Masukkan kata kunci
Table of Contents

Nir Perencanaan Infrastruktur

Hari-hari ini kita mendapati banyak ruas jalan di Kota Yogyakarta tengah dibongkar pasang. Penyebabnya semua telah tahu: pemasangan jaringan pipa air minum, jaringan telekomunikasi, air limbah dan sebagainya. Kejadian ini terus berulang dari tahun ke tahun, seolah merupakan sebuah kewajaran yang harus diterima. Padahal fenomena tersebut menimbulkan banyak dampak negatif seperti gangguan aksesibilitas, resiko kecelakaan, juga kerugian akibat penurunan kualitas infrastruktur. Mengapa fenomena ini terus terjadi, setidaknya ada dua hal yang diindikasikan menjadi penyebab.

Pertama, tidak adanya rencana pengembangan infrastruktur secara jelas terutama yang bersifat jaringan dan membutuhkan ruang publik dalam penggelarannya. Infrastruktur, terutama untuk pengguna rumah tangga yang disediakan oleh swasta biasanya berkembang seiring dengan tumbuhnya permintaan. Hal ini misalnya dalam penyediaan jaringan telekomunikasi dan air bersih di perkotaan. Meskipun tumbuhnya permintaan dapat diperkirakan, namun penyediaan infrastruktur yang cukup mahal menyebabkan perlunya hitungan finansial yang menjamin tercapainya nilai keekonomian dari penyediaan infrastruktur.

Hal ini menjadikan penyediaan infrastruktur tidak dapat direncanakan untuk jangka yang cukup panjang. Implikasi selanjutnya, perluasan jaringan infrastruktur menyebabkan terjadinya bongkar pasang pada fasilitas publik, khususnya jalan yang memiliki sifat jaringan serupa dan paling ‘mudah dan murah’ untuk dieksploitasi penggunaannya. ‘Mudah dan murah’ perlu disebut dalam tanda kutip, karena penilaian tersebut sesungguhnya mengorbankan kepentingan para pihak yang terganggu, misalnya para pengguna jalan dan masyarakat yang bertempat tinggal dan beraktivitas di sekitar lokasi bongkar pasang tersebut.

Kedua, tidak tegasnya ijin pemanfaatan ruang manfaat jalan atau dikenal sebagai badan jalan. Dalam peraturan perundangan tentang jalan khususnya dalam Peraturan Pemerintah nomor 34 tahun 2006 telah disebutkan bahwa badan jalan hanya diperuntukkan bagi pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan (Pasal 35 ayat 1). Selanjutnya disebutkan pula bahwa setiap orang dilarang memanfaatkan ruang manfaat jalan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan (Pasal 38). Namun demikian disadari, bahwa kondisi banyak kota di Indonesia tidaklah ideal. Keterbatasan ruang menyebabkan berbagai toleransi dilakukan, misalnya penggunaan badan jalan untuk pemasangan fasilitas umum, seperti jaringan air limbah, air bersih, telekomunikasi, dan mungkin jaringan gas rumah tangga di masa mendatang.

Kondisi di atas meniscayakan adanya aktifitas bongkar pasang badan jalan yang terus berulang dari tahun ke tahun. Masyarakat sebagai pengguna jalan dan mereka yang beraktifitas di lokasi penggalian selalu dalam posisi yang dikalahkan dan ‘dipaksa’ untuk menerima kondisi tersebut. Tidak pernah ada sekedar pemberitahuan apalagi kompensasi atas kerugian yang ditimbulkan. Hal ini tentu tidak fair, karena penggelaran infrastruktur tersebut seringkali bertujuan komersial.

Permasalahan tersebut seharusnya dapat diantisipasi karena terindikasi akan terus berulang di masa mendatang. Salah satu yang dapat dilakukan adalah .penyediaan ruang untuk digunakan secara bersama-sama atau dikenal dengan passive infrastructure sharing. Bentuk infrastruktur pasif dapat berupa ruang kosong di bawah tanah yang dapat dipergunakan untuk berbagai jenis infrastruktur, khususnya yang memiliki sifat dan kebutuhan penanganan yang serupa. Jaringan telekomunikasi misalnya, mungkin dapat digabung dengan jaringan listrik atau pipa air bersih. Perlakuan teknis tentu perlu dibahas secara lebih detail untuk menjamin berfungsinya infrastruktur secara normal. Namun demikian, tujuan pokoknya adalah mendorong penyediaan ruang secara optimal, sehingga akan menurunkan biaya baik yang ditanggung oleh penyedia maupun masyarakat sebagai pengguna dan penerima dampak.

Penyediaan infrastruktur pasif sesungguhnya juga dapat menjadi peluang pendapatan bagi daerah, sebagai salah satu unit usaha penyediaan layanan publik sebagaimana air minum oleh PDAM. Masalahnya hanya pada kemauan dan niat dari pemerintah dan berbagai pihak yang terdampak, khususnya para penyedia layanan yang saat ini sudah memiliki jaringan tersendiri. Resistensi dapat terjadi jika nantinya diterapkan aturan menggunakan infrastruktur secara bersama-sama sebagai sebuah kewajiban misalnya. Tantangan berat mungkin akan diterima pada tahap awal sebagai transisi, namun dalam jangka panjang, penyediaan infrastruktur pasif sesungguhnya merupakan salah satu cermin bagaimana mengelola kota dengan cerdas dan berkemanusiaan. (Dwi Ardianta Kurniawan)