana mengupayakan ketertiban berlalu lintas dan keselamatan dalam penggunaan sepeda di jalan raya termasuk apa saja yang diwajibkan untuk dipenuhi dalam sebuah sepeda agar menunjang keselamatan pesepeda dan juga pengguna jalan yang lain. Peraturan ini mendefinisikan sepeda sebagai kendaraan tidak bermotor yang dilengkapi dengan stang kemudi, sadel, dan sepasang pedal yang digunakan untuk menggerakkan roda dengan tenaga pengendara secara mandiri. Artinya secara detil definisi sepeda dijelaskan dengan penegasan bagaimana bentuk dan semua bagian dalam rangkaian sepeda. Selanjutnya keselamatan menjadi tujuan utama dari pengaturan ini sebagai upaya penegasan penggunaan komponen persyaratan keselamatan bagi sepeda yang akan beroperasi di jalan. Kemudian terdapat pula pengaturan terkait dengan kewajiban dalam menyediakan fasilitas pendukung bagi para pesepeda.

Beberapa catatan positif terkait pemberlakuan regulasi ini adalah 1) adanya pemenuhan hak bagi pesepeda baik di jalan, simpul transportasi, maupun tempat-tempat fasilitas umum, 2) terdapat kewajiban pemerintah untuk menyediakan fasilitas pendukung bagi pesepeda yang beroperasi di jalan hingga tingkatan kelas jalan yang paling rendah sesuai dengan tingkat kewenangannya, 3) terdapat penegasan adanya kewajiban bagi penyelenggara fasilitas umum untuk menyediakan parkir khusus untuk sepeda.
Namun demikian, terdapat beberapa catatan yang dapat menjadi bahan pembahasan lebih lanjut yaitu 1) inovasi teknologi seperti keberadaan sepeda listrik perlu diatur secara eksplisit, 2) konektivitas lajur sepeda dengan angkutan umum perlu didefinisikan dengan lebih spesifik. Saat ini, keberadaan sepeda lipat (folding bike) berkembang cukup populer seharusnya dapat mendukung terwujudnya integrasi moda antara sepeda dan moda angkutan lainnya. Harapannya, keberadaan aturan terkait pesepeda ini dapat menjaga momentum bersepeda ini tetap terjaga.

Sumber gambar: https://dishub.jogjaprov.go.id

Anak Sekolah dan Pola berkegiatan Kita

Tanpa disadari, kondisi anak sekolah jaman sekarang berbeda jauh dengan beberapa dekade lalu. Tahun 80an, banyak anak-anak SD (termasuk penulis) yang sejak kelas satu sudah berangkat dan pulang sendiri, tanpa orang tua harus mengantar jemput setiap hari. Hal ini karena lokasi sekolah dekat, tidak sampai 500 meter dari rumah. Apalagi banyak teman yang searah, sehingga dapat berangkat dan pulang bersama-sama, baik dengan jalan kaki maupun bersepeda.

Saat ini, kondisi semacam itu terasa musykil dilakukan, terutama pada anak-anak yang bersekolah jauh dari tempat tinggalnya, sehingga harus diantar jemput setiap hari baik oleh orang tua, atau orang lain yang diberi tugas untuk itu. Pola semacam ini menimbulkan peningkatan arus lalu lintas menuju dan dari sekolah anak, terutama pada jam-jam berangkat dan pulang sekolah. Seringkali muncul dampak ikutan berikutnya, yaitu kemacetan pada ruas jalan akses ke sekolah tersebut. Kemacetan dapat semakin parah apabila sebagian besar pengantar menggunakan kendaraan roda empat. Kita dapat menyimaknya misalnya di sebuah sekolah dasar di seputar Seturan, Babarsari dan juga Sapen, sekitar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mengapa?

Ada beberapa alasan yang menyebabkan perilaku anak bersekolah dan dampak ikutannya tersebut muncul, diantaranya adalah:

Pertama, keinginan untuk mendapatan sekolah yang terbaik. Banyak orang tua yang sadar bahwa persaingan di masa mendatang semakin berat, bukan hanya di dalam negeri, namun juga dalam lingkup Asean maupun global. Hal ini membuat orang tua menginginkan anaknya mendapatkan bekal yang terbaik, dengan memilihkan sekolah yang terbaik, walaupun mungkin jauh dari tempat tinggalnya. Belum lagi, anak juga dibekali dengan berbagai kursus dan les, yang juga akan meningkatkan jumlah perjalanan.

Kedua, besarnya komposisi anak usia pendidikan dasar yang dimungkinkan karena kurang bergaungnya program Keluarga Berencana beberapa tahun belakangan ini. Data dari Badan Pusat Statistik (2015) memperlihatkan porsi anak sekolah pendidikan dasar (kelompok umur 0 hingga 15 tahun yang diasumsikan memiliki ketergantungan mobilitas terhadap orang tua) di DIY adalah sekitar 22%. Hal ini menimbulkan besarnya bangkitan perjalanan yang muncul karena dukungan mobilitas orang tua untuk kegiatan kelompok umur tersebut.

