Arsip:

article

Transportasi Online dalam Keseimbangan Supply – Demand

Penulis: Dwi Ardianta Kurniawan, ST., M. Sc.

Struktur Industri

Transportasi online di Indonesia mulai muncul dengan beroperasinya Gojek pada tahun 2010, disusul dengan Uber dan Grab pada tahun 2014, Maxim pada tahun 2018, serta Shopeefood yang khusus melayani pengiriman makanan sejak 2020. Saat ini, operator-operator tersebut masih tetap eksis kecuali Uber yang telah berhenti sejak 2018. Dari beberapa operator tersebut, hanya Gojek yang berkantor pusat di Indonesia, serta memiliki wilayah layanan pada beberapa negara Asean, diantaranya Thailand, Vietnam, Singapura dan Filipina. Gojek sudah menjadi unicorn atau perusahaan yang memiliki valuasi minimal US$1 milyar pada tahun 2016 setelah mendapatkan suntikan modal dari berbagai investor internasional.

Selain operator-operator besar tersebut, terdapat juga beberapa operator kecil yang beroperasi di tingkat lokal, misalnya JogjaKita dan JogjaJek yang melayani sekitar Kota Yogya. Aplikasi juga digunakan oleh para pengusaha taksi konvensional yang telah beroperasi sejak lama. Langkah tersebut merupakan strategi untuk meningkatkan daya saing pengusaha taksi konvensional dengan pemanfaatan teknologi. Selain itu, strategi kerjasama juga dilakukan oleh pengusaha taksi konvensional misalnya BlueBird dengan memasukkan pilihan pada aplikasi GoCar sebagaimana sering kita lihat dalam aplikasi.

Meskipun demikian, dapat dilihat bahwa aplikasi-aplikasi lokal tersebut belum dimanfaatkan secara luas oleh pengguna. Secara umum di lapangan dapat dilihat bahwa struktur usaha dominan pada transportasi online dikuasai oleh 3 operator besar, yaitu Gojek, Grab dan Maxim. Hal ini selaras juga dengan data yang disediakan oleh Google Trend yang menunjukkan dominannya ketiga operator tersebut pada berbagai wilayah di Indonesia.

Perilaku

Para pengguna transportasi online mungkin masih mengingat betapa murahnya jasa transportasi online pada awal-awal dioperasikan. Tarif yang murah dan kemudahan mengakses melalui aplikasi merupakan dua hal utama yang membuat aplikasi ini digunakan secara luas oleh masyarakat. Keunggulan tersebut yang kemudian secara perlahan menggusur ojek pangkalan yang memang seringkali dirasa mahal dan tidak memiliki standar tarif yang jelas. Hal tersebut kemudian menyebabkan konflik antara pengemudi ojek dan taksi konvensional dengan pengemudi yang berbasis online. Pada akhirnya kita melihat, teknologilah yang menjadi pemenang.

Besarnya pengguna transportasi online akhirnya menarik para pengemudi, bukan hanya mereka yang berstatus belum bekerja maupun masih kuliah, namun mereka yang bekerja di sektor formal juga rela keluar untuk bekerja sebagai pengemudi transportasi online. Hal ini karena besarnya pendapatan yang diterima pada awal-awal transportasi online beroperasi. Namun seiring perkembangan waktu, banyaknya pengemudi online menyebabkan munculnya persaingan antar pengemudi yang kemudian menurunkan pendapatan yang diterima. Hal ini menyebabkan banyak pengemudi yang merasa bahwa saat ini menjadi pengemudi transportasi online bukan lagi merupakan pilihan yang menarik.

 Masa Depan

Saat ini, transportasi online sepertinya sedang memasuki kematangan pasar, yang ditunjukkan dengan stabilnya tingkat permintaan penumpang dan penawaran pada tingkat yang efisien. Tidak ada tingkat tarif yang terlalu murah yang menyebabkan keuntungan besar bagi pengguna, di sisi lain juga tidak ada penambahan jumlah pengemudi karena pendapatan yang diterima tidak lagi menarik. Hal ini dapat pula dilihat dari data Google Trend yang menunjukkan puncak penggunaan transportasi online adalah sekitar tahun 2018-2019, yang kemudian perlahan menurun dan menuju tingkat kestabilan hingga saat ini. Pada akhirnya saat ini, transportasi online menjadi jasa layanan ‘biasa’ yang memberikan keuntungan ‘normal’ baik bagi konsumen sebagai pengguna maupun para pengemudi sebagai mitra operator.

Mengamati perkembangan layanan transportasi online ini sesungguhnya memberikan pelajaran menarik, bagaimana teknologi mengubah perilaku masyarakat, berdinamika, lalu akhirnya menuju keseimbangan. Ke depan tentu akan muncul lagi inovasi dan invensi baru lagi yang akan mengubah pola kita menjalani kehidupan. Kita hanya harus siap untuk menerima perubahan, beradaptasi dan menerima manfaat maupun dampak yang muncul kemudian. (DAK)

Sumber gambar: https://www.kominfo.go.id/content/detail/14581/fakta-batalnya-pembentukan-taksi-online-saingan-grab-cs/0/sorotan_media

Artikel ini telah dimuat di koran Kedaulatan Rakyat Rabu, 22 November 2023

Inefisiensi Penyediaan Infrastruktur

Penulis: Dwi Ardianta Kurniawan, ST., M. Sc.

