Sosiologi Politik Pembangunan Infrastruktur Jalan Tol Trans Jawa
Pustral-UGM menyelenggarakan Seminar Bulanan dengan Judul “Sosiologi Politik Pembangunan Infrastruktur Jalan Tol Trans Jawa” bertempat di Pustral-UGM, Jum’at 26 Juli 2019 dengan Pembicara Prof. Dr. Sunyoto Usman.
Seminar bulanan dengan tema kali ini dilatarbelakangi oleh kondisi dilapangan terkait pola pembangunan infrastruktur yang dalam hampir dua dasa warsa terakhir ini bergerak dari semula didominasi negara bergeser menjadi lebih melibatkan peran sektor swasta dengan segala capaian dan kecerdasan entrepreneurship yang mereka miliki. Dengan merujuk pada sebuah buku yang terbit pada tahun 2015 berjudul Indonesia’s Changing Political Economy: Governing The Roads oleh Jamie S. Davidson terbitan Cambridge University Press (diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Menaja Jalan, Ekonomi Politik Pembangunan Infrastruktur Indonesia; Insist Press, 2019). Buku ini membahas pembangunan jalan tol di Jawa dengan pendekatan “sosiologi politik pembangunan infrastruktur”. Pendekatan ini diyakini lebih komprehensif karena menawarkan analisis yang lebih komprehensif,maksudnya tidak hanya terpaku pada pendekatan formalistis, tetapi juga relasi-relasi informal di antara pemerintah dan swasta dalam formulasi dan eksekusi keputusan.
Dalam paparannya, Sunyoto Usman yang merujuk pada buku karangan Jamie Davidson, menjelaskan tentang upaya pemerintahan Soeharto (Orde Baru), dan pasca Soeharto untuk mewujudkan infrastruktur jalan tol. Pada masa pemerintahan Soeharto, Jamie Davidson mengidentifikasi berbagai kekuatan kunci non-institusional yang merusak koordinasi dan efektivitas kinerja lembaga-lembaga formal dalam pemerintahan Soeharto. Davidson membahas bagaimana kroni-kroni penguasa ketika itu melakukan monopoli bisnis pembangunan jalan tol terutama di Jakarta. Pembahasan ini menyoroti proses kroni-kroni tersebut mendapatkan berbagai konsensi, dan membuat posisi lembaga-lembaga formal yang bertanggung jawab dalam pembangunan jalan tol terpinggir dan menjadi marginal. Kontrol publik amat lemah, kegiatan pembangunan jalan tol melembagakan konspirasi dan korupsi.
Selanjutnya Davidson membahas berbagai upaya yang dilakukan pemerintah pasca Soeharto membangun infrastruktur termasuk jalan. Pembahasan ini mengurai secara rinci UU Nomer 38/2004 tentang Jalan. Pada periode ini pemerintah menghadapi dua masalah krusial. Pertama, terjadi penolakan masyarakat terhadap Perpres Nomer 36/2005 tentang pangadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Kedua, sumber pendanaan untuk pembangunan infrastruktur, termasuk jalan. Kendatipun pemerintah meminta supaya sejumlah bank milik negara menjalin kesepakatan utang dengan para pemegang izin, namun tidak dapat berjalan seperti diharapkan. Pelaksanaan proyek amat lamban. Perselisihan antar kementerian ikut memperlambat kucuran dana pemerintah untuk proses pembebasan lahan.
Davidson kemudian membahas pelbagai tantangan yang dihadapi pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono periode kedua (2009-2014) dalam menghubungkan ruas-ruas jalan tol. Tantangan itu di seputar pembebasan lahan non-sukarela (involuntary), benturan kepentingan pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten/kota sebagai imbas dari UU No 2/2012 tentang pengadaan tanah bagi kepentingan umum. Ketika itu terjadi penolakan sebagian anggota parlemen yang merasa bahwa peraturan perundangan yang berlaku lebih memihak kepentingan investor atau tidak menunjukkan prinsip-prinsip yang populis. Dalam bab berikutnya Davidson membahas masalah penguasaan harta public (public goods). Davidson menunjukkan betapa sejumlah kecil pelaku bisnis pemegang konsensi menjadi pemburu renten yang membuat megaproyek Jalan Tol Trans Jawa menjadi mangkrak. Mereka memiliki posisi tawar tinggi dan ikut terlibat aktif dalam mengendalikan pemerintahan. Davidson juga membahas kasus politik lokal dalam pembangunan jalan tol di Jawa Tengah. Davidson menunjukkan bagaimana masyarakat sipil, DPR Daerah dan pemilik lahan telah berhasil menggagalkan mobilisasi yang dilakukan perangkat pemerintah provinsi dalam proses pembangunan jalan tol di Jawa Tengah. Sebagai komparasi Davidson membahas penyelenggaraan jalan tol di Jakarta dan Surabaya. Keduanya menunai penolakan dari kepala daerah yang berhaluan “reformis”.
Buku Davidson lebih memberi tekanan pada kegiatan provisi atau proses bagaimana jalan Tol Trans Jawa dibangun. Selanjutnya perlu pengetahuan tentang utilisasi atau bagaimana pemerintah kabupaten/kota mengelola dan mendayagunakan jalan tol tersebut. Seberapa jauh social readiness mereka dalam utilisasi jalan tol yang telah dibangun.
Menurut Sunyoto Usman, fokus peran pemerintah kab/kota terkait dampak jalan tol adalah: 1) Utilisasi jalan tol untuk mengembangkan jaringan (networking) desa-desa dan kawasan industri dengan pasar, terminal, pelabuhan dan bandara; 2) Mengembangkan infrastruktur dan lembaga menjadi “supporting facilities” terhadap networking tersebut; 3) Mengembangkan growth center bagi multifier efek jalan tol, mengutamakan potensi lokal; 4) Mengembangkan kebijakan dan program pemberdayaan masyarakat terkait dengan keberadaan jalan tol; dan 5) Membangun komunikasi, kerjasama dan koordinasi dengan investor, perbankan, lembaga keuangan mikro, pengusaha eksport-import (misal kerajinan).
Sedangkan fokus pemerintah kab/kota terkait utilisasi jalan tol adalah: 1) Menindak-lanjuti regulasi tentang jalan tol yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan provinsi, terkait dengan UU jalan; 2) Mengeluarkan regulasi terkait dengan koneksi dan utilisasi jalan kab/kota, jalan provinsi dan jalan tol, 3) Optimalisasi fungsi, fasilitasi, pengawasan dan pemantauan “lembaga-lembaga” terkait dengan koneksi dan utilisasi jalan kab/kota, jalan provinsi dan jalan tol, dan 4) Mengembangkan infrastruktur transportasi (baru/lama) level kab/kota (spt jalan kab/kota, jembatan, terminal, halte, rambu-rambu dsb) sebagai “supporting facilities” jalan tol.