Ketiga, sifat irrasional orangtua, yang seringkali memaksakan menggunakan mobil pribadi, meskipun mengerti bahwa hal itu akan menambah kemacetan. Sikap irrasional ini sesungguhnya merupakan gabungan dari sikap gengsi dan pamer, yang dipicu oleh ketidakpercayaan diri apabila melakukan perjalanan bukan dengan mobil pribadi.

Keempat, rasa khawatir dengan kondisi anak apabila menggunakan moda lain baik karena gangguan kesehatan maupun keamanan di jalan. Hal ini terjadi karena kondisi lingkungan saat ini jauh lebih kompleks dibandingkan beberapa dekade lalu, yang menimbulkan kekhawatiran orangtua untuk melepas bebas anak-anaknya ke sekolah. Ditambah lagi, kondisi cuaca yang tidak stabil dan berubah-ubah yang menyebabkan kebutuhan akan sarana transportasi yang terlindung meningkat.

Kelima, belum layaknya angkutan umum massal untuk melayani anak sekolah. Meskipun saat ini sudah ada angkutan khusus untuk antar jemput sekolah, baik yang disediakan oleh perusahaan yang bekerjasama dengan pihak sekolah, perusahaan luar maupun pribadi, namun seringkali kurang layak baik dari sisi kapasitas tempat duduk, rute, maupun kualitas pelayanan. Hal ini menyebabkan kurangnya daya tarik angkutan antar jemput tersebut bagi orang tua maupun anak-anaknya.

Lalu Bagaimana?

Solusi atas permasalahan yang muncul tentu tidaklah sederhana, karena mencakup area permasalahan yang cukup luas dan kompleks. Solusi paling sederhana adalah menengarai sebab-sebab dari permasalahan dan berusaha untuk melakukan mitigasi atas permasalahan tersebut. Mitigasi dilakukan untuk mengurangi dampak yang muncul, misalnya dengan ketetapan hati untuk menyekolahkan anak di fasilitas pendidikan yang terdekat, meskipun dengan berbagai risiko dan dampak lain yang muncul. Apabila mitigasi ternyata sulit dilakukan, maka perlu dilakukan tindakan adaptasi, dengan mengubah perilaku perjalanan misalnya dalam bentuk perubahan waktu, rute, dan moda yang digunakan. Tentu semua tidak semudah membalik telapak tangan untuk mengubah keadaan, tapi tentu semuanya perlu dimulai, dari sekarang. (Dwi Ardianta Kurniawan)

Adaptasi Terhadap Kemacetan

Pengantar

Adaptasi dalam literatur didefinisikan sebagai penyesuaian perilaku yang dapat meningkatkan kemampuannya untuk mengatasi tekanan eksternal (Brooks, 2003). Adaptasi seringkali dikaitkan dengan ketidakmampuan individu untuk mengurangi tekanan eksternal, sehingga memilih merubah perilaku agar tetap eksis dengan kondisi yang ada.

Kemacetan yang dialami oleh banyak kota besar di Indonesia, termasuk Yogyakarta merupakan tekanan eksternal yang sulit dihindari oleh penduduk kota. Dengan keterbatasan yang dimiliki, penduduk secara individu tidak akan mampu mengurangi tekanan tersebut. Alih-alih mengurangi, tambahan perjalanan yang dilakukan seorang individu mungkin justru menambah kemacetan di sebuah ruas yang dampaknya dapat meluas ke lingkup kawasan. Untuk berdamai dengan kondisi tersebut, penduduk kota akhirnya merubah perilaku dalam bentuk adaptasi.

Bentuk adaptasi

Apa yang dilakukan penduduk sebagai pelaku dan pihak terdampak dari kemacetan? Sejauh yang dapat diamati, salah satu bentuk adaptasi adalah mengatur waktu dan tujuan perjalanan, terutama pada kegiatan yang bukan merupakan kegiatan primer. Misalnya saat liburan, warga masyarakat biasanya justru memilih untuk berkegiatan di rumah atau memilih lokasi yang bukan merupakan wilayah rawan macet, seperti pusat kota dan lokasi wisata. Waktu perjalanan juga diatur bukan pada waktu jam-jam macet, walaupun kemacetan pada saat liburan relatif terjadi dalam rentang waktu yang lebih lama.