Pada sebuah ruas jalan di Kabupaten Sleman berdiri beberapa tiang besi dalam posisi yang berdekatan. Apabila dihitung, ada sekitar 6 tiang yang terutama berasal dari tiang telekomunikasi di lokasi tersebut. Keberadaan tiang tersebut sesungguhnya cukup menganggu pemandangan karena menyita ruang publik yang cukup besar. Selain itu, keberadaan tiang yang sebagian besar berada di tepi jalan tersebut berpotensi menjadi hambatan samping bagi pengendara yang lewat yang berpotensi menyebabkan kecelakaan.

Di sisi lain, pembangunan tiang-tiang tersebut juga terindikasi merupakan hal yang tidak efisien. Dapat dibayangkan seberapa banyak sumber daya yang dihabiskan untuk pengadaan tiang, pemasangan dan penggunaan lahan yang merupakan milik publik tersebut, baik berupa waktu, biaya maupun tenaga kerja yang dialokasikan. Secara awam, tiang-tiang tersebut seharusnya dapat lebih diefisiensikan dengan adanya tiang yang dipergunakan bersama, alih-alih mendirikan tiang sendiri-sendiri.

Keberadaan tiang-tiang tersebut bukan hanya ada di satu ruas jalan, namun tersebar di berbagai ruas, juga di berbagai wilayah kabupaten yang berbeda. Mengapa terjadi pola pembangunan tiang yang terkesan tidak efisien tersebut, terdapat beberapa hal yang menjadi indikasi penyebab. Pertama, tidak adanya kendali pendirian tiang dari pemegang kebijakan. Secara aturan, izin penggunaan ruang di tepi jalan ada pada pemerintah sesuai status jalan. Artinya, jalan nasional berada pada kewenangan pemerintah pusat, jalan provinsi diatur oleh pemerintah provinsi, dan jalan kabupaten/kota berada pada kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Pengalaman penulis, penambahan tiang pada jalan kabupaten hanya memerlukan izin dari pejabat di lingkup padukuhan dan RT. Hal ini di satu sisi memang memudahkan dalam penyediaan layanan, namun di sisi lain menyebabkan tidak terkendalinya pembangunan tiang-tiang tersebut. Dapat dimaklumi mengapa terjadi pendirian tiang yang terkesan tidak terencana di berbagai wilayah.

Kedua, terdapat banyak provider telekomunikasi yang menyebabkan tidak adanya koordinasi diantaranya provider telekomunikasi tersebut. Masing-masing provider tentu memiliki rencana bisnis dan kebijakan yang berbeda-beda, sehingga tidak selamanya memiliki kesamaan wilayah pengembangan. Selain itu, persaingan antar provider juga menjadi hambatan dalam melakukan koordinasi tersebut karena penggunaan tiang bersama akan memberi jalan kepada provider lain untuk membuka pasar pada wilayah yang sama. Meskipun demikian, faktor efisiensi dalam pengadaan dan perawatan tiang dapat menjadi pintu masuk untuk melakukan koordinasi. Dapat dibayangkan seberapa besar efisiensi yang dapat dicapai apabila terdapat ribuan tiang yang dipergunakan bersama.

Ketiga, tidak adanya rencana jangka panjang penyediaan infrastruktur baik dari penyedia maupun dari pemegang kebijakan. Di wilayah yang relatif berkembang secara ekonomi, peran operator relatif lebih dominan dalam penyediaan infrastruktur karena besarnya potensi keuntungan yang dapat diperoleh. Dalam rencana bisnis, semestinya telah dapat diprediksi besaran demand dari wilayah layanan, sehingga dapat diprediksi kebutuhan tiang di masa mendatang. Dimensi pembangunan tiang diharapkan dapat mengikuti proyeksi demand tersebut, sehingga mencegah perlunya pendirian tiang baru dengan adanya pertumbuhan demand di masa mendatang.

Penggunaan tiang bersama pada provider telekomunikasi telah dipergunakan secara luas di berbagai negara. Penggunaan tiang maupun kanal kabel bersama telah dipergunakan secara luas sejak 2008 di Italia. Kajian Booz Allen Hamilton Inc tahun 2007 menunjukkan faktor sukses penerapan tersebut ditentukan oleh upaya bersama antara operator dan regulator. Operator perlu mengkalkulasi manfaat finansial dari berbagi infrastruktur yang dimiliki, sementara regulator perlu mengembangkan kebijakan berbasis insentif untuk mengembangkan perjanjian berbagi pada level permainan yang setara. Ada banyak kasus di mana operator dapat mengidentifikasi manfaat finansial sehingga mengadopsi perjanjian pembagian infrastruktur secara mandiri. Namun demikian, dalam kasus lain, intervensi peraturan diperlukan untuk mendorong penggunaan infrastruktur secara bersama. Peraturan tersebut mencakup empat dimensi, yaitu penetapan peraturan, penetapan harga, perlindungan terhadap penerapan peraturan (regulatory safeguards), dan penegakan kebijakan.

Referensi tersebut dapat menjadi acuan replikasi kisah sukses di berbagai negara mengenai penggunaan infrastruktur secara bersama.

(Artikel ini telah dimuat di koran Kedaulatan Rakyat Jumat, 24 Maret 2023).

