Mengapa Tidak (Lagi) Memakai Helm?
Pengantar
Di jalanan, saat ini dengan mudah dapat dijumpai para pengendara yang tidak mengenakan helm. Hal itu bukan hanya dilakukan oleh para pembonceng atau anak-anak kecil yang biasanya seperti dimaafkan bila melanggar, namun juga oleh para pengendara dewasa yang memegang kemudi. Yang memprihatinkan lagi, perilaku itu tidak lagi dilakukan di jalan-jalan kecil yang relatif sepi, namun juga di jalan-jalan utama bahkan jalan arteri seperti Jalan Lingkar Utara Yogya, yang penuh dengan kendaraan berat. Perilaku ini tentu sangat berresiko, karena trauma kepala akibat kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab utama disabilitas (kecacatan) dan mortalitas (kematian) di negara berkembang. Keadaan ini umumnya terjadi pada pengemudi motor tanpa helm atau memakai helm yang kurang tepat dan yang tidak memenuhi standar (Kementerian Kesehatan RI, 2009).
Lalu mengapa fenomena ini terjadi? Bukankah kita pernah sukses mengubah perilaku pengendara dari helm ‘ciduk’ yang berbahan tipis dan tidak mampu melindungi kepala menjadi helm standar yang layak dipergunakan untuk berkendara walaupun harganya cukup mahal? Mengapa perilaku itu seolah perlahan luntur dan hilang? Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi perubahan perilaku tersebut?
Indikasi Penyebab
Ada beberapa indikasi baik secara terpisah atau bersama-sama yang menyebabkan fenomena tersebut terjadi. Pertama, kurangnya kesadaran mengenai fungsi helm sebagai pelindung keselamatan dalam berkendara. Hal ini dapat dilihat misalnya dengan keengganan menggunakan helm untuk perjalanan jarak dekat. Tentunya perlu disadari bahwa kejadian kecelakaan dapat terjadi di manapun dan kapanpun, dengan tingkat kefatalan yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Apalagi cedera kepala adalah penyebab tingkat fatalitas yang tertinggi dalam kecelakaan, sehingga diperlukan pengaman untuk mengurangi resiko tersebut.
Kedua, motivasi mengenakan helm sebagai pemenuhan kewajiban belaka. Akibatnya, banyak pengendara yang menggunakan helm hanya ketika ada ada petugas atau di jalan-jalan utama, dan kemudian melepasnya setelah dirasa aman dari pantauan. Pemakaian helm dengan demikian juga dipengaruhi oleh konsistensi petugas dalam melakukan penindakan pada pengendara yang melanggar. Ketika ada kelonggaran, maka pengendara juga akan cenderung lalai menerapkan ketentuan tersebut. Hal ini sebenarnya mencerminkan pandangan yang naif, karena penggunaan helm adalah untuk keselamatan pengendara sendiri, bukan untuk kepentingan petugas.
Ketiga, harga helm standar yang relatif mahal, apalagi dengan kenaikan Bahan Bakar Minyak yang berdampak pada kenaikan harga-harga kebutuhan hidup. Bagi pembeli motor baru, biasanya sudah ada bonus helm standar yang dapat digunakan. Namun bagi pembonceng maupun anak-anak, diperlukan alokasi tersendiri untuk membeli helm, yang seringkali menjadi prioritas akhir dibandingkan kepentingan lainnya.
Keempat, mementingkan penampilan. Alasan ini sepertinya banyak menghinggapi anak-anak muda yang tidak ingin penampilannya tertutupi oleh helm standar yang cenderung menutupi wajah. Dalam era ketika narsisme merajalela ini, aspek penampilan menjadi pertimbangan penting bagi seseorang dalam bertingkah laku, juga ketika berkendara. Maka, jangan heran ketika perilaku tanpa helm ini banyak ditemui pada pusat-pusat kegiatan anak muda, yang dengan mudah dapat ditemui anak-anak muda yang berboncengan tanpa helm di kepala.
Bagaimana Seharusnya?
Bagaimanapun, penggunaan helm adalah wajib bagi para pengendara kendaraan roda dua, karena alasan keselamatan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Dalam kondisi masyarakat yang seringkali menganggap peraturan adalah untuk dilanggar, adanya ketegasan penerapan hukum oleh petugas adalah mutlak dilakukan, tentu diikuti dengan konsistensi penerapannya.
Di sisi lain, diperlukan kesadaran setiap pengendara untuk menaati peraturan yang berlaku, apalagi disadari perilaku itu akan sangat mudah menular kepada pengguna lainnya. Alangkah indahnya apabila kita ikut menularkan perilaku baik di jalan, dan bukannya ikut menyebarkan perilaku buruk yang begitu mudah menyebar seperti virus. Mari kita lebih bertanggung jawab dalam berkendara, cukup dengan satu langkah mudah: mengenakan helm ketika berkendara. Semua tentu bisa. (Dwi Ardianta Kurniawan)