Strategi kedua yang dilakukan adalah memilih rute yang berbeda. Mereka yang sudah sekian lama berada di sebuah kota akhirnya hapal jalan-jalan yang relatif sepi dan cukup nyaman untuk dilewati. Lokasi yang memiliki banyak jalan alternatif akhirnya lebih menguntungkan dibandingkan lokasi yang memiliki alternatif akses yang terbatas. Strategi ini efektif berlaku ketika tidak banyak pelaku perjalanan lain yang mengikuti, tapi seringkali menjadi bumerang ketika rute alternatif itu menjadi rute utama sehingga memunculkan kemacetan baru. Apa yang terjadi pada Jalan Selokan Mataram terutama ruas Jalan Affandi (Gejayan) – Seturan dapat menjadi contoh yang bagus mengenai hal ini.

Strategi ketiga yang juga dapat dilakukan adalah mengganti moda, terutama mobil menjadi motor dan sepeda juga berjalan kaki pada lokasi yang relatif dekat. Penggantian moda ini cukup menguntungkan karena fleksibilitas sepeda dan sepeda motor yang membutuhkan ruang gerak yang lebih kecil dibandingkan mobil. Ditunjang harga dan fasilitas kredit yang relatif mudah, pertumbuhan moda ini tak heran menjadi cukup tinggi.

Sudah cukupkah?

Pertanyaan yang muncul adalah, cukupkah semua itu dilakukan? Apakah pelaku perjalanan diharuskan terus menerus menyesuaikan diri dengan kondisi macet yang terjadi? Apakah ini sudah merupakan sistem yang benar dan harus dilanjutkan?

Menurut hemat penulis jawabannya TIDAK. Adaptasi masyarakat terhadap kemacetan adalah solusi jangka pendek yang keberlanjutannya sangat rentan, karena sangat tergantung oleh baik buruknya kinerja sistem transportasi secara keseluruhan. Dalam adaptasi, pelaku perjalanan berupaya untuk tetap melakukan perjalanan dengan perbaikan sistem transportasi yang minimal. Disadari, perbaikan sistem memerlukan upaya menyeluruh, baik dari sisi supply maupun demand. Peran pemerintah seringkali hanya mampu menjangkau sisi supply, baik berupa penyediaan infrastruktur, sarana angkutan umum maupun regulasinya. Sementara sisi demand jauh lebih rumit, karena terkait dengan aspek lintas sektor, seperti tata guna lahan dan kebijakan mobil pribadi. Celakanya, sebagian besar penentu demand tersebut berada di luar kewenangan dinas yang mengurusi transportasi, sehingga tidak dapat melakukan intervensi secara optimal.

Demikianlah, dalam jangka pendek, strategi adaptasi dapatlah dijadikan salah satu solusi agar urusan harian penduduk kota dapat terpenuhi. Dalam jangka lebih panjang, campur tangan pemerintah secara lintas sektor diperlukan, sehingga sistem transportasi kota dapat tetap berjalan secara berkelanjutan. (Dwi Ardianta Kurniawan)

Manfaat

Kegiatan ini menjawab tantangan ekonomi, sosial, dan lingkungan yang dihadapi dunia, karena Indonesia dan regional sekitarnya zona ekonomi paling dinamis merupakan sehingga masalah perkotaannya merupakan perhatian local, nasional, dan global. Proyek ini mendukung strategi transportasi logistic perkotaan dan pengembangan kebijakan yang menjawab akar permasalahan dari disfungsi sistem perkotaan yang potensial.

Tujuan

Untuk membuat pusat keilmuan dan kajian atau Center of Excellence (CoE) untuk melakukan penelitian, pendidikan, advokasi, pembangunan kapasitas kota, pelatihan professional mengenai perencanaan dan pengelolaan transportasi perkotaan, mendukung formulasi kebijakan publik, memperluas jejaring akademik dan advokasi untuk memahami dan menghadapi persoalan terkait transportasi barang di perkotaan Indonesia, mengaplikasikan pelajaran yang didapatkan, dan membuat temuan dan best practice dapat diakses semua orang. Adapun tujuan khususnya sebagai berikut:

  1. Penelitian, meliputi:
  • Melaksanakan penelitian multidisipliner yang telah disepakati temanya dan dijalankan bersama dengan universitas mitra
  • Mengembangkan model, konsep, dan data untuk memenuhi tujuan Efisien/Ramping, Bersih, dan Ramah Lingkungan/Hijau (lean, clean, and green)
  • Mengkomunikasikan dan mendiseminasi hasil temuan kepada akademisi, pemerintah, pelaku bisnis, masyarakat, serta pembuat keputusan/ kebijakan
  1. Pendidikan: Mendukung penelitian doctoral dalam bidang urban logistics, serta melibatkan mahasiswa sarjana dan pascasarjana dalam penelitian.
  2. Advokasi: Menjalankan advokasi untuk sistem logistic perkotaan yang lean, clean, dan green untuk pemerintah, bisnis, dan NGO yang relevan
  3. Pembangunan kapasitas kota dan Pelatihan Eksekutif/Profesional: Membangun kapasitas kota percontohan melalui pelatihan eksekutif/professional, akses kepada tenaga ahli, pendukung pengambilan keputusan, pengelolaan data, dan akses kepada jaringan lokal dan internasional
  4. Jaringan Regional dan Internasional: Berkontribusi pada pengetahuan, data, dan masukan ahli untuk jaringan freight dan logistic regional dan internasional