Sumber gambar: https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2023/02/03/512/1125222/tiang-kabel-internet-semrawut-bertebaran-di-sleman

Menyoal Pemeliharaan Rutin Jalan

Penulis: Dwi Ardianta Kurniawan, ST., M. Sc.

Pengantar

Infrastruktur jalan memiliki peran penting dalam mendukung mobilitas masyarakat. Agar tetap mampu berperan dengan baik, infrastruktur jalan harus dijaga kualitasnya melalui pemeliharaan baik rutin maupun berkala. Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 13 /PRT/M/2011 tentang Tata Cara Pemeliharaan dan Penilikan Jalan, pemeliharaan rutin jalan adalah kegiatan merawat serta memperbaiki kerusakan-kerusakan yang terjadi pada ruas-ruas jalan dengan kondisi pelayanan mantap. Jalan dengan kondisi pelayanan mantap adalah ruas-ruas jalan dengan kondisi baik atau sedang sesuai umur rencana yang diperhitungkan serta mengikuti suatu standar tertentu. Selain pemeliharaan rutin, diperlukan juga pemeliharaan berkala untuk pencegahan terjadinya kerusakan yang lebih luas agar penurunan kondisi jalan dapat dikembalikan pada kondisi kemantapan sesuai dengan rencana. Pada kondisi yang lebih parah, diperlukan penanganan berupa rehabilitasi untuk menangani kerusakan yang tidak diperhitungkan dalam desain.

Tulisan ini akan terfokus pada kebutuhan pemeliharaan rutin infrastruktur jalan pada wilayah perkotaan yang relatif memiliki infrastruktur jalan dalam kondisi mantap. Hal ini penting untuk dibahas, karena secara visual dapat dengan mudah ditemui berbagai indikasi bahwa program pemeliharaan rutin tidak berjalan dengan baik.

Contoh Permasalahan

Contoh tidak berjalannya pemeliharaan rutin misalnya dapat dilihat dari tingginya rumput di berbagai ruas jalan, baik di tepi maupun devider jalan. Kondisi ini merata baik pada jalan nasional, provinsi maupun kabupaten/kota yang cukup mengganggu secara visual. Di Jembatan Layang Jombor malahan dapat ditemukan semacam pohon perdu yang tumbuh di badan jembatan. Di underpass Kentungan, dapat ditemui pelat penutup dindingnya mengalami kerusakan pada beberapa titik. Kondisi ini cukup memprihatinkan karena menunjukkan rendahnya kualitas material yang digunakan, mengingat underpass tersebut belum terlalu lama digunakan. Kondisi dinding pada underpass tersebut juga memprihatinkan, karena banyak coretan akibat perilaku vandalisme. Semestinya coretan-coretan tersebut dapat dibersihkan sebagai bagian dari kegiatan pemeliharaan rutin.

Akibat dari tidak dilakukannya pemeliharaan rutin memang tidak berpengaruh secara signifikan pada sisi kekuatan maupun kualitas layanan infrastruktur jalan, namun berdampak pada kenyamanan maupun juga keselamatan berkendara. Kenyamanan berkendara dapat terganggu pada kondisi jalan yang terkesan kotor dan tidak rapi. Hal ini terlebih pada Kota Yogyakarta yang memiliki predikat sebagai kota pariwisata yang tentunya harus menjaga citra sebagai kota yang bersih dan estetik. Dampak terhadap keselamatan misalnya kondisi rumput yang tinggi di bahu jalan menyebabkan gangguan dalam berkendara sehingga dapat memicu kecelakaan.

Indikasi Penyebab

Menurut penulis terdapat beberapa indikasi penyebab tidak berjalannya pemeliharaan rutin dengan baik. Pertama, tidak adanya prioritas penanganan pemeliharaan rutin karena pengaruh terhadap kinerja infrastruktur jalan tidak signifikan. Penilaian kinerja jalan biasanya diukur dari volume lalulintas yang dilayani dibandingkan kapasitas yang dimiliki (VC ratio), kecepatan perjalanan yang dapat ditempuh, maupun kerataan permukaan jalan yang diukur dalam nilai IRI (International Roughness Index). Pemeliharaan rutin tidak memiliki pengaruh langsung terhadap kinerja jalan sehingga program tersebut sangat berpotensi terabaikan. Kedua, kecilnya anggaran pemeliharaan jalan dibandingkan kebutuhan. Sebagai gambaran anggaran pemeliharaan rutin jalan di Provinsi DIY pada tahun 2021 sesuai Renja DPU-ESDM adalah Rp20,345 milyar. Dengan panjang jalan provinsi sebesar 760 km, maka anggaran pemeliharaan rutin per km adalah Rp26,77 juta. Besaran tersebut masih jauh dibandingkan standar biaya pemeliharaan jalan yang dikeluarkan oleh Kementerian PU untuk jalan diperkeras yang berdasarkan perhitungan penulis mencapai sekitar Rp66,67 juta per km. Pola penganggaran semacam sangat mungkin juga terjadi pada penanganan jalan nasional maupun kabupaten/kota.

