Untuk TRANSPORTASI LEBIH BIKE: Warga Jogja Bahas Solusi Perubahan Iklim untuk Bumi Jogja Lebih Baik dan Responsif Gender
Dampak krisis iklim telah dirasakan oleh warga Kota Yogyakarta (Jogja) selama beberapa tahun belakangan ini. Krisis iklim di Kota Jogja hadir dalam bentuk kekeringan berkepanjangan, banjir yang muncul di wilayah yang tadinya tidak rentan banjir, atau banjir yang semakin parah di wilayah langganan banjir, serta angin puting beliung. Krisis iklim juga menyebabkan anomali cuaca yang menjadikan musim kemarau dan penghujan tidak lagi dapat diprediksi berdasarkan hitungan bulan kalender.
Dalam konteks Jogja, salah satu kontribusi terbesar atas krisis iklim adalah polusi dan karbon yang dihasilkan dari penggunaan kendaraan bermotor. Berdasarkan penelitian Pustral UGM pada tahun 2015, penyumbang terbesar emisi karbon di Kota Jogja berasal dari sumber bergerak dimana lebih dari 60 persen emisi karbon di kota ini berasal dari penggunaan kendaraan bermotor pribadi.
“Studi Walkability dan Bikeability yang kami lakukan bersama kampanye Jogja Lebih Bike di awal tahun ini menemukan bahwa faktor yang mendorong orang memilih moda transportasi yang lebih ramah lingkungan khususnya bersepeda adalah ketersediaan fasilitas dan kondisi kesehatan. Oleh karena itu, Pemerintah perlu mendorong peningkatan kondisi infrastruktur jalur dan fasilitas sepeda agar momentum penggunaan moda yang ramah lingkungan ini tidak terkikis, sehingga upaya untuk mengurangi polusi udara dan menyehatkan atmosfer Kota Jogja dapat terwujud. Terlebih lagi ketika bersepeda menjadi gaya hidup, Pemerintah perlu memberikan ruang dan fasilitas yang lebih baik untuk memfasilitasi kebutuhan green life style”, jelas Dr.Ir. Zainal Arifin, MT, tenaga ahli dan peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada (Pustral UGM).
Peningkatan jumlah kendaraan bermotor di Jogja menjadi salah satu penyebab utama. Menurut data BPS Yogyakarta, pada 2016 hingga 2020 telah terjadi peningkatan kepemilikan mobil penumpang sebesar 32% dan sepeda motor mencapai 55,1%. Kondisi ini diperparah dengan semakin minimnya ruang terbuka hijau sebagai penghasil oksigen yang dapat mengurai gas rumah kaca dari kendaraan bermotor berbahan bakar fosil. Hingga saat ini, luas ruang terbuka hijau di Kota Jogja tercatat baru mencapai 23 persen yang terdiri dari 15,4 persen ruang terbuka hijau privat dan 8,12 persen untuk ruang terbuka hijau publik.
Meski perubahan iklim berdampak negatif kepada semua orang, perempuan lah akan menjadi kelompok yang paling rentan. Apalagi, Titi Soentoro, salah satu pendiri AKSI untuk Gender, Social and Ecological Justice menyatakan kelompok rentan juga mengalami marginalisasi dalam kebijakan dan pembangunan. Sehingga salah satunya menyebabkan beban ekonomi yang lebih besar bagi mereka yang terlibat dalam sektor pertanian, hingga beban yang harus ditanggung dari dampak kesehatan.
“Perubahan iklim selain belum menjadi isu strategis di Jogja, meski sudah ada Rencana Aksi Daerah (RAD) Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) melalui Pergub No.51 Tahun 2012, tetapi belum diikuti dengan aksi kabupaten atau kota terkait aksi dan kebijakan perubahan iklim, termasuk kerangka kerja yang mengukur dampak aksi lingkungan pada mitigasi dan aksi iklim, terlebih yang memiliki perspektif gender. Padahal aspek gender sudah menjadi mandat global dalam skema penanganan perubahan iklim UNFCCC”, jelasnya.