Latar Belakang

Dalam perkembangan studi mengenai transportasi perkotaan terdapat kesenjangan dalam pendekatan ilmiah terkait dengan isu freight atau transportasi logistik. Kekurangan utama secara ilmiah dalam memahami sistem yang kompleks ini adalah:

  • Kurangnya integrasi antara perencanaan transportasi umum yang didominasi oleh kajian transportasi penumpang, dan supply chain management yang didominasi oleh kajian transportasi barang.
  • Kurangnya perhatian pada transportasi logistik atau barang dalam perencanaan spasial perkotaan
  • Kurangnya kemampuan sistem transportasi perkotaan dalam beradaptasi dengan perkembangan kota yang tidak terkendali, seperti yang terjadi pada negara-negara berkembang yang mengalami hyper growth dan hyper urbanization.

Kombinasi dari perkembangan demografi, perubahan ekonomi global dan perkembangan sosial di beberapa bagian Asia menuju kepada hyper urbanization dengan laju melebihi semua rekor yang pernah tercatat dalam sejarah. Kota kota Indonesia seperti Jakarta dan Palembang berada pada tingkat 47 dan 49 dalam peringkat kecepatan perkembangan dunia antara 2006 dan 2010, tumbuh dengan rata-rata 3% per tahun. Apabila tren ini berlanjut, populasi kota Jakarta akan menjadi 2 kali lipat pada tahun 2033 hanya dalam waktu 23 tahun. Konsekuensi dari hal ini adalah kenaikan demand yang pesat dari transportasi penumpang dan barang.

Ketidakmampuan untuk mengakomodasi pertumbuhan luar biasa dari demand transportasi saat inipun sudah menunjukkan dampak pada lingkungan, baik pada wilayah kota yang mengalami pertumubuhan pesat pada batas luarnya, maupun pada kota yang tumbuh begitu cepatnya sehingga tidak mampu memenuhi demand transportasi secara keseluruhan.

Masa depan dari transportasi kemungkinan besar akan dihadapkan pada kenyataan pertumbuhan jumlah mobil pribadi, kendaraan komersial, dan sepeda motor yang mencapai 20-30% per tahun. Saat inipun, banyak kota-kota di Indonesia yang dihadpakan pada masalah kemacetan dan polusi, yang sebagian besar disebabkan oleh sistem transportasi yang tidak efisien.

Dalam konteks Indonesia dengan kondisi seperti ini, sangat relevan agar dilakukan penelitian untuk menjawab kesenjangan dalam pendekatan ilmiah antara pengelolaan transportasi logistik perkotaan dengan transportasi penumpang. Sudah dipastikan untuk dapat mengimplementasikan kegiatan tersebut perlu ada keterlibatan dari pemerintahan kota dan nasional dalam pengelolaan perdagangan regional, framework institusional diperlukan oleh pihak swasta dan publik, serta monitoring dan asesmen dengan indicator yang relevan untuk memantau progress perbaikan menuju pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Ringkasan

Dalam 50 tahun mendatang, sistem logistik di seluruh dunia harus merespon tiga kondisi. Sistem logistik harus sangat efisien dalam pengelolaan energi dan finansial (lean), harus meningkatkan dan bukannya mengurangi kualitas lingkungan perkotaan dan kesehatan penduduk kota (clean), dan tidak boleh merusak sistem ekologi lokal maupun global (green). Sistem logistik juga perlu menjadi bagian dari pengembangan kota yang inklusif dan menebar manfaar dari pertumbuhan ekonomi ke seluruh lapisan masyarakat.

Dalam menjawab berbagai persoalan dan tantangan, tujuan makro dari kegiatan ini adalah menjalankan penelitian, pendidikan, advokasi, pembangunan kapasitas kota, dan pelatihan eksekutif dan professional mengenai perencanaan dan pengelolaan sistem transportasi kota, mendukung formulasi kebijakan public, dan mendorong jejaring akademik dan advokasi untuk memahami dan menyikapi masalah terkait logistic yang muncul di kota-kota Indonesia dengan mengaplikasikan temuan dan solusi, serta membuat informasi dan lesson learnt dapat diakses oleh seluruh masyarakat regional.Center of Excellence (CoE) ini akan menjalankan penelitian multi disipliner, program pendidikan, pelatihan, dan program advokasi. CoE yang dimaksud adalah jaringan universitas dan stakeholder yang bekerjasama dalam penelitian dan best practices, serta menjalankan program diseminasi pengetahuan bersama.