Tindak lanjut

Agar permasalahan tersebut dapat diatasi, tentu perlu kepedulian semua pihak mengenai pentingnya pemeliharaan rutin jalan. Kebijakan penganggaran yang sesuai diperlukan, tentu dengan memperhatikan efektivitas dan efisiensi anggaran yang dimiliki. Indikator kenyamanan dan estetika mungkin juga perlu ditambahkan dalam penilaian kinerja jalan, sehingga pemeliharaan rutin mendapatkan perhatian yang serius dari pihak yang berwenang.

(Artikel ini telah dimuat di koran Kedaulatan Rakyat Sabtu, 28 Mei 2022).

Sumber gambar: https://www.krjogja.com

Mengamati Pola Perubahan Ruang di Yogyakarta

Penulis: Dwi Ardianta Kurniawan, ST., M. Sc.

Pengantar

Ada yang menarik mengamati perubahan pola usaha di Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Fenomena paling jelas dapat dilihat pada beberapa ruas jalan utama, dengan berubahnya usaha dari skala mikro dan kecil menjadi usaha menengah dan besar. Hal ini dapat dilihat misalnya di sepanjang Jalan Kaliurang ‘bawah’, atau ruas yang berada di dalam ring road. Dahulu pada awal tahun 2000an, masih banyak dapat dijumpai warung-warung kecil maupun toko untuk menjual makanan dan barang kebutuhan sehari-hari lainnya. Selain itu juga tempat usaha seperti persewaan komputer, warnet, foto copy dan sebagainya. Keseluruhan ruang usaha tersebut memiliki karakteristik usaha dengan ruang dan kebutuhan modal yang relatif kecil.

Seiring berjalannya waktu, karakteristik usaha tersebut berubah. Saat ini, dengan mudah dijumpai tempat usaha besar, misalnya dalam bentuk hotel, apartemen, juga toko berjejaring. Kalaupun tempat tersebut berupa tempat makan, maka tampilannya sangat sophisticated, yang tentunya membutuhkan modal besar untuk pengadaannya. Memang di sela-sela tempat usaha semacam itu, masih ada pula warung makan lesehan yang biasanya ramai di pagi maupun malam hari. Namun jenis usaha ini biasanya tidak memiliki tempat yang menetap dan hanya menggunakan ruang yang sudah ada milik pihak lain. Walaupun ada pula yang dimiliki oleh rumah makan yang memiliki banyak franchise, namun sebagian besar dapat diprediksi merupakan usaha mikro dan kecil.

Fenomena ini terjadi bukan hanya di Jalan Kaliurang, namun juga dapat ditemui di ruas jalan lain, misalnya Jalan Palagan Tentara Pelajar, Jalan Magelang, serta banyak ruas jalan lainnya di Yogyakarta dan wilayah sekitarnya. Perubahan fungsi usaha tersebut sepertinya masih akan terus terjadi, dengan indikasi adanya pengempuran bangunan-bangunan lama dan berganti dengan lahan yang siap bangun. Nilai lahan tersebut dapat dipastikan telah meningkat beberapa kali lipat dibanding saat perolehan dahulu.

Sebenarnya fenomena apakah yang tengah terjadi, dan apa dampak dari fenomena tersebut?

Fenomena Apa?

Menurut hemat penulis, fenomena tersebut menunjukkan beberapa hal. Pertama, lokasi tersebut menarik sebagai pusat aktifitas bisnis, yang didukung oleh aksesibilitas jalan yang baik beserta fasilitas pendukungnya, terutama ruang parkir baik di dalam maupun luar ruang. Lokasi tersebut juga menarik karena kedekatan dengan berbagai fasilitas publik, seperti kampus, rumah sakit, apartemen, hotel serta mall/pusat perbelanjaan. Hal ini menyebabkan konsumen memiliki variasi pilihan aktifitas pada wilayah yang berdekatan, sehingga efisien secara biaya maupun waktu.

Kedua, wilayah tersebut memiliki tingkat permintaan yang tinggi, berdasar karakteristik penduduk yang tinggal pada wilayah tersebut. Wilayah sepanjang Jalan Kaliurang misalnya, merupakan wilayah elit yang ditandai dengan perumahan-perumahan mewah dengan penghuni berdayabeli tinggi. Hal ini tentu berpengaruh juga pada style dan gaya hidup termasuk selera, sehingga mendorong perubahan pola bisnis dari level bawah menjadi menengah atas.

Ketiga, secara makro terjadi pertumbuhan ekonomi di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya yang mendorong peningkatan daya beli masyarakat pada konsumsi barang dan layanan dengan kualitas tinggi. Walaupun secara umum tingkat penghasilan pekerja di Yogyakarta termasuk terrendah di Indonesia, namun tetap ada ceruk pasar masyarakat berpenghasilan tinggi, apalagi banyak mahasiswa/pendatang dari luar yang memiliki daya beli yang lebih tinggi.

Dampak

Lalu dampak apa yang dapat muncul dengan fenomena tersebut, dan apa yang seharusnya dilakukan? Fenomena ini dapat berdampak positif maupun negatif. Kajian dari Persky and Wiewel (2000), menyatakan dampak positif dan negatif perubahan tata guna lahan dapat mencakup eksternalitas (kemacetan, biaya kecelakaan, polusi udara, berkurangnya ruang terbuka), biaya sektor publik yang dikeluarkan pemerintah (penganggaran fasilitas umum dan subdidi), serta dampak yang diterima oleh pribadi (penduduk, pemilih lahan dan pelaku bisnis).

Mitigasi dampak negatif perlu disiapkan, diantaranya dalam bentuk antisipasi peraturan yang secara jelas mengatur ketentuan mengenai peruntukan lahan, termasuk mengenai lahan parkir dan ijin usaha. Hal ini akan meminimalisir dampak negatif yang mungkin timbul dari berubahnya tata ruang tersebut. Tarik menarik kepentingan antar berbagai pihak pasti akan muncul dengan adanya pengaturan, namun hal tersebut merupakan keniscayaan yang tidak dapat ditinggalkan.

(Artikel ini telah dimuat di koran Kedaulatan Rakyat, 5 Februari 2022).

Sumber gambar: http://bappeda.jogjaprov.go.id/produk/detail/Sistem-Informasi-Penataan-Ruang

LAMPU LALU-LINTAS YANG BIKIN WAS-WAS

Penulis: Sulistyo Arintono

Saya sudah enam bulan lebih tinggal (lagi) di Yogyakarta, kota kelahiran saya, setelah lebih dari 20 tahun belajar dan bekerja di negara lain (Thailand, Inggris, Malaysia, Arab Saudi). Selama ini saya terbiasa mengemudi mobil mengikuti aturan berlalu-lintas di negara yang bersangkutan. Tentu ada kelebihan dan kekurangan masing-masing, dibandingkan dengan kondisi berlalu-lintas di Indonesia, yang akan kita bahas dalam tulisan berikut ini.

Urutan Giliran Hijau di Persimpangan

Saya mengenal istilah APILL kali pertama di kota Yogya. Belum pernah mendengar istilah itu sebelumnya, bahkan juga di kota lain. Saya hanya bisa menebak, bahwa APILL merupakan kependekan dari Alat Pengatur Isyarat Lalu-Lintas, dalam Bahasa Inggris biasa disebut ‘traffic light’ atau istilah singkatnya dalam bahasa kita ‘lampu lalu-lintas’. Ada beberapa hal terkait APILL ini yang perlu dibenahi, tidak hanya di Yogya, tapi juga di kota-kota lain, untuk meningkatkan keamanan, kenyamanan dan keselamatan berkendara.

Urutan giliran mendapatkan lampu hijau dapat diatur bervariasi, misalnya: searah dengan putaran jarum jam (Utara-Timur-Selatan-Barat), berlawanan arah dengan putaran jarum jam (Utara-Barat-Selatan-Timur), atau kombinasi keduanya (Utara-Selatan-Timur-Barat atau Utara-Selatan-Barat-Timur). Tidak ada aturan yang mengatakan bahwa pilihan yang satu lebih baik dari yang lain. Semua pilihan sama baiknya, asalkan diterapkan secara konsisten.

Yang saya perhatikan di kota ini, kebanyakan APILL diatur mengikuti arah putaran jarum jam (contohnya pada pertemuan antara Jalan Kaliurang dengan Ring Road Utara), beberapa diatur berlawanan dengan arah putaran jarum jam (pertemuan Jalan Palagan Tentara Pelajar dengan Ring Road Utara). Kedua persimpangan ini lokasinya hanya bersebelahan saja. Meskipun jarang ada juga yang diatur mengikuti pola kombinasi, Timur-Barat-Selatan-Utara (pertemuan Jalan Wates dengan Ring Road Barat). Karena perbedaan pola ini saya kadang ‘salah hitung’. Saya pikir giliran hijau untuk saya masih lama, sehingga isteri menyempatkan diri membeli ‘Tahu Sumedang’ misalnya, ternyata tiba-tiba sudah dapat giliran hijau, sementara urusan kembalian uang tahu sumedang tadi belum beres. Bisa dibayangkan suasana menjadi sedikit kacau dan bising dengan bunyi klakson, mungkin juga ada sumpah serapah dari mereka yang tidak sabar menunggu.

Pengemudi mobil dan motor kadang tidak berpedoman pada ‘jatah’ lampu hijau untuk posisinya, terutama mereka yang berada di bagian paling depan. Misalnya kendaraan yang datang dari arah Selatan untuk aturan ‘searah jarum jam’, saat kendaraan yang datang dari arah Timur mulai mengurangi kecepatan (giliran lampu merah untuk arah Timur), mereka sudah mulai berjalan. Padahal pada saat itu lampu untuk arah Selatan masih menyala merah, belum hijau. Kalau ada pengendara yang ‘salah hitung’ (urutan giliran lampu hijau ternyata diluar perkiraan) kemungkinan terjadi ‘crash’ (benturan antar kendaraan) cukup besar. Oleh karena itu urutan giliran lampu hijau harus diseragamkan untuk semua APILL (searah atau berlawanan arah dengan putaran jarum jam, pilih salah satu saja).

Penempatan lampu lalu-lintas (merah, kuning, hijau) juga perlu dibenahi untuk meningkatkan visibilitas (keterlihatan). Kebanyakan lampu lalu-lintas di Indonesia hanya dipasang di bagian kanan, kiri dan atas. Posisi ini cukup menyulitkan bagi pengendara yang ada di bagian depan antrian (harus menengok ke kiri, kanan atau mendongak). Itulah sebabnya pengendara di depan biasanya terlambat menyadari bahwa lampu sudah berubah dari merah manjadi hijau. Di negara lain yang sudah lebih maju dalam hal pengaturan lalu-lintas, selalu ada lampu tambahan di bagian depan (di seberang persimpangan), yang sangat membantu meningkatkan visibilitas secara keseluruhan. Dan terakhir, banyak lampu lalu-lintas yang sudah rusak sebagian (tidak dapat berfungsi penuh), sudah seharusnya mendapat prioritas untuk segera diperbaiki. (Artikel ini telah dimuat di koran Kedaulatan Rakyat, 23 April 2021).

Sumber gambar: http://www.dev.dishub.jogjaprov.go.id/

Regulasi dan Eksistensi Sepeda Sebagai Moda Transportasi

Penulis: Hafid Lastito

Pemerintah menerapkan berbagai kebijakan untuk meminimalisir kegiatan yang mengarah pada interaksi langsung dengan manusia dalam rangka mengurangi potensi penyebaran COVID-19. Salah satu bentuk kebijakan tersebut adalah penerapan kegiatan dari rumah, baik untuk bekerja maupun bersekolah. Kebijakan tersebut berimplikasi pada perubahan pola kebiasaan dan perilaku masyarakat salah satunya dalam berolahraga. Keterbatasan akses pada ruang tertutup seperti fitness centre dan alokasi waktu yang menyebabkan maraknya kegiatan berolahraga di ruang ruang. Masyarakat juga semakin menyadari pentingnya melakukan olah raga untuk menjaga kebugaran dan meningkatkan imunitas di masa pandemi COVID-19.

Salah satu olahraga favorit sebagian besar masyarakat saat ini adalah dengan bersepeda. Sebuah harian nasional edisi 6 Februari 2021 menyebutkan terjadinya peningkatan tren bersepeda selama pandemi. Strava, sebuah aplikasi untuk mengukur aktivitas fisik dan olahraga mencatat sepanjang 2020 terjadi aktivitas bersepeda di dunia sebesar 8,1 miliar mil, meningkat dibanding tahun sebelumnya sebesar 5,6 miliar mil. Dari sisi perdagangan, data Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) mencatat bahwa jumlah ekspor sepeda Indonesia pada Januari sampai November 2020 mencapai 103,37 juta dollar AS, atau setara 1,4 triliun rupiah. Jumlah ini meningkat sekitar 27,52 persen dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 81,06 juta US Dollar.

Aktifitas bersepeda belakangan semakin marak, bukan hanya untuk berolahraga, namun juga untuk mendukung aktifitas sehari-hari, seperti bekerja dan berbelanja. Semakin banyaknya masyarakat yang menggunakan moda sepeda semestinya dijadikan momentum untuk mendukung pengembangan transportasi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Di sisi lain, keberadaan pesepeda di jalan raya seringkali tidak terjamin keselamatannya karena belum adanya fasilitas bersepeda yang layak, misalnya banyaknya ruas jalan yang belum memiliki lajur sepeda.

Terkait hal tersebut, Pemerintah baru-baru ini menerbitkan regulasi yang sangat mengedepankan nilai keselamatan pesepeda dalam berlalulintas. Peraturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 59 Tahun 2020 Tentang Keselamatan Pesepeda di Jalan, yang mulai diberlakukan bulan Agustus 2020. Peraturan tersebut sangat positif bagi inovasi kebijakan di sektor transportasi, karena belum banyak kebijakan atau peraturan yang spesifik mengatur tentang sepeda. Sebelumnya peraturan yang ada lebih banyak mengatur mengenai kendaraan bermotor (mobil, sepeda motor) dan sangat sedikit mengatur kendaraan tidak bermotor termasuk sepeda. Dalam regulasi tersebut diatur bagaimana mengupayakan ketertiban berlalu lintas dan keselamatan dalam penggunaan sepeda di jalan raya termasuk apa saja yang diwajibkan untuk dipenuhi dalam sebuah sepeda agar menunjang keselamatan pesepeda dan juga pengguna jalan yang lain. Peraturan ini mendefinisikan sepeda sebagai kendaraan tidak bermotor yang dilengkapi dengan stang kemudi, sadel, dan sepasang pedal yang digunakan untuk menggerakkan roda dengan tenaga pengendara secara mandiri. Artinya secara detil definisi sepeda dijelaskan dengan penegasan bagaimana bentuk dan semua bagian dalam rangkaian sepeda. Selanjutnya keselamatan menjadi tujuan utama dari pengaturan ini sebagai upaya penegasan penggunaan komponen persyaratan keselamatan bagi sepeda yang akan beroperasi di jalan. Kemudian terdapat pula pengaturan terkait dengan kewajiban dalam menyediakan fasilitas pendukung bagi para pesepeda.

Beberapa catatan positif terkait pemberlakuan regulasi ini adalah 1) adanya pemenuhan hak bagi pesepeda baik di jalan, simpul transportasi, maupun tempat-tempat fasilitas umum, 2) terdapat kewajiban pemerintah untuk menyediakan fasilitas pendukung bagi pesepeda yang beroperasi di jalan hingga tingkatan kelas jalan yang paling rendah sesuai dengan tingkat kewenangannya, 3) terdapat penegasan adanya kewajiban bagi penyelenggara fasilitas umum untuk menyediakan parkir khusus untuk sepeda.
Namun demikian, terdapat beberapa catatan yang dapat menjadi bahan pembahasan lebih lanjut yaitu 1) inovasi teknologi seperti keberadaan sepeda listrik perlu diatur secara eksplisit, 2) konektivitas lajur sepeda dengan angkutan umum perlu didefinisikan dengan lebih spesifik. Saat ini, keberadaan sepeda lipat (folding bike) berkembang cukup populer seharusnya dapat mendukung terwujudnya integrasi moda antara sepeda dan moda angkutan lainnya. Harapannya, keberadaan aturan terkait pesepeda ini dapat menjaga momentum bersepeda ini tetap terjaga.

Sumber gambar: https://dishub.jogjaprov.go.id

Anak Sekolah dan Pola berkegiatan Kita

Tanpa disadari, kondisi anak sekolah jaman sekarang berbeda jauh dengan beberapa dekade lalu. Tahun 80an, banyak anak-anak SD (termasuk penulis) yang sejak kelas satu sudah berangkat dan pulang sendiri, tanpa orang tua harus mengantar jemput setiap hari. Hal ini karena lokasi sekolah dekat, tidak sampai 500 meter dari rumah. Apalagi banyak teman yang searah, sehingga dapat berangkat dan pulang bersama-sama, baik dengan jalan kaki maupun bersepeda.

Saat ini, kondisi semacam itu terasa musykil dilakukan, terutama pada anak-anak yang bersekolah jauh dari tempat tinggalnya, sehingga harus diantar jemput setiap hari baik oleh orang tua, atau orang lain yang diberi tugas untuk itu. Pola semacam ini menimbulkan peningkatan arus lalu lintas menuju dan dari sekolah anak, terutama pada jam-jam berangkat dan pulang sekolah. Seringkali muncul dampak ikutan berikutnya, yaitu kemacetan pada ruas jalan akses ke sekolah tersebut. Kemacetan dapat semakin parah apabila sebagian besar pengantar menggunakan kendaraan roda empat. Kita dapat menyimaknya misalnya di sebuah sekolah dasar di seputar Seturan, Babarsari dan juga Sapen, sekitar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mengapa?

Ada beberapa alasan yang menyebabkan perilaku anak bersekolah dan dampak ikutannya tersebut muncul, diantaranya adalah:

Pertama, keinginan untuk mendapatan sekolah yang terbaik. Banyak orang tua yang sadar bahwa persaingan di masa mendatang semakin berat, bukan hanya di dalam negeri, namun juga dalam lingkup Asean maupun global. Hal ini membuat orang tua menginginkan anaknya mendapatkan bekal yang terbaik, dengan memilihkan sekolah yang terbaik, walaupun mungkin jauh dari tempat tinggalnya. Belum lagi, anak juga dibekali dengan berbagai kursus dan les, yang juga akan meningkatkan jumlah perjalanan.

Kedua, besarnya komposisi anak usia pendidikan dasar yang dimungkinkan karena kurang bergaungnya program Keluarga Berencana beberapa tahun belakangan ini. Data dari Badan Pusat Statistik (2015) memperlihatkan porsi anak sekolah pendidikan dasar (kelompok umur 0 hingga 15 tahun yang diasumsikan memiliki ketergantungan mobilitas terhadap orang tua) di DIY adalah sekitar 22%. Hal ini menimbulkan besarnya bangkitan perjalanan yang muncul karena dukungan mobilitas orang tua untuk kegiatan kelompok umur tersebut.

Ketiga, sifat irrasional orangtua, yang seringkali memaksakan menggunakan mobil pribadi, meskipun mengerti bahwa hal itu akan menambah kemacetan. Sikap irrasional ini sesungguhnya merupakan gabungan dari sikap gengsi dan pamer, yang dipicu oleh ketidakpercayaan diri apabila melakukan perjalanan bukan dengan mobil pribadi.

Keempat, rasa khawatir dengan kondisi anak apabila menggunakan moda lain baik karena gangguan kesehatan maupun keamanan di jalan. Hal ini terjadi karena kondisi lingkungan saat ini jauh lebih kompleks dibandingkan beberapa dekade lalu, yang menimbulkan kekhawatiran orangtua untuk melepas bebas anak-anaknya ke sekolah. Ditambah lagi, kondisi cuaca yang tidak stabil dan berubah-ubah yang menyebabkan kebutuhan akan sarana transportasi yang terlindung meningkat.

Kelima, belum layaknya angkutan umum massal untuk melayani anak sekolah. Meskipun saat ini sudah ada angkutan khusus untuk antar jemput sekolah, baik yang disediakan oleh perusahaan yang bekerjasama dengan pihak sekolah, perusahaan luar maupun pribadi, namun seringkali kurang layak baik dari sisi kapasitas tempat duduk, rute, maupun kualitas pelayanan. Hal ini menyebabkan kurangnya daya tarik angkutan antar jemput tersebut bagi orang tua maupun anak-anaknya.

Lalu Bagaimana?

Solusi atas permasalahan yang muncul tentu tidaklah sederhana, karena mencakup area permasalahan yang cukup luas dan kompleks. Solusi paling sederhana adalah menengarai sebab-sebab dari permasalahan dan berusaha untuk melakukan mitigasi atas permasalahan tersebut. Mitigasi dilakukan untuk mengurangi dampak yang muncul, misalnya dengan ketetapan hati untuk menyekolahkan anak di fasilitas pendidikan yang terdekat, meskipun dengan berbagai risiko dan dampak lain yang muncul. Apabila mitigasi ternyata sulit dilakukan, maka perlu dilakukan tindakan adaptasi, dengan mengubah perilaku perjalanan misalnya dalam bentuk perubahan waktu, rute, dan moda yang digunakan. Tentu semua tidak semudah membalik telapak tangan untuk mengubah keadaan, tapi tentu semuanya perlu dimulai, dari sekarang. (Dwi Ardianta Kurniawan)

Adaptasi Terhadap Kemacetan

Pengantar

Adaptasi dalam literatur didefinisikan sebagai penyesuaian perilaku yang dapat meningkatkan kemampuannya untuk mengatasi tekanan eksternal (Brooks, 2003). Adaptasi seringkali dikaitkan dengan ketidakmampuan individu untuk mengurangi tekanan eksternal, sehingga memilih merubah perilaku agar tetap eksis dengan kondisi yang ada.

Kemacetan yang dialami oleh banyak kota besar di Indonesia, termasuk Yogyakarta merupakan tekanan eksternal yang sulit dihindari oleh penduduk kota. Dengan keterbatasan yang dimiliki, penduduk secara individu tidak akan mampu mengurangi tekanan tersebut. Alih-alih mengurangi, tambahan perjalanan yang dilakukan seorang individu mungkin justru menambah kemacetan di sebuah ruas yang dampaknya dapat meluas ke lingkup kawasan. Untuk berdamai dengan kondisi tersebut, penduduk kota akhirnya merubah perilaku dalam bentuk adaptasi.

Bentuk adaptasi

Apa yang dilakukan penduduk sebagai pelaku dan pihak terdampak dari kemacetan? Sejauh yang dapat diamati, salah satu bentuk adaptasi adalah mengatur waktu dan tujuan perjalanan, terutama pada kegiatan yang bukan merupakan kegiatan primer. Misalnya saat liburan, warga masyarakat biasanya justru memilih untuk berkegiatan di rumah atau memilih lokasi yang bukan merupakan wilayah rawan macet, seperti pusat kota dan lokasi wisata. Waktu perjalanan juga diatur bukan pada waktu jam-jam macet, walaupun kemacetan pada saat liburan relatif terjadi dalam rentang waktu yang lebih lama.

Strategi kedua yang dilakukan adalah memilih rute yang berbeda. Mereka yang sudah sekian lama berada di sebuah kota akhirnya hapal jalan-jalan yang relatif sepi dan cukup nyaman untuk dilewati. Lokasi yang memiliki banyak jalan alternatif akhirnya lebih menguntungkan dibandingkan lokasi yang memiliki alternatif akses yang terbatas. Strategi ini efektif berlaku ketika tidak banyak pelaku perjalanan lain yang mengikuti, tapi seringkali menjadi bumerang ketika rute alternatif itu menjadi rute utama sehingga memunculkan kemacetan baru. Apa yang terjadi pada Jalan Selokan Mataram terutama ruas Jalan Affandi (Gejayan) – Seturan dapat menjadi contoh yang bagus mengenai hal ini.

Strategi ketiga yang juga dapat dilakukan adalah mengganti moda, terutama mobil menjadi motor dan sepeda juga berjalan kaki pada lokasi yang relatif dekat. Penggantian moda ini cukup menguntungkan karena fleksibilitas sepeda dan sepeda motor yang membutuhkan ruang gerak yang lebih kecil dibandingkan mobil. Ditunjang harga dan fasilitas kredit yang relatif mudah, pertumbuhan moda ini tak heran menjadi cukup tinggi.

Sudah cukupkah?

Pertanyaan yang muncul adalah, cukupkah semua itu dilakukan? Apakah pelaku perjalanan diharuskan terus menerus menyesuaikan diri dengan kondisi macet yang terjadi? Apakah ini sudah merupakan sistem yang benar dan harus dilanjutkan?

Menurut hemat penulis jawabannya TIDAK. Adaptasi masyarakat terhadap kemacetan adalah solusi jangka pendek yang keberlanjutannya sangat rentan, karena sangat tergantung oleh baik buruknya kinerja sistem transportasi secara keseluruhan. Dalam adaptasi, pelaku perjalanan berupaya untuk tetap melakukan perjalanan dengan perbaikan sistem transportasi yang minimal. Disadari, perbaikan sistem memerlukan upaya menyeluruh, baik dari sisi supply maupun demand. Peran pemerintah seringkali hanya mampu menjangkau sisi supply, baik berupa penyediaan infrastruktur, sarana angkutan umum maupun regulasinya. Sementara sisi demand jauh lebih rumit, karena terkait dengan aspek lintas sektor, seperti tata guna lahan dan kebijakan mobil pribadi. Celakanya, sebagian besar penentu demand tersebut berada di luar kewenangan dinas yang mengurusi transportasi, sehingga tidak dapat melakukan intervensi secara optimal.

Demikianlah, dalam jangka pendek, strategi adaptasi dapatlah dijadikan salah satu solusi agar urusan harian penduduk kota dapat terpenuhi. Dalam jangka lebih panjang, campur tangan pemerintah secara lintas sektor diperlukan, sehingga sistem transportasi kota dapat tetap berjalan secara berkelanjutan. (Dwi Ardianta Kurniawan)