Berbagai aksi telah dilakukan untuk menyikapi perubahan iklim. Namun aksi-aksi tersebut perlu lebih mempertimbangkan konteks mitigasi, respons darurat, adaptasi ataupun recovery perubahan iklim. Kebutuhan yang paling mendesak saat ini adalah perlunya sebuah payung hukum yang mewadahi kebijakan perubahan iklim, kebijakan dan aksi lingkungan yang belum terintegrasi dengan gender perspektif di Jogja.
Pemerintah dan pemangku kepentingan juga perlu mempertegas dan memperjelas rencana kerja dalam berbagai sektor termasuk dalam kebijakan transportasi yang belum diintegrasikan dengan isu iklim dan gender. Kebijakan pembangunan harus dipertegas juga khususnya berkaitan dengan berkurangnya tutupan lahan hijau, alih fungsi lahan produktif untuk pembangunan, tidak adanya fasilitas kendaraan umum yang memadai (aman dan nyaman). Integrasi gender dalam semua elemen kebijakan yang belum sepenuhnya dijalankan, termasuk kebijakan lingkungan.
Selain dibutuhkan perhatian dan aksi nyata dan strategis dari pemerintah, dibutuhkan pula peran aktif masyarakat dalam menghadapi masalah krisis iklim. Salah satu aksi ramah iklim yang sudah dimulai warga Jogja adalah melalui gerakan Jogja Lebih Bike (www.jogjalebihbike.id), sebuah gerakan yang mendorong masyarakat untuk membantu mengurangi emisi karbon dari kendaraan bermotor di Jogja dengan bersepeda.
Donny Adhika seorang cyclist vlogger mengatakan, “Bersepeda mungkin upaya yang sederhana, namun saya percaya jika dilakukan bersama-sama, aksi ini dapat memberikan dampak yang nyata bagi kualitas udara yang lebih baik di kota kita. Saya sangat senang menjadi bagian dari gerakan Jogja Lebih Bike yang telah menginspirasi begitu banyak warga Jogja untuk melakukan aksi nyata untuk kotanya. Jadi, Ayok Lur, mulai bersepeda untuk Jogja yang lebih bike”.
Obrolan Bike sebuah platform komunikasi yang merupakan inisiasi beberapa gerakan dan organisasi masyarakat sipil yaitu Jogja Lebih Bike, SP Kinasih, Jaringan Gusdurian, Pusat Studi Logistik dan Transportasi (Pustral) UGM dan Mitra Wacana untuk meningkatkan kesadaran publik tentang isu iklim dan dampaknya bagi kota Jogja. Dalam tema “Was-Was Iklim Jogja Gak Jelas”, talk show perdana hari ini membahas krisis iklim dan pemicu utama di Jogja, yaitu polusi udara. Obrolan Bike ini menghadirkan beberapa narasumber yang membahas dari berbagai sudut pandang, yaitu kebijakan, gender, aksi, dan juga agama.
Menanggapi isu iklim di Jogja, Gus Roy Murtadho dari Jaringan Gusdurian menyatakan, “Agama itu harus membumi. Dari teori menuju aksi, dari percakapan menuju tindakan. Manusia pada hakikatnya bertugas menjadi khilafah Allah di atas bumi. Untuk itu kita semua apapun latar belakang dan agama perlu berperan untuk menjaga alam dan memulai perubahan sekecil apapun di sekitar kita untuk iklim bumi yang lebih baik.
Menyambut Hari Bumi dan bulan Ramadan, Jogja Lebih Bike dan berbagai mitra pendukung mengadakan Ngabuburide Challenge. Dari Jumat, 23 April 2021 hingga 1 Mei 2021 masyarakat Jogja diajak untuk ngabuburit dengan bersepeda dan berbagi pengalaman dan inspirasi mereka berkontribusi untuk kualitas udara kota yang lebih sehat dan bersahabat melalui kanal media sosial. Melalui kampanye ini diharapkan lebih banyak masyarakat mendapatkan informasi seputar isu iklim, serta gas buang kendaraan bermotor sebagai kontributor emisi tertinggi di kota Jogja dan dapat membangun gerakan bersama dalam merubah pola perilaku masyarakat yang lebih ramah iklim.