Inefisiensi Penyediaan Infrastruktur
Penulis: Dwi Ardianta Kurniawan, ST., M. Sc.
Pada sebuah ruas jalan di Kabupaten Sleman berdiri beberapa tiang besi dalam posisi yang berdekatan. Apabila dihitung, ada sekitar 6 tiang yang terutama berasal dari tiang telekomunikasi di lokasi tersebut. Keberadaan tiang tersebut sesungguhnya cukup menganggu pemandangan karena menyita ruang publik yang cukup besar. Selain itu, keberadaan tiang yang sebagian besar berada di tepi jalan tersebut berpotensi menjadi hambatan samping bagi pengendara yang lewat yang berpotensi menyebabkan kecelakaan.
Di sisi lain, pembangunan tiang-tiang tersebut juga terindikasi merupakan hal yang tidak efisien. Dapat dibayangkan seberapa banyak sumber daya yang dihabiskan untuk pengadaan tiang, pemasangan dan penggunaan lahan yang merupakan milik publik tersebut, baik berupa waktu, biaya maupun tenaga kerja yang dialokasikan. Secara awam, tiang-tiang tersebut seharusnya dapat lebih diefisiensikan dengan adanya tiang yang dipergunakan bersama, alih-alih mendirikan tiang sendiri-sendiri.
Keberadaan tiang-tiang tersebut bukan hanya ada di satu ruas jalan, namun tersebar di berbagai ruas, juga di berbagai wilayah kabupaten yang berbeda. Mengapa terjadi pola pembangunan tiang yang terkesan tidak efisien tersebut, terdapat beberapa hal yang menjadi indikasi penyebab. Pertama, tidak adanya kendali pendirian tiang dari pemegang kebijakan. Secara aturan, izin penggunaan ruang di tepi jalan ada pada pemerintah sesuai status jalan. Artinya, jalan nasional berada pada kewenangan pemerintah pusat, jalan provinsi diatur oleh pemerintah provinsi, dan jalan kabupaten/kota berada pada kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Pengalaman penulis, penambahan tiang pada jalan kabupaten hanya memerlukan izin dari pejabat di lingkup padukuhan dan RT. Hal ini di satu sisi memang memudahkan dalam penyediaan layanan, namun di sisi lain menyebabkan tidak terkendalinya pembangunan tiang-tiang tersebut. Dapat dimaklumi mengapa terjadi pendirian tiang yang terkesan tidak terencana di berbagai wilayah.
Kedua, terdapat banyak provider telekomunikasi yang menyebabkan tidak adanya koordinasi diantaranya provider telekomunikasi tersebut. Masing-masing provider tentu memiliki rencana bisnis dan kebijakan yang berbeda-beda, sehingga tidak selamanya memiliki kesamaan wilayah pengembangan. Selain itu, persaingan antar provider juga menjadi hambatan dalam melakukan koordinasi tersebut karena penggunaan tiang bersama akan memberi jalan kepada provider lain untuk membuka pasar pada wilayah yang sama. Meskipun demikian, faktor efisiensi dalam pengadaan dan perawatan tiang dapat menjadi pintu masuk untuk melakukan koordinasi. Dapat dibayangkan seberapa besar efisiensi yang dapat dicapai apabila terdapat ribuan tiang yang dipergunakan bersama.
Ketiga, tidak adanya rencana jangka panjang penyediaan infrastruktur baik dari penyedia maupun dari pemegang kebijakan. Di wilayah yang relatif berkembang secara ekonomi, peran operator relatif lebih dominan dalam penyediaan infrastruktur karena besarnya potensi keuntungan yang dapat diperoleh. Dalam rencana bisnis, semestinya telah dapat diprediksi besaran demand dari wilayah layanan, sehingga dapat diprediksi kebutuhan tiang di masa mendatang. Dimensi pembangunan tiang diharapkan dapat mengikuti proyeksi demand tersebut, sehingga mencegah perlunya pendirian tiang baru dengan adanya pertumbuhan demand di masa mendatang.
Penggunaan tiang bersama pada provider telekomunikasi telah dipergunakan secara luas di berbagai negara. Penggunaan tiang maupun kanal kabel bersama telah dipergunakan secara luas sejak 2008 di Italia. Kajian Booz Allen Hamilton Inc tahun 2007 menunjukkan faktor sukses penerapan tersebut ditentukan oleh upaya bersama antara operator dan regulator. Operator perlu mengkalkulasi manfaat finansial dari berbagi infrastruktur yang dimiliki, sementara regulator perlu mengembangkan kebijakan berbasis insentif untuk mengembangkan perjanjian berbagi pada level permainan yang setara. Ada banyak kasus di mana operator dapat mengidentifikasi manfaat finansial sehingga mengadopsi perjanjian pembagian infrastruktur secara mandiri. Namun demikian, dalam kasus lain, intervensi peraturan diperlukan untuk mendorong penggunaan infrastruktur secara bersama. Peraturan tersebut mencakup empat dimensi, yaitu penetapan peraturan, penetapan harga, perlindungan terhadap penerapan peraturan (regulatory safeguards), dan penegakan kebijakan.
Referensi tersebut dapat menjadi acuan replikasi kisah sukses di berbagai negara mengenai penggunaan infrastruktur secara bersama.
(Artikel ini telah dimuat di koran Kedaulatan Rakyat Jumat, 24 Maret 2023).
Sumber gambar: https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2023/02/03/512/1125222/tiang-kabel-internet-semrawut-bertebaran-di